Senin, 29 November 2021

Tentang Manusia

[29/11 13:58] aji rasha: Tentang Manusia

Sungguh, 
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk 
yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan ia ke tempat yang serendah-rendahnya. 
Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, maka bagi mereka karunia yang tiada putus-putusnya. – Q.S. At-Tiin [95]: 4-6

AL-QUR’AN menggambarkan manusia sebagai makhluk yang menempati kedudukan yang sangat tinggi 
dan sangat khusus. 
Allah SWT, 
Sang Raja Semesta itu "mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya" 
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 31) 
dan memintanya mengajarkan kembali rahasia-rahasia itu 
kepada makhluk-makhluk lainnya 
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 33). 

Allah bahkan menyuruh kepada para Malaikat agar bersujud kepada Adam 
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 34).

Namun dalam pandangan beberapa filsuf, 
eksistensi manusia 
hanyalah sebuah kebetulan alamiah saja. 
Hidup 
dalam pandangan mereka hanyalah sebuah rutinitas untuk mengukur jalanan 
dari pagi sampai petang, mencari makan, 
mengisi lambung 
yang tak seberapa ini.

Allah menantang pemikiran-pemikiran ini dalam firman-firman-Nya. Salah satunya berbunyi:

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْ‌جَعُونَ

Maka apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakanmu secara main-main (saja), 
dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? – Q.S. Al-Mu'minuun [23]: 115

Allah 
sungguh tidak main-main dengan penciptaan manusia. Kedudukan khusus 
yang disematkan-Nya 
kepada makhluk yang satu ini diiringi pula oleh 
sekian ragam "fasilitas" 
yang juga khusus, 
sangat kaya dan kompleks. Tidakkah kitamerasakannya? Saat menyusuri tempat-tempat di hamparan, gunung-gunung dan lautan, segala hal di dalamnya tampak begitu "ramah" kepada kita, 
"Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu 
apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar 
di lautan dengan perintah-Nya?" 
(Q.S. Hajj [22]: 65)

Allah bahkan secara khusus mendesain matahari dan bulan yang beredar sedemikian rupa 
demi mendukung 
satu kebutuhan manusia yang esensial akan bilangan dan perhitungan 
(Q.S. Yunus [10]: 5).
[29/11 14:05] aji rasha: Bola-bola gas super raksasa yang bersinar terang di langit, terwujud dalam konstelasi bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya, 
dengan sekian pelik 
hukum fisikanya adalah "…agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan 
di darat dan di laut" 
(Q.S. Al-An’aam [6]: 97). 

Lalu kini kita berdiri di atas sebintik debu bernama Bumi ini di tengah kemahaluasan Semesta Raya 
yang semuanya—
ya, seluruhnya!—
telah ditundukkan-Nya 
bagi kita manusia.

وَسَخَّرَ‌ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ‌ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ‌ ۖ وَالنُّجُومُ مُسَخَّرَ‌اتٌ بِأَمْرِ‌هِ ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

Dia menundukkan 
malam dan siang, 
matahari dan bulan 
untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar 
ada tanda-tanda 
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami-(nya). – 
Q.S. An-Nahl [16]: 12

Tidakkah semua 
perlakuan khusus itu memicu pertanyaan di dalam diri kita, siapakah sebenarnya makhluk ini? 
Siapakah kita? 
Dari mana asalnya, 
kemana, dan 
untuk apa kita ada di sini?

Apakah kita menganggap bahwa hidup hanya berawal di sini dan 
di sini pula hidup itu berakhir? 
Pernahkah kita membayangkan di sebuah rentang waktu, 
jauh sebelum kita terlahir 
di dunia, 
kita pernah bercakap-cakap dengan Dia yang kita sebut "Tuhan", 
Sang Raja Semesta Raya itu?

Manusia
Apakah kita menganggap bahwa hidup hanya berawal di sini dan 
di sini pula hidup itu berakhir? 
Pernahkah kita membayangkan di sebuah rentang waktu, 
jauh sebelum kita terlahir 
di dunia, 
kita pernah bercakap-cakap dengan Dia yang kita sebut "Tuhan", 
Sang Raja Semesta Raya itu?
[29/11 14:15] aji rasha: Manusia adalah 
Saksi Allah
Al-Qur’an merekam 
sebuah jejak sejarah dari masing-masing kita, keturunan Adam 
(Bani Adam), 
tentang sebuah peristiwa 
di sebuah alam yang disebut oleh para ulama sebagai Alam Alastu atau 
Alam Persaksian:

وَإِذْ أَخَذَ رَ‌بُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِ‌هِمْ ذُرِّ‌يَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَ‌بِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَـٰذَا غَافِلِينَ

Dan (ingatlah), 
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari 
sulbi mereka dan 
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka 
(seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" 
Mereka menjawab: 
"Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". 
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat 
kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami 
(bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini 
(keesaan Tuhan). – 
Q.S. Al-A'raaf [7]: 172

Ayat ini adalah 
sebuah reportase penting tentang suatu masa 
ketika kita sungguh berhadap-hadapan 
dengan sosok 
Sang Raja Diraja Semesta itu. Saat itu diambil sebuah kesaksian terhadap tiap-tiap diri (nafs/jiwa), masing-masing kita: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" 
Dan kita pun menjawab: "Betul, kami menjadi saksi."

"Saksi", atau "syuhada" 
dalam bahasa Arab, 
secara umum merujuk kepada pihak yang dihadirkan 
karena dianggap memiliki pengetahuan 
tentang suatu hal atau karena ia menyaksikan kejadian tertentu. 

Dalam hal ini, 
manusia dinisbatkan sebagai saksi Allah, 
Tuhan Semesta Alam.

Manusia adalah 
saksi yang disumpah 
tuk memberikan keterangan yang membenarkan-Nya. Manusialah yang akan angkat bicara atas setiap keraguan tentang keberadaan-Nya, 
tentang keesaan-Nya, 
tentang kebesaran-Nya, tentang ke-99 asma-Nya. 
Kita menjadi saksi atas itu. Karena bukankah 
kita telah berhadap-hadapan dengan Sang Maha Agung, bercakap-cakap dan menyaksikan-Nya?

Dalam konteks yang lain, syahid atau syuhada 
(bentuk jamak dari syahid) kerap diartikan 
sebagai orang yang mati syahid di medan perang—yang di dalam Al-Qur’an disebutkan sebagai 
salah satu di antara orang-orang yang dianugerahi nikmat 
(Q.S. An-Nisaa’ [4]: 69) 

selain para Nabi, 
Shiddiqin, dan Shalihin.

Namun makna asali dari kata ini sebenarnya adalah 
"ia yang bersaksi" 
dan tidak ada kaitannya dengan sebuah peperangan. Syahid merupakan sebuah "gelar" orang-orang 
yang teguh berdiri dalam kesaksiannya, 
yang tidak selamanya sebagai martir dalam peperangan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Siapa yang berdoa 
kepada Allah dengan benar untuk mendapatkan mati syahid, maka 
Allah akan menyampaikannya 
kepada kedudukan 
para syuhada walaupun 
dia mati di atas tempat tidur" 
(H.R. Muslim). 

Juga, di hadits yang lain disebutkan,
"Sebagian besar 
para syuhada dari umatku adalah mereka yang mati 
di tempat tidur" 
(H.R. Ibnu Mas’ud).

Oleh karena itu, 
ungkapan yang lebih tepat dalam menggambarkan 
arti syahid atau syuhada adalah ia yang memegang teguh kesaksian Allah 
atas penciptaan-Nya, 
kasih dan sayang-Nya, keagungan-Nya, 
penggelaran seluruh takdir dan asma-asma-Nya, fitrah-Nya. 
Ia menjadi tonggak 
kesaksian Tuhannya itu bahkan ketika hidup sampai di ujung maut sekalipun. Maka, barangkali dalam konteks inilah kita memahami sabda 
Rasulullah SAW 
bahwa 
"Orang yang terbunuh 
di jalan Allah adalah syahid, orang yang mati terkena wabah adalah syahid, dan seorang Ibu yang meninggal karena melahirkan anaknya adalah syahid, 
maka anaknya menariknya dengan tali pusar untuk masuk ke surga" 
(H.R. Ahmad).
[29/11 14:25] aji rasha: Abdi Allah: 

Sang Ksatria Raja
Terdapat beberapa petunjuk lain di dalam Al-Qur’an 
yang bisa menuntun kita kepada indikasi jawaban 
dari pertanyaan-pertanyaan mendasar dan maha penting tentang eksistensi manusia.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia 
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. – 
Q.S. Adz-Dzaariyaat [51]: 56

Ini adalah ayat 
yang sangat populer dan sungguh dalam maknanya. Kata ya’buduun 
di akhir ayat tersebut memang tak jarang diterjemahkan sebagai "beribadah kepada-Ku", namun kata tersebut memiliki arti 
inti yang lebih fundamental, yakni "mengabdi kepada-Ku" atau "menjadi abdi-Ku": 

suatu indikasi 
tentang sebuah peran 
yang disematkan baik kepada penciptaan jin maupun manusia.

Ayat tersebut menginformasikan bahwa manusia adalah 
sesosok makhluk 
yang diciptakan 
untuk menjadi abdi, dan bukan sembarang abdi: 
ia mengemban tugas dan misi suci dari 
Allah Rabb Al-Alamin.

Kita dapat merasakan 
sebuah redaksi penunjukan langsung di ayat tersebut: Allah Ta’ala mengatakan "abdi-Ku", bukan "abdi Kami" atau abdi siapa-siapa—

manusia, 
dalam ayat tadi adalah jelas “milik-Ku”. 

Manusia 
tidak membawa tugas kepelayanan tingkat dua atau tiga dari malaikat tertentu atau jin tertentu atau makhluk-makhluk lainnya. 

Manusia 
mengemban tugas suci langsung dari Allah Ta’ala, Sang Raja Diraja Semesta 
itu sendiri. 

Bila diibaratkan, 
manusia adalah 
para ksatria Raja, 
pelayan raja atau 
menteri dan 
abdi negara yang bertanggung jawab langsung kepada pucuk pimpinan tertingginya.

Masing-masing dari kita semua membawa misi suci dari Allah Ta’ala, 
tak satu pun terkecuali. Rasulullah SAW 
pernah bersabda bahwa "Tiap-tiap diri bekerja 
sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau menurut apa yang dimudahkan kepadanya." 
(H.R. Bukhari)

Tapi pernahkah kita merenungkan barang sejenak, 
di manakah kini 
para abdi Allah yang mulia itu? 

Bila kita manusia, 
jajaran para ksatria itu, apakah kita telah "lupa kepada kejadiannya; 
dan (malah) berkata: 'Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?'" 
(Q.S. Yaasiin [36]: 78). 

Apakah kita telah terjerumus ke dalam ke limbah nista dan nestapa, 
terbata-bata 
dalam kehidupan, 
lupa akan siapa dirinya dan tak tahu arah mana 
yang dituju? 
Adakah itu lantaran 
telah tertutup 
telinga, 
mata dan 
hati, 
hingga kita berperilaku "seperti hewan ternak bahkan lebih sesat lagi?" 
(Q.S. Al-A’raaf [7]: 179).

Namun terlepas 
dari semua "pembangkangan" itu, kita paham satu hal: bahwa ada sesuatu yang agung pada penciptaan manusia, 
masing-masing kita. 

Manusia, 
pada hakikatnya, 
adalah para saksi Allah, 
saksi atas kemaha-agungan-Nya, 
yang menjadi abdi-Nya, pelayan-Nya, 
ksatria-Nya dalam mengemban suatu tugas atau misi suci tertentu dari Allah Ta’ala.
[29/11 14:31] aji rasha: Khalifah di Muka Bumi

Ayat Al-Qur’an berikut ini menjelaskan lebih jauh seperti apa tugas atau 
misi yang diemban 
oleh kita manusia—
sebuah peran yang tidak dinisbatkan kepada malaikat, jin atau makhluk-makhluk lainnya.

وَإِذْ قَالَ رَ‌بُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْ‌ضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Ingatlah 
ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya 
Aku hendak menjadikan seorang khalifah 
di muka bumi.” 

Mereka berkata: 
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) 
di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” 

Tuhan berfirman: “Sesungguhnya 
Aku mengetahui apa 
yang tidak kamu ketahui.” – Q.S. Al-Baqarah [2]: 30

Di ayat tersebut, 
Allah menyebutkan 
di hadapan paraMalaikat-Nya tentang kepada siapa Dia embankan tugas atau 
misi kekhalifahan 
di muka bumi ini, yakni kepada Manusia.

Istilah khalifah 
di dalam bahasa Arab berarti "pemimpin", atau "wakil" atau "pengganti"—

yakni ia yang mewakili atau menggantikan suatu otoritas kepemimpinan tertentu, seperti halnya duta besar yang mewakili kepala pemerintahan suatu negara di luar negeri. 

Maka di sini, 
sebagai contoh, 
kita mengenal Khulafaur-Rasyidin, 
yang mengandung kata khulafa (jamak dari kata khalifa), 
yakni mereka yang menggantikan atau mewakili Rasulullah SAW 
sepeninggal Beliau sebagai pemimpin umat Islam.

Maka,"khalifah di muka bumi" pada ayat tersebut mengandung arti 
"pemimpin atau wakil Allah 
di muka bumi". 

Makna ini secara khusus tersirat pula di dalam sebuah ayat yang lain:

يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْ‌ضِ فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّـهِ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّـهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ

Hai Daud, 
sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah 
di muka bumi, 
maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan 
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, 
karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. – 
Q.S. Shaad [38]: 26

Mari kita renungkan baik-baik ayat yang sangat penting ini.

Mengapa Allah memerintahkan 
Nabi Daud a.s. agar 
"berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil" padahal bukankah Allah menyandang gelar Al-Hakim (salah satu dari 99 Asma al-Husna) dan 
Dia telah menyebut diri-Nya sebagai "yang memberi keputusan dan Hakim yang sebaik-baiknya"? 
(Q.S. Yunus [10]: 109). 

Jawabnya tentu, karena Allah telah "menjadikan khalifah"—dalam arti "mewakilkan suatu urusan" di muka bumi 
kepada manusia. 
Allah telah mewakilkan urusan kehakiman, 
urusan pemberian keputusan secara adil di kalangan 
Bani Israil kala itu 
kepada Nabi Daud a.s.
[29/11 14:37] aji rasha: Maka demikianlah, 
ketika menjadikan khalifah 
di muka bumi itu, 
Allah mewakilkan atau mengamanahkan 
suatu urusan kepada 
wakil pengganti (khalifah) tersebut—
dan itulah yang menjadi tugas atau misi spesifik 
yang diemban oleh 
seorang manusia 
sebagai khalifah.

Perhatikan 
bahwa tak hanya 
kepada Daud a.s., 
Allah pun menjadikan 
Musa a.s. sebagai khalifah bagi kaumnya di masa itu. 

Allah mewakilkan 
kepada tiap-tiap nabi masing-masing urusannya, termasuk kepada 
Rasulullah SAW 
sebagai manusia teragung, segel atau penutup kenabian (khatamun nabiyyin), dan uswatun hasanah, 
teladan terbaik bagi 
umat manusia.

Tiap-tiap diri kita 
adalah sebuah "instrumen" yang mewakili suatu urusan ('amr) yang spesifik—
di sebuah ruang waktu tertentu, atau situasi tertentu—sebagai perwujudan rancangan Allah menjadikan para wakil-Nya di muka bumi ini. 
Maka, sebagaimana Allah telah mewakilkan aspek Al-Hakim kepada Daud a.s., 

kepada masing-masing 
diri kita pun 
Allah telah sematkan—
dalam kadar tertentu—beberapa khazanah dari asma-asma-Nya itu, fitrah-Nya, 
untuk mendukung urusan kekhalifahan tersebut. "(Demikianlah) Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut Fitrah itu." 
(Q.S. Ar-Ruum [30]: 30), 

sebagaimana pula 
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan citra-Nya." 
(H.R. Bukhari, Muslim)
[29/11 14:41] aji rasha: Maka tidakkah kita 
memiliki rasa itu, 
menyadari bahwa 
tiap-tiap diri kita 
memiliki kompetensi 
yang berbeda-beda, 
kekuatan dan kekurangan, bidang-bidang yang mudah dikuasai dan 
bidang-bidang yang sulit? Masing-masing kita disematkan suatu "konfigurasi" yang unik 
dari citra-Nya, 
dari asma-asma-Nya, 
yang mengindikasikan 
suatu urusan yang Allah hendak wakilkan 
kepada masing-masing kita demi memakmurkan Bumi ini.

وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا ۚ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّـهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَـٰهٍ غَيْرُ‌هُ ۖ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ الْأَرْ‌ضِ وَاسْتَعْمَرَ‌كُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُ‌وهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَ‌بِّي قَرِ‌يبٌ مُّجِيبٌ

Dan kepada Tsamud 
(Kami utus) saudara mereka Shaleh. 
Shaleh berkata: 
“Hai kaumku, 
sembahlah Allah, 
sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. 
Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.” – 
Q.S. Huud [11]: 61

Maka, 
mari renungkan dalam-dalam tentang penciptaan manusia ini, 
penciptaan diri kita semua, para saksi Allah, 
yang berperan sebagai abdi-Nya, 
ksatria-Nya dalam mengemban suatu tugas atau misi suci tertentu 
dari Allah Ta’ala. 
Kita, yang dilengkapi sekian khazanah ilahiah 
yang disematkan ke dalam relung diri (nafs/jiwa) kita yang terdalam, 
sebagai wakil-Nya 
untuk sebuah urusan suci 
di muka bumi ini.

Ya, masing-masing kita.

Tiap-tiap diri bekerja 
sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau 
menurut apa yang dimudahkan kepadanya. – H.R. Bukhari

Resume

Manusia adalah 
makhluk Allah yang mengemban amanah 
dengan tugas istimewa, menjadi Khalifah, 
wakil-Nya di Bumi 
dengan urusan/misi khusus yang berbeda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar