Prabu Sanghyang Lembu Sampulur I
Sanghyang Lembu Sampulur I naik tahta sebagai Raja Panjalu, dia mempunyai seorang putera bernama Sanghyang Cakradewa.
Prabu Sanghyang Cakradewa
Sanghyang Cakradewa memperisteri seorang puteri Galuh bernama Ratu Sari Kidang Pananjung dan mempunyai enam orang anak yaitu:
1) Sanghyang Lembu Sampulur II,
2) Sanghyang Borosngora,
3) Sanghyang Panji Barani,
4) Sanghyang Anggarunting,
5) Ratu Mamprang Kancana Artaswayang, dan
6) Ratu Pundut Mulia (diperisteri Maharaja Sunda).
Petilasan Prabu Sanghyang Cakradewa terdapat di Cipanjalu.
Menurut kisah dalam Babad Panjalu, Prabu Sanghyang Cakradewa yaitu seorang raja yang tidak sewenang-wenang dan bijaksana, di bawah pimpinannya Panjalu menjadi sebuah kerajaan yang makmur dan disegani. Suatu ketika sang raja menyampaikan hasratnya di hari tua nanti untuk melepaskan singgasana dan menjadi Resi atau petapa (lengser kaprabon ngadeg pendita). Untuk itu sang prabu mengangkat putera tertuanya Sanghyang Lembu Sampulur II menjadi putera mahkota, sedangkan putera keduanya yaitu Sanghyang Borosngora dipersiapkan untuk menjadi patih dan senapati kerajaan (panglima perang). Oleh karena itu Sanghyang Borosngora pergi berkelana, berguru kepada para brahmana, petapa,resi, guru dan wiku sakti di seluruh penjuru tanah Jawa untuk menemukan beragam ilmu kesaktian dan ilmu olah perang.
Beberapa tahun belakang sang pangeran pulang dari pengembaraannya dan disambut dengan upacara penyambutan yang sangat meriah di kaprabon Dayeuhluhur, Prabu Sanghyang Cakradewa sangat terharu menyambut kedatangan puteranya yang telah pergi sekian lama tersebut. Dalam suatu cara, sang prabu berharap kepada Sanghyang Borosngora untuk mengatraksikan kehebatannya dalam olah perang dengan berlaku pemain adu pedang melawan kakaknya yaitu Sanghyang Lembu Sampulur II dihadapan para pejabat istana dan para hadirin. Ketika kedua pangeran itu tengah mengadu kehebatan ilmu pedang itu, tak sengaja kain yang menutupi betis Sanghyang Borosngora tersingkap dan tampaklah sebentuk rajah (tattoo) yang menandakan pemiliknya menganut ilmu kesaktian arus hitam.
Prabu Sanghyang Cakradewa sangat kecewa mendapati kenyataan tersebut, karena ilmu itu tidak berlandaskan dengan Anggon-anggon Kapanjaluan (falsafah hidup orang Panjalu) yaitu mangan kerana halal, pake kerana suci, tekad-ucap-lampah sabhenere dan Panjalu tunggul rahayu, tangkal waluya. Sang Prabu segera memerintahkan Sanghyang Borosngora untuk membuang ilmu terlarang itu dan segera mencari "Ilmu Sajati" yaitu ilmu yang menuntun kepada jalan keselamatan. Sebagai indikator apakah Sanghyang Borosngora telah menguasai ilmu sajati atau belum, maka sang prabu membekalinya sebuah gayung batok kelapa yang landasannya diberi lubang-lubang sehingga tidak dapat menampung cidukan cairan. Apabila sang pangeran telah menguasai ilmu sajati, maka dia dapat menciduk cairan dengan gayung berlubang-lubang tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar