[29/11 10:08] aji rasha: Thariqah dalam Islam
APA itu thariqah?
Bagaimana hubungannya dengan agama Islam? Apakah ber-thariqah diajarkan oleh
Rasulullah SAW?
Thariqah
adalah bahtera
untuk mengarungi samudera kehidupan—
sebuah cara
untuk menempuh lautan dunia tanpa tenggelam atau terbasahi oleh keduniawian—
dengan bahtera
yang dibangun berdasarkan Al Qur'an dan As-Sunnah
Kata thariqah berasal
dari kata bahasa Arab
yang berarti “jalan”,
setara dengan kata “path” atau “way”
dalam bahasa Inggris.
Thariqah, atau “tarekat”, dalam konteks agama Islam, berarti jalan pertaubatan untuk kembali kepada Allah (“taubat” berasal
dari kata “taaba”
yang artinya “kembali”), melalui jalan
penyucian jiwa dan penyucian hati.
Di sisi lain,
meski kata syariat juga memiliki makna “jalan”,
yang setara dengan “road” atau “street”
dalam bahasa Inggris,
makna thariqah
adalah jalan yang
lebih abstrak,
lebih halus, dan
mutlak membutuhkan petunjuk arah untuk menempuhnya.
Jalan “syariat”
adalah jalan seperti di kota atau di daratan:
seseorang cukup melihat sekelilingnya
untuk mengetahui posisi dan ke arah mana
ia harus melangkah.
Sedangkan jalan “thariqah” adalah jalan yang tak terlihat seperti di lautan atau
di padang pasir:
untuk mengetahui
posisi dan arah,
seseorang harus melihat dan memahami posisi
bintang,
matahari,
mencermati arah angin, burung,
hewan dan sebagainya,
alih-alih sekedar melihat
ke sekeliling.
Di jalan yang tak tampak seperti ini,
rasa pengharapan dan kebutuhan pertolongan
Yang Maha Kuasa akan muncul sangat nyata
pada diri seseorang.
Dalam Al-Qur’an,
kata thariqah
dikaitkan dengan
makna literal maupun
makna simbolik.
Sebagai contoh,
perintah Allah
untuk tetap istiqomah
di atas thariqah
agar dianugerahi air
yang berlimpah
(sebagai simbol keberlimpahan
ilmu pengetahuan),
pada Q.S. Al-Jin [72]: 16,
وَأَن لَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُم مَّاءً غَدَقًا
Dan sekiranya
mereka mengokohkan diri
di atas thariqah,
sungguh Kami
akan benar-benar memberikan pada mereka
air yang menyegarkan. –
Q.S. Al-Jin [72]: 16
atau pada Q.S.
Thaahaa [20]: 77,
وَلَقَدْ أَوْحَيْنَا إِلَىٰ مُوسَىٰ أَنْ أَسْرِ بِعِبَادِي فَاضْرِبْ لَهُمْ طَرِيقًا فِي الْبَحْرِ يَبَسًا لَّا تَخَافُ دَرَكًا وَلَا تَخْشَىٰ
Dan sungguh,
telah Kami wahyukan pada Musa,
‘Tempuhlah perjalanan
di malam hari bersama
para hamba-hamba-Ku, buatlah untuk mereka
jalan kering di laut
(thariqan fil bahr).
Janganlah mencemaskan akan tersusul, dan
janganlah menjadi takut. – Q.S. Thaahaa [20]: 77
Dalam ayat tersebut,
Allah menggunakan kata “thariqah” sebagai
simbol perintah agar manusia menjalani kehidupannya di dunia dengan membuat jalan kering di laut:
yaitu mengarungi lautan kehidupan duniawi tanpa terbasahi atau tenggelam
di dalamnya.
Dalam makna
yang lebih dalam,
Allah menjadikan sejarah Nabi Musa a.s.
sebagai perlambang:
Musa melambangkan
jiwa kita yang
telah mendapatkan pertolongan dan penguatan dari Allah,
kaum Bani Israil melambangkan hawa nafsu diri kita, dan
pembebasan seluruh
Bani Israil dari perbudakan
di negeri Mesir
melambangkan
pembebasan hawa nafsu dan syahwat kita dari
perbudakan di
negeri jasadiah menuju
ke tanah yang dijanjikan.
[29/11 10:12] aji rasha: Itulah esensi
dari sebuah thariqah
yang haqq.
Pertama,
sebagai sebuah metode untuk menempuh jalan taubat
—jalan untuk kembali
kepada Allah—yaitu
untuk meraih ampunan Allah, untuk memperoleh pengajaran-Nya
mengenai siapa diri kita ini
sebenarnya dan
apa esensi kehidupan ini, bagaimana memahami agama dan hakikatnya,
serta bagaimana agama Rasulullah Muhammad SAW bisa menjadi jalan
untuk memperoleh
semua itu.
Kedua,
sebagai sebuah metode untuk “menempuh jalan kering di laut”:
cara untuk menempuh kehidupan di dunia
tanpa ditenggelamkan oleh hasrat jasadiah
maupun keduniawian.
[29/11 10:20] aji rasha: Memahami Kehidupan, Memahami Agama
Salah satu natur alamiah manusia adalah
kebutuhan untuk memahami sesuatu hingga ke esensinya.
Demikian pula
dalam upaya manusia memahami diri,
dunianya, dan
agamanya.
Dan semakin kita
mendalami agama,
cepat atau lambat
kita akan bertemu dengan sisi batin agama.
Dalam menyelami agama, semakin lama kita
akan semakin membutuhkan pemahaman yang
lebih presisi tentang
hal-hal tertentu.
Dan natur kita, manusia,
pada akhirnya tidak akan terpuaskan lagi dengan hal-hal yang sifatnya pemahaman tekstual saja, atau mengasosiasikan satu bangunan besar Ad-Diin
yang utuh lahir batinnya semata-mata hanya sebagai hafalan dalil-dalil.
Di titik ini, manusia membutuhkan makna, sesuatu yang lebih hakiki untuk dipahami,
baik dari agama maupun dari kehidupannya sendiri.
Pertanyaan-pertanyaan yang mendasar,
seperti apa hidup itu sebenarnya,
mengapa Al-Qur’an tidak mudah dipahami strukturnya maupun esensinya,
apa beda iman dan takwa, apa makna presisi dari “yaumid-Diin” (hari Ad-Diin), apa makna “ulil albab”,
apa beda “amal” dan
“amal shalih”,
untuk apa amal jika Allah telah memiliki ketetapan
atas segala hal,
dan apa maksud
Rasulullah SAW
yang menjawab dengan “sesungguhnya manusia diciptakan untuk apa-apa yang dimudahkan baginya”, ketika para sahabatnya yang mulia bertanya tentang
untuk apa sebenarnya manusia beramal—
ini adalah contoh-contoh persoalan yang harus terpahami hingga ke hati, dengan pemahaman
yang presisi.
Dalam pemahaman yang lebih hakiki,
Ad-Diin tidak bisa terpisahkan dari takdir kehidupan kita masing-masing.
Baik Ad-Diin,
Al-Qur’an,
kehidupan ini maupun
diri kita, masing-masing adalah sebuah kitab
dari Allah Ta’ala yang harus dibuka dan dipahami.
Oleh karena itu,
untuk memahami diri dan kehidupan
adalah dengan memahami Ad-Diin, dan demikian pula sebaliknya.
Thariqah Ad-Diin
tidak bisa terpisahkan dari takdir kehidupan kita masing-masing.
Baik Ad-Diin, Al-Quran, kehidupan ini maupun
diri kita, masing-masing adalah sebuah kitab dari Allah Ta’ala
yang harus dibuka dan dipahami.
[29/11 10:31] aji rasha: Esensi Agama
Berbeda dengan
asumsi umum bahwa pertimbangan paling dasar dalam agama adalah dalil-dalil hukum syariat, semakin lama kita akan menyadari bahwa
ada pertimbangan yang lebih mendasar daripada sekedar hukum-hukum syariat.
Dengan kata lain,
titik tolak perilaku yang dianggap “baik”
dalam agama bukan saja yang sesuai dengan
hukum fikih dan syariat saja, namun bahkan ada yang lebih mendasar dari itu.
Sebagai contoh:
aurat pria.
Batasan aurat bagi pria adalah semua bagian tubuh antara pusar hingga lutut.
Itu wajib ditutup terhadap semua orang yang bukan mahramnya.
Lalu,
syarat sah shalat adalah menutup aurat.
Secara fikih,
jika shalat hanya mengenakan celana dari pusar sampai lutut dan
tak mengenakan baju atasan, maka shalat tersebut sah. Tidak ada yang bisa mengganggu gugat hal ini.
Kemudian,
dia pergi ke masjid,
lalu menjadi imam shalat
di sana—
dengan pakaian yang sama: celana selutut dan tanpa baju atasan.
Sahkah shalat berjamaah tersebut?
Sah, jika hanya fikih, atau syariat lahiriah,
yang jadi pertimbangannya.
Tapi maukah Anda menjadi ma’mumnya?
Anda akan marah, menganggapnya lancang, dan merasa terhina dengan cara imam berpakaian ketika menjadi imam shalat.
Sah, secara fikih.
Tapi bagaimana mungkin seseorang menghadap
Allah Ta'ala
atau menjadi imam dengan pakaian seperti itu?
Apakah Allah Ta’ala berkenan?
Apakah ia telah menghargai Allah Ta’ala
maupun seluruh jamaah dengan sikap seperti itu,
atau
ia hanya mempermainkan hukum saja?
Atau,
seorang anak lelaki
sah secara hukum syariat, jika dia menikah tanpa memberi tahu orangtuanya sama sekali.
Namun,
apakah ia telah menghargai ayah ibunya—
yang telah bersusah payah membesarkannya—
dengan bersikap seperti itu?
Agama harus dicapai
sebagai suatu kesatuan
yang utuh,
baik itu aspek lahir maupun aspek batin,
baik itu syariat dan
hukum fikih maupun
adab,
rasa,
niat,
ketulusan hati dan kesempurnaan perilaku di mata Allah Ta’ala.
Agama tidak akan utuh sebagai rahmat bagi
seluruh semesta alam
jika diidentikkan
atau hanya memfokuskan salah satu aspeknya saja.
Thariqah
Agama harus dicapai
sebagai suatu kesatuan
yang utuh,
baik itu aspek lahir maupun aspek batin,
baik itu syariat dan hukum fikih maupun
adab,
rasa,
niat,
ketulusan hati dan kesempurnaan perilaku
di mata Allah Ta’ala.
Ad-Diin sesungguhnya
bukan hanya ritual,
mazhab,
sederetan dalil, atau
hukum syariat saja.
Ad-Diin sesungguhnya jauh, jauh lebih besar dan
jauh lebih dalam dari itu.
Agama ini kokoh dan kuat. Masukilah dengan lunak dan jangan sampai timbul
dalam dirimu kejenuhan beribadah kepada Rabb-mu. – H.R. Al-Baihaqi
Perumpamaanku
dengan nabi-nabi sebelumku seperti seseorang yang membangun suatu rumah lalu dia membaguskannya dan memperindahnya kecuali ada satu labinah
(tempat lubang batu bata yang belum terselesaikan) yang berada di dinding samping rumah tersebut,
lalu manusia mengelilinginya dan terkagum-kagum sambil berkata:
'Duh, seandainya ada orang yang meletakkan labinah (batu bata) di tempatnya ini'. Beliau bersabda,
'Maka, aku lah labinah itu dan aku adalah penutup
para nabi.' –
H.R. Bukhari, Muslim
[29/11 10:39] aji rasha: Tiga Sisi Agama
Agama, atau Ad-Diin, sesungguhnya terdiri dari
tiga komponen yang
tidak bisa dipisahkan
satu sama lain:
Islam,
Iman dan
Ihsan
sebagaimana yang termaktub di sebuah hadits [1].
“Islam” terkait dengan
ibadah formal,
hukum syariat dan
fikih.
”Iman” terkait dengan
cahaya iman,
akidah,
tauhid dan
keyakinan.
“Ihsan” terkait dengan kesempurnaan islam dan iman-nya,
sejauh mana seseorang melihat Allah dalam perilakunya, atau
dilihat Allah dalam perilakunya,
sehingga perbuatannya akan dijaga sesempurna mungkin, baik dari sisi lahir atau batinnya.
Aspek “ihsan” inilah
yang jauh lebih dalam dari sekadar syariat,
yang memagari seseorang untuk shalat sekenanya dengan bertelanjang dada dan bercelana selutut,
meski secara hukum syariat perbuatan itu sah.
Atau, mencegah seseorang merasa dengki,
meremehkan orang,
jatuh cinta dengan pasangan orang lain, atau
bangga diri dan
merasa sombong jauh di dalam hati,
walaupun hukum syariat belum bisa menyentuh atau menghukumi perilaku batinnya itu.
Sementara, sudah merupakan perintah yang sangat jelas bahwa kita diharuskan
untuk tidak melakukan dosa, baik dosa lahiriah maupun dosa batiniah.
وَذَرُوا ظَاهِرَ الْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَكْسِبُونَ الْإِثْمَ سَيُجْزَوْنَ بِمَا كَانُوا يَقْتَرِفُونَ
Dan tinggalkanlah dosa
yang dzahir dan yang batin. Sesungguhnya orang yang mengerjakan dosa,
kelak akan dibalas, disebabkan apa yang mereka telah kerjakan. –
Q.S. Al-An’aam [6]: 120
Dalam agama,
wilayah ini disebut
“syariat batiniah”.
Ini adalah aspek penimbang lain yang lebih dalam
dari sekadar hukum lahiriah, yang kadang hukum kedua ini tidak bisa dirumuskan.
Ada aspek rasa, adab, dan kepatutan yang sangat dominan di sini:
sejauh mana Allah
akan suka pada perbuatan lahir maupun rasa batin seseorang.
Tataran ini lebih dalam
dari tataran syariat,
sebab walaupun
hukum syariat belum mampu menyentuh lintasan-lintasan batin,
namun apapun yang terjadi dalam batin kita kelak
tetap harus dipertanggungjawabkan
di hadapan Allah Ta’ala.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَـٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًاٰ
Dan janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran,
penglihatan dan
hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya. – Q.S. Al-Israa’ [17]: 36
[29/11 10:47] aji rasha: Pada awalnya,
di masa Rasulullah,
ketiga aspek agama ini menyatu,
utuh,
tidak terpisah-pisah
dalam satu label yang dibawa Beliau SAW:
Diin Al-Islam;
agama keberserah dirian
pada Allah.
Inilah sebabnya tidak ada istilah sufisme atau tasawuf di masa Beliau SAW,
karena aspek ihsan
yang kerap diasosiasikan dengan tasawuf ini
sudah menjadi bagian
yang utuh dari Diin Al-Islam.
Lama kelamaan,
karena terkait studi,
budaya dan
kepentingan politik,
ketiga aspek ini
terpisah satu sama lain. Sayangnya,
kebanyakan penganutnya semakin lupa bahwa
Diin Al-Islam tadinya
terdiri dari tiga aspek
yang menyatu utuh. Belakangan,
di usia-usia termuda peradaban,
muncul gerakan yang
pada awalnya ingin memurnikan agama Islam dari segala bentuk kemungkinan bid’ah dan khurafat,
namun berkeras bahwa hanya aspek “Islam” sajalah yang merupakan bagian dari agama Islam.
Aspek “Iman” direduksi menjadi hanya sebuah implikasi dari pengucapan ikrar dua kalimat syahadat, dan
aspek “ihsan”, dikeluarkan dari bangunan Ad-Diin
yang utuh, dan
dilabeli dengan tasawuf atau sufisme, dan dianggap
bukan dari ajaran Rasulullah.
Thariqah, adalah
bagian dari sisi
iman dan ihsan
dari seluruh bangunan Ad-Diin.
Thariqah adalah jalan,
atau metode, untuk memahami esensi-esensi, berbagai hakikat dari agama.
Dan, karena Ad-Diin
tidak bisa dipisahkan dari takdir kehidupan masing-masing
yang sedang dijalani,
maka thariqah pun
menjadi jalan
untuk memahami
hakikat kehidupan.
Pada akhirnya,
jalan pulang kepada Allah (taubat) ini pun
menjadi jalan
untuk mengenali
secara hakiki siapa diri kita masing-masing,
kenapa dan
untuk apa kita
dianugerahi
sebuah eksistensi, dan memahami
dengan sungguh-sungguh betapa berharganya
nilai kita
di mata Allah Ta’ala.
Melangkah masuk
ke dalam wilayah
esensi agama
untuk meraih
pemahaman mendasar, atau melangkah di atas jalan thariqah,
sesungguhnya
merupakan sebuah implikasi logis bagi siapa pun
yang ingin memahami Ad-Diin Al-Islam,
kehidupan masing-masing, atau diri sendiri—
dengan lebih mendalam dan lebih hakiki.
Melalui thariqah
seseorang berangkat dari wilayah “ritual agama” ke wilayah “pelaksanaan ritual agama
dengan fondasi
pemahaman hakiki”.
[29/11 10:54] aji rasha: Catatan Kaki:
1. Hadits yang dimaksud berbunyi sebagai berikut:
Dari Umar r.a.:
Ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah SAW,
suatu hari tiba-tiba
datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju
yang sangat putih dan berambut sangat hitam,
tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorang pun
di antara kami
yang mengenalnya.
Hingga kemudian dia duduk di hadapan Nabi
lalu menempelkan
kedua lututnya kepada lutut Rasulullah SAW
seraya berkata:
"Ya Muhammad,
beritahukan aku
tentang Islam",
maka bersabdalah
Rasulullah SAW:
"Islam adalah
engkau bersaksi bahwa
tidak ada ilah
(tuhan yang disembah)
selain Allah,
dan bahwa
Muhammad adalah
utusan Allah,
engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat,
puasa Ramadhan, dan
pergi haji jika mampu", kemudian dia berkata: "Engkau benar."
Kami semua heran,
dia yang bertanya
namun dia pula
yang membenarkan.
Kemudian orang itu
bertanya lagi:
"Beritahukan aku
tentang Iman".
Lalu Beliau SAW bersabda: "Engkau beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan
hari akhir dan
engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk",
kemudian dia berkata: "Engkau benar."
Kemudian dia berkata lagi: "Beritahukan aku
tentang Ihsan."
Lalu Beliau SAW bersabda: "Ihsan adalah
engkau beribadah
kepada Allah
seakan-akan engkau melihatnya,
jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau."
Kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar.
Kemudian Rasulullah SAW bertanya:
"Tahukah engkau
siapa yang bertanya?"
Aku berkata:
"Allah dan Rasul-Nya
lebih mengetahui."
Beliau SAW bersabda:
"Dia adalah Jibril
yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan Agama kalian“.
– H.R. Muslim
Resume
Thariqah adalah
bahtera untuk mengarungi samudera kehidupan
dengan bahtera
yang dibangun berdasarkan Al Qur'an dan As-Sunnah.
Thariqah melengkapi
sisi "Ihsan" pada sisi "Iman" dan "Islam"
di agama Rasulullah SAW.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar