Taubat
Sesungguhnya ini
adalah sebuah peringatan:
Barangsiapa yang menghendaki,
biarlah ia mengambil jalan menuju Rabb-nya.
Dan tiadalah kamu
akan berkehendak (menempuh jalan itu),
kecuali jika itu dikehendaki oleh Allah.
Sungguh, Allah itu
Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.
– Q.S. Al-Insaan [76]: 29-30
Bagaikan dua sisi mata uang, kehidupan mempunyai
dua wajah.
Sisi kelam hadir saat kesedihan dan kesulitan terasa tak tertanggungkan. Beberapa episode kelam itu cukup akrab di keseharian kita:
pekerjaan tak terselesaikan menumpuk,
anak sakit,
huru-hara rumah tangga, patah hati.
Semua menenggelamkan kita pada pusaran kesulitan yang seakan tak habis-habisnya.
Beratnya masalah kehidupan kadang membuat kita terpuruk.
Kita melihat,
apa yang kita lakukan ternyata hanya
serentetan kegagalan dan ketidaksempurnaan.
Kita merasa berat
dengan segala tanggung jawab kehidupan ini.
Kita tak mampu menjalankan tugas-tugas dengan baik semuanya.
Kekelaman kerap hadir
saat kita sengaja mengabaikan nurani.
Saat mengejar sesuatu
yang tampak gemerlap,
kita melakukan segala cara. Kita abaikan suara lirih
yang memperingatkan kita jauh dari dalam hati,
demi kehormatan di antara manusia,
keberlimpahan materi atau kesenangan duniawi.
Setelah itu,
kita merasa lelah
dengan apa yang tadinya begitu menyenangkan.
Tak jarang pilihan-pilihan sesaat kita itu memerosokkan kita
jauh ke dalam kerendahan—
penghormatan manusia
pada kita tak juga mengalahkan rasa hina
yang merembes keluar dari batin kita.
Namun,
dunia ini juga mengenalkan sisinya yang cerah pada kita. Kita kenal sisi itu,
saat kita bahagia dan
berada di atas awan.
Ketika bonus dari kantor bertambah banyak, anak-anak sehat,
pasangan cukup baik
dan setia, atau
hasil kerja di atas rata-rata.
Semua terasa mudah
ketika kita dapat melakukan apa saja,
membeli apa saja.
Meski begitu,
sisi cerah ini pun selalu menyisakan kekosongan.
Seperti Musa muda,
seorang pangeran Mesir
yang bebas dari kesedihan dunia,
memiliki ketampanan dan kekayaan berlimpah, kekuasaan yang nyaris penuh dan tiadanya kesulitan hidup—itu tidak pernah menghentikan pertanyaan yang muncul dari batinnya:
siapa aku sebenarnya?
Apa kehidupan ini sebenarnya?
Ke mana aku
akan melangkah?
Pada satu titik,
kehidupan pasti akan membuat kita merasa lelah. Di sisi mana pun kita ditempatkan,
jika kita jujur pada diri sendiri, kedua sisi itu
selalu akan menyisakan kegamangan—
berbagai rupa bentuknya.
Mungkin berupa
ucapan batin yang lirih
di tengah malam,
saat semua terasa buntu,
dan kita pun mulai meminta pertolongan.
Mungkin saat kita berbaring, dan menyadari bahwa kesuksesan yang kita raih ini terasa begitu kering.
Atau, pertanyaan-pertanyaan eksistensial
yang bermunculan dan
tak kunjung terjawab.
Atau sekadar mata
yang basah,
penyesalan yang diam
atas suara nurani kita
yang kerap diabaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar