Senin, 29 November 2021

Thariqah dalam Islam

[29/11 10:08] aji rasha: Thariqah dalam Islam

APA itu thariqah? 
Bagaimana hubungannya dengan agama Islam? Apakah ber-thariqah diajarkan oleh 
Rasulullah SAW?

Thariqah 
adalah bahtera 
untuk mengarungi samudera kehidupan—
sebuah cara 
untuk menempuh lautan dunia tanpa tenggelam atau terbasahi oleh keduniawian—

dengan bahtera 
yang dibangun berdasarkan Al Qur'an dan As-Sunnah

Kata thariqah berasal 
dari kata bahasa Arab 
yang berarti “jalan”, 
setara dengan kata “path” atau “way” 
dalam bahasa Inggris. 

Thariqah, atau “tarekat”, dalam konteks agama Islam, berarti jalan pertaubatan untuk kembali kepada Allah (“taubat” berasal 
dari kata “taaba” 
yang artinya “kembali”), melalui jalan 
penyucian jiwa dan penyucian hati.

Di sisi lain, 
meski kata syariat juga memiliki makna “jalan”, 
yang setara dengan “road” atau “street” 
dalam bahasa Inggris, 

makna thariqah 
adalah jalan yang 
lebih abstrak, 
lebih halus, dan 
mutlak membutuhkan petunjuk arah untuk menempuhnya. 

Jalan “syariat” 
adalah jalan seperti di kota atau di daratan: 
seseorang cukup melihat sekelilingnya 
untuk mengetahui posisi dan ke arah mana 
ia harus melangkah. 

Sedangkan jalan “thariqah” adalah jalan yang tak terlihat seperti di lautan atau 
di padang pasir: 
untuk mengetahui 
posisi dan arah, 
seseorang harus melihat dan memahami posisi 
bintang, 
matahari, 
mencermati arah angin, burung, 
hewan dan sebagainya, 

alih-alih sekedar melihat 
ke sekeliling. 
Di jalan yang tak tampak seperti ini, 
rasa pengharapan dan kebutuhan pertolongan 
Yang Maha Kuasa akan muncul sangat nyata 
pada diri seseorang.

Dalam Al-Qur’an, 
kata thariqah 
dikaitkan dengan 
makna literal maupun 
makna simbolik. 
Sebagai contoh, 
perintah Allah 
untuk tetap istiqomah 
di atas thariqah 
agar dianugerahi air 
yang berlimpah 
(sebagai simbol keberlimpahan 
ilmu pengetahuan), 
pada Q.S. Al-Jin [72]: 16,

وَأَن لَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِ‌يقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُم مَّاءً غَدَقًا

Dan sekiranya 
mereka mengokohkan diri 
di atas thariqah, 
sungguh Kami 
akan benar-benar memberikan pada mereka 
air yang menyegarkan. – 
Q.S. Al-Jin [72]: 16

atau pada Q.S. 
Thaahaa [20]: 77,

وَلَقَدْ أَوْحَيْنَا إِلَىٰ مُوسَىٰ أَنْ أَسْرِ‌ بِعِبَادِي فَاضْرِ‌بْ لَهُمْ طَرِ‌يقًا فِي الْبَحْرِ‌ يَبَسًا لَّا تَخَافُ دَرَ‌كًا وَلَا تَخْشَىٰ

Dan sungguh, 
telah Kami wahyukan pada Musa, 
‘Tempuhlah perjalanan 
di malam hari bersama 
para hamba-hamba-Ku, buatlah untuk mereka 
jalan kering di laut 
(thariqan fil bahr). 
Janganlah mencemaskan akan tersusul, dan 
janganlah menjadi takut. – Q.S. Thaahaa [20]: 77

Dalam ayat tersebut, 
Allah menggunakan kata “thariqah” sebagai 
simbol perintah agar manusia menjalani kehidupannya di dunia dengan membuat jalan kering di laut: 
yaitu mengarungi lautan kehidupan duniawi tanpa terbasahi atau tenggelam 
di dalamnya. 

Dalam makna 
yang lebih dalam, 
Allah menjadikan sejarah Nabi Musa a.s. 
sebagai perlambang: 
Musa melambangkan 
jiwa kita yang 
telah mendapatkan pertolongan dan penguatan dari Allah, 
kaum Bani Israil melambangkan hawa nafsu diri kita, dan 
pembebasan seluruh 
Bani Israil dari perbudakan 
di negeri Mesir
melambangkan 
pembebasan hawa nafsu dan syahwat kita dari 
perbudakan di 
negeri jasadiah menuju 
ke tanah yang dijanjikan.
[29/11 10:12] aji rasha: Itulah esensi 
dari sebuah thariqah 
yang haqq. 

Pertama, 
sebagai sebuah metode untuk menempuh jalan taubat

—jalan untuk kembali 
kepada Allah—yaitu 
untuk meraih ampunan Allah, untuk memperoleh pengajaran-Nya 
mengenai siapa diri kita ini 
sebenarnya dan 
apa esensi kehidupan ini, bagaimana memahami agama dan hakikatnya, 
serta bagaimana agama Rasulullah Muhammad SAW bisa menjadi jalan 
untuk memperoleh 
semua itu. 

Kedua, 
sebagai sebuah metode untuk “menempuh jalan kering di laut”: 
cara untuk menempuh kehidupan di dunia 
tanpa ditenggelamkan oleh hasrat jasadiah 
maupun keduniawian.
[29/11 10:20] aji rasha: Memahami Kehidupan, Memahami Agama

Salah satu natur alamiah manusia adalah 
kebutuhan untuk memahami sesuatu hingga ke esensinya. 

Demikian pula 
dalam upaya manusia memahami diri, 
dunianya, dan 
agamanya. 

Dan semakin kita 
mendalami agama, 
cepat atau lambat 
kita akan bertemu dengan sisi batin agama.

Dalam menyelami agama, semakin lama kita 
akan semakin membutuhkan pemahaman yang 
lebih presisi tentang 
hal-hal tertentu. 

Dan natur kita, manusia, 
pada akhirnya tidak akan terpuaskan lagi dengan hal-hal yang sifatnya pemahaman tekstual saja, atau mengasosiasikan satu bangunan besar Ad-Diin 
yang utuh lahir batinnya semata-mata hanya sebagai hafalan dalil-dalil. 
Di titik ini, manusia membutuhkan makna, sesuatu yang lebih hakiki untuk dipahami, 
baik dari agama maupun dari kehidupannya sendiri.

Pertanyaan-pertanyaan yang mendasar, 
seperti apa hidup itu sebenarnya, 
mengapa Al-Qur’an tidak mudah dipahami strukturnya maupun esensinya, 
apa beda iman dan takwa, apa makna presisi dari “yaumid-Diin” (hari Ad-Diin), apa makna “ulil albab”, 
apa beda “amal” dan 
“amal shalih”, 
untuk apa amal jika Allah telah memiliki ketetapan 
atas segala hal, 
dan apa maksud 
Rasulullah SAW 
yang menjawab dengan “sesungguhnya manusia diciptakan untuk apa-apa yang dimudahkan baginya”, ketika para sahabatnya yang mulia bertanya tentang 
untuk apa sebenarnya manusia beramal—

ini adalah contoh-contoh persoalan yang harus terpahami hingga ke hati, dengan pemahaman 
yang presisi.

Dalam pemahaman yang lebih hakiki, 
Ad-Diin tidak bisa terpisahkan dari takdir kehidupan kita masing-masing. 
Baik Ad-Diin, 
Al-Qur’an, 
kehidupan ini maupun 
diri kita, masing-masing adalah sebuah kitab 
dari Allah Ta’ala yang harus dibuka dan dipahami. 
Oleh karena itu, 
untuk memahami diri dan kehidupan 
adalah dengan memahami Ad-Diin, dan demikian pula sebaliknya.

Thariqah Ad-Diin 
tidak bisa terpisahkan dari takdir kehidupan kita masing-masing. 

Baik Ad-Diin, Al-Quran, kehidupan ini maupun 
diri kita, masing-masing adalah sebuah kitab dari Allah Ta’ala 
yang harus dibuka dan dipahami.
[29/11 10:31] aji rasha: Esensi Agama
Berbeda dengan 
asumsi umum bahwa pertimbangan paling dasar dalam agama adalah dalil-dalil hukum syariat, semakin lama kita akan menyadari bahwa 
ada pertimbangan yang lebih mendasar daripada sekedar hukum-hukum syariat. 

Dengan kata lain, 
titik tolak perilaku yang dianggap “baik” 
dalam agama bukan saja yang sesuai dengan 
hukum fikih dan syariat saja, namun bahkan ada yang lebih mendasar dari itu.

Sebagai contoh: 
aurat pria. 
Batasan aurat bagi pria adalah semua bagian tubuh antara pusar hingga lutut. 
Itu wajib ditutup terhadap semua orang yang bukan mahramnya.

Lalu, 
syarat sah shalat adalah menutup aurat. 

Secara fikih, 
jika shalat hanya mengenakan celana dari pusar sampai lutut dan 
tak mengenakan baju atasan, maka shalat tersebut sah. Tidak ada yang bisa mengganggu gugat hal ini.

Kemudian, 
dia pergi ke masjid, 
lalu menjadi imam shalat 
di sana—
dengan pakaian yang sama: celana selutut dan tanpa baju atasan. 
Sahkah shalat berjamaah tersebut? 
Sah, jika hanya fikih, atau syariat lahiriah, 
yang jadi pertimbangannya.

Tapi maukah Anda menjadi ma’mumnya? 
Anda akan marah, menganggapnya lancang, dan merasa terhina dengan cara imam berpakaian ketika menjadi imam shalat.

Sah, secara fikih. 
Tapi bagaimana mungkin seseorang menghadap 
Allah Ta'ala 
atau menjadi imam dengan pakaian seperti itu? 
Apakah Allah Ta’ala berkenan? 
Apakah ia telah menghargai Allah Ta’ala 
maupun seluruh jamaah dengan sikap seperti itu, 
atau 
ia hanya mempermainkan hukum saja?

Atau, 
seorang anak lelaki 
sah secara hukum syariat, jika dia menikah tanpa memberi tahu orangtuanya sama sekali. 
Namun, 
apakah ia telah menghargai ayah ibunya—
yang telah bersusah payah membesarkannya— 
dengan bersikap seperti itu?

Agama harus dicapai 
sebagai suatu kesatuan 
yang utuh, 
baik itu aspek lahir maupun aspek batin, 
baik itu syariat dan 
hukum fikih maupun 
adab, 
rasa, 
niat, 
ketulusan hati dan kesempurnaan perilaku di mata Allah Ta’ala. 

Agama tidak akan utuh sebagai rahmat bagi 
seluruh semesta alam
jika diidentikkan 
atau hanya memfokuskan salah satu aspeknya saja.

Thariqah
Agama harus dicapai 
sebagai suatu kesatuan 
yang utuh, 
baik itu aspek lahir maupun aspek batin, 
baik itu syariat dan hukum fikih maupun 
adab, 
rasa, 
niat, 
ketulusan hati dan kesempurnaan perilaku 
di mata Allah Ta’ala.

Ad-Diin sesungguhnya 
bukan hanya ritual, 
mazhab, 
sederetan dalil, atau 
hukum syariat saja. 

Ad-Diin sesungguhnya jauh, jauh lebih besar dan 
jauh lebih dalam dari itu.

Agama ini kokoh dan kuat. Masukilah dengan lunak dan jangan sampai timbul 
dalam dirimu kejenuhan beribadah kepada Rabb-mu. – H.R. Al-Baihaqi

Perumpamaanku 
dengan nabi-nabi sebelumku seperti seseorang yang membangun suatu rumah lalu dia membaguskannya dan memperindahnya kecuali ada satu labinah 
(tempat lubang batu bata yang belum terselesaikan) yang berada di dinding samping rumah tersebut, 
lalu manusia mengelilinginya dan terkagum-kagum sambil berkata: 
'Duh, seandainya ada orang yang meletakkan labinah (batu bata) di tempatnya ini'. Beliau bersabda, 
'Maka, aku lah labinah itu dan aku adalah penutup 
para nabi.' – 
H.R. Bukhari, Muslim
[29/11 10:39] aji rasha: Tiga Sisi Agama

Agama, atau Ad-Diin, sesungguhnya terdiri dari 
tiga komponen yang 
tidak bisa dipisahkan 
satu sama lain: 
Islam, 
Iman dan 
Ihsan 
sebagaimana yang termaktub di sebuah hadits [1]. 
“Islam” terkait dengan 
ibadah formal, 
hukum syariat dan 
fikih. 

”Iman” terkait dengan 
cahaya iman, 
akidah, 
tauhid dan 
keyakinan. 

“Ihsan” terkait dengan kesempurnaan islam dan iman-nya, 
sejauh mana seseorang melihat Allah dalam perilakunya, atau 
dilihat Allah dalam perilakunya, 
sehingga perbuatannya akan dijaga sesempurna mungkin, baik dari sisi lahir atau batinnya.

Aspek “ihsan” inilah 
yang jauh lebih dalam dari sekadar syariat, 
yang memagari seseorang untuk shalat sekenanya dengan bertelanjang dada dan bercelana selutut, 
meski secara hukum syariat perbuatan itu sah. 
Atau, mencegah seseorang merasa dengki, 
meremehkan orang, 
jatuh cinta dengan pasangan orang lain, atau 
bangga diri dan 
merasa sombong jauh di dalam hati, 

walaupun hukum syariat belum bisa menyentuh atau menghukumi perilaku batinnya itu. 

Sementara, sudah merupakan perintah yang sangat jelas bahwa kita diharuskan 
untuk tidak melakukan dosa, baik dosa lahiriah maupun dosa batiniah.

 

وَذَرُوا ظَاهِرَ الْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَكْسِبُونَ الْإِثْمَ سَيُجْزَوْنَ بِمَا كَانُوا يَقْتَرِفُونَ 

Dan tinggalkanlah dosa 
yang dzahir dan yang batin. Sesungguhnya orang yang mengerjakan dosa, 
kelak akan dibalas, disebabkan apa yang mereka telah kerjakan. – 
Q.S. Al-An’aam [6]: 120

Dalam agama, 
wilayah ini disebut 
“syariat batiniah”. 
Ini adalah aspek penimbang lain yang lebih dalam 
dari sekadar hukum lahiriah, yang kadang hukum kedua ini tidak bisa dirumuskan. 
Ada aspek rasa, adab, dan kepatutan yang sangat dominan di sini: 

sejauh mana Allah 
akan suka pada perbuatan lahir maupun rasa batin seseorang. 

Tataran ini lebih dalam 
dari tataran syariat, 
sebab walaupun 
hukum syariat belum mampu menyentuh lintasan-lintasan batin, 

namun apapun yang terjadi dalam batin kita kelak 
tetap harus dipertanggungjawabkan 
di hadapan Allah Ta’ala.

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ‌ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَـٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًاٰ

Dan janganlah 
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya 
pendengaran, 
penglihatan dan 
hati, 
semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya. – Q.S. Al-Israa’ [17]: 36
[29/11 10:47] aji rasha: Pada awalnya, 
di masa Rasulullah, 
ketiga aspek agama ini menyatu, 
utuh, 
tidak terpisah-pisah 
dalam satu label yang dibawa Beliau SAW: 
Diin Al-Islam; 
agama keberserah dirian 
pada Allah. 

Inilah sebabnya tidak ada istilah sufisme atau tasawuf di masa Beliau SAW, 
karena aspek ihsan 
yang kerap diasosiasikan dengan tasawuf ini 
sudah menjadi bagian 
yang utuh dari Diin Al-Islam.



Lama kelamaan, 
karena terkait studi, 
budaya dan 
kepentingan politik, 

ketiga aspek ini 
terpisah satu sama lain. Sayangnya, 
kebanyakan penganutnya semakin lupa bahwa 
Diin Al-Islam tadinya 
terdiri dari tiga aspek 
yang menyatu utuh. Belakangan, 
di usia-usia termuda peradaban, 
muncul gerakan yang 
pada awalnya ingin memurnikan agama Islam dari segala bentuk kemungkinan bid’ah dan khurafat, 
namun berkeras bahwa hanya aspek “Islam” sajalah yang merupakan bagian dari agama Islam. 

Aspek “Iman” direduksi menjadi hanya sebuah implikasi dari pengucapan ikrar dua kalimat syahadat, dan 

aspek “ihsan”, dikeluarkan dari bangunan Ad-Diin 
yang utuh, dan 
dilabeli dengan tasawuf atau sufisme, dan dianggap 
bukan dari ajaran Rasulullah.



Thariqah, adalah 
bagian dari sisi 
iman dan ihsan 
dari seluruh bangunan Ad-Diin. 

Thariqah adalah jalan, 
atau metode, untuk memahami esensi-esensi, berbagai hakikat dari agama. 

Dan, karena Ad-Diin 
tidak bisa dipisahkan dari takdir kehidupan masing-masing 
yang sedang dijalani, 
maka thariqah pun 
menjadi jalan 
untuk memahami 
hakikat kehidupan.

Pada akhirnya, 
jalan pulang kepada Allah (taubat) ini pun 
menjadi jalan 
untuk mengenali 
secara hakiki siapa diri kita masing-masing, 

kenapa dan 
untuk apa kita 
dianugerahi 
sebuah eksistensi, dan memahami 
dengan sungguh-sungguh betapa berharganya 
nilai kita 
di mata Allah Ta’ala.

Melangkah masuk 
ke dalam wilayah 
esensi agama 
untuk meraih 
pemahaman mendasar, atau melangkah di atas jalan thariqah, 

sesungguhnya 
merupakan sebuah implikasi logis bagi siapa pun 
yang ingin memahami Ad-Diin Al-Islam, 
kehidupan masing-masing, atau diri sendiri—

dengan lebih mendalam dan lebih hakiki. 
Melalui thariqah 
seseorang berangkat dari wilayah “ritual agama” ke wilayah “pelaksanaan ritual agama 
dengan fondasi 
pemahaman hakiki”.
[29/11 10:54] aji rasha: Catatan Kaki:

1. Hadits yang dimaksud berbunyi sebagai berikut:

Dari Umar r.a.: 
Ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah SAW, 
suatu hari tiba-tiba 
datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju 
yang sangat putih dan berambut sangat hitam, 
tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorang pun 
di antara kami 
yang mengenalnya.

Hingga kemudian dia duduk di hadapan Nabi 
lalu menempelkan 
kedua lututnya kepada lutut Rasulullah SAW 
seraya berkata: 
"Ya Muhammad, 
beritahukan aku 
tentang Islam", 
maka bersabdalah 
Rasulullah SAW: 
"Islam adalah 
engkau bersaksi bahwa 
tidak ada ilah 
(tuhan yang disembah) 
selain Allah, 
dan bahwa 
Muhammad adalah 
utusan Allah, 
engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, 
puasa Ramadhan, dan 
pergi haji jika mampu", kemudian dia berkata: "Engkau benar." 
Kami semua heran, 
dia yang bertanya 
namun dia pula 
yang membenarkan.

Kemudian orang itu 
bertanya lagi: 
"Beritahukan aku 
tentang Iman". 
Lalu Beliau SAW bersabda: "Engkau beriman kepada Allah, 
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan 
hari akhir dan 
engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk", 
kemudian dia berkata: "Engkau benar."

Kemudian dia berkata lagi: "Beritahukan aku 
tentang Ihsan." 
Lalu Beliau SAW bersabda: "Ihsan adalah 
engkau beribadah 
kepada Allah 
seakan-akan engkau melihatnya, 
jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau."

Kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. 

Kemudian Rasulullah SAW bertanya: 
"Tahukah engkau 
siapa yang bertanya?" 

Aku berkata: 
"Allah dan Rasul-Nya 
lebih mengetahui." 

Beliau SAW bersabda: 
"Dia adalah Jibril 
yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan Agama kalian“.

– H.R. Muslim

Resume

Thariqah adalah 
bahtera untuk mengarungi samudera kehidupan 
dengan bahtera 
yang dibangun berdasarkan Al Qur'an dan As-Sunnah. 

Thariqah melengkapi 
sisi "Ihsan" pada sisi "Iman" dan "Islam" 
di agama Rasulullah SAW.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar