Senin, 29 November 2021

Struktur Insan

[29/11 14:51] aji rasha: Struktur Insan

Memahami Interaksi Unsur-unsur Pembentuk Manusia

Abu Hamid Al-Ghazali 
(1058 - 1111 M), 

seorang ulama besar muslim yang telah berhasil meraih pengenalan diri 
dan memahami tujuan penciptaannya, 
mengatakan dalam 
kitabnya Ihya Ulumuddin (menghidupkan ilmu-ilmu ad-diin) 
bahwa sedikit sekali orang yang dianugerahi Allah pemahaman tentang jiwa dan perbedaan antara 
jiwa dan ruh. 

Itu di masa keemasan Islam. Di masa ini, 
lebih sedikit lagi.

Di sisi lain, 
semakin modern zaman, keraguan dan ambiguitas harus semakin berkurang, 

sementara definisi 
harus semakin jelas—terutama tentang 
hal-hal yang terkait pemahaman agama. 

Melalui para hamba Allah yang ditugaskan untuk membuka hal tersebut 
di zaman ini, 
pemahaman tentang jiwa maupun perbedaannya dengan ruh pun 
semakin lama menjadi semakin jelas dan terbuka.

Jasad

Unsur pertama adalah jasad. Kita mengenalnya dengan istilah “tubuh” atau “badan”. 

Bahasa Sanskrit mengistilahkannya 
dengan raga. 

Dalam kitab-kitab tasawuf, digunakan juga 
istilah jism atau jisim. 

Jasad ini—
tepatnya turunan dari 
jasad Adam a.s., 
manusia pertama—merupakan gabungan 
dari banyak unsur-unsur penciptanya, 
yang oleh para filsuf di masa Yunani Kuno disebut bahwa unsur-unsur pembentuknya adalah AFEW: 
air (udara), 
fire (Api) , 
earth (tanah) dan 
water (air). 

Semua unsur ini 
adalah sama dengan unsur-unsur bumi, 
tempat di mana 
manusia tinggal.

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن سُلَالَةٍ مِّن طِينٍ

Dan sungguh, 
Kami telah menciptakan manusia dari saripati tanah. – Q.S. Al-Mu’minun [23]: 12

Unsur-unsur ini 
digabung, 
disatukan, 
diikat 
oleh sesuatu yang berasal dari Sang Maha Hidup, 
yaitu Ruh. 

Karena berasal dari 
Sang Maha Hidup, 
maka keberadaannya pun membuat sesuatu 
menjadi hidup. 

Karena adanya ruh 
maka unsur-unsur itu menyatu dan membentuk sesuatu yang lain, 
yang hidup. 

Jika ruh diangkat, 
maka unsur-unsur itu 
akan kembali terurai ke sifat-sifatnya semula, menjadi unsur-unsur 
saripati tanah.

Kedudukan jasad 
hanyalah sebagai pakaian atau kendaraan bagi pengendaranya, sang jiwa. 

Jika pengendaranya 
sudah berangkat ke alam yang berbeda, 
jasad—
pakaiannya atau 
kudanya—
akan kembali terurai menjadi unsur-unsur kebumian.

Alam tempat tinggal jasad, mulai dari bumi kita sendiri, planet lain, 
bintang gemintang, hingga batas alam semesta fisik yang terjauh, 
disebut alam mulk. 

Pendeknya, 
semua alam 
yang masih memiliki bentuk fisik dan 
terkena hukum-hukum 
alam fisik, 
adalah alam mulk. 

Kata mulk 
(dari Bahasa Arab m-l-k) bermakna “kedaulatan”. 

Alam fisik ini adalah 
alam di mana insan 
diberi kedaulatan atau mandat oleh Allah Ta’ala, untuk ikut mengaturnya—tepatnya, untuk memakmurkannya. 

Secara kedekatan, 
alam mulk adalah 
alam yang paling jauh dari Allah Ta’ala.

Struktur Insan

Alam tempat tinggal jasad, mulai dari bumi kita sendiri, planet lain, 
bintang gemintang, 
hingga batas alam semesta fisik yang terjauh, 
disebut alam mulk. 
Semua alam yang masih memiliki bentuk fisik dan terkena hukum-hukum alam fisik, 
adalah alam mulk.

Alam mulk 
disebut juga dengan sebutan alam syahadah 
(alam persaksian), 
karena di alam yang inilah manusia harus berhasil mempersaksikan Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya.
[29/11 15:12] aji rasha: Nafs (Jiwa)

Unsur kedua, 
adalah nafs. 

Nafs, dalam bahasa kita disebut jiwa. 

Bahasa sanskrit menyebutnya dengan 
istilah sukma. 

Dalam bahasa Arab kata nafs kerap dimaknai sebagai diri, karena sesungguhnya yang disebut diri manusia bukanlah jasadnya, melainkan jiwanya. 

Nafs 
adalah diri yang seharusnya menjadi pengendali atau pengendara jasad. 

Nafs tidak sama dengan ruh.

Jika jasad terbuat dari satuan unsur-unsur saripati tanah, 

maka jiwa 
dibentuk dari cahaya. 

Bukan cahaya fisik 
berupa gelombang elektromagnetik 
seperti cahaya lampu senter, 

melainkan 
cahaya ilahiah, 
nur ilahi. 

Jika dimisalkan bahwa 
Allah adalah sumber cahaya, 

maka nafs 
diciptakan dari cahaya 
yang memancar dari 
sumber cahaya tersebut. 

Nafs 
pada dasarnya tidak membutuhkan 
ruh untuk hidup—

nafs 
yang berasal dari 
cahaya Allah 
telah hidup 
walaupun tanpa ruh.

Nafs-lah 
yang menjadi 
hakikat ke-insan-an seseorang. 

Nafs-lah yang 
menjadi sasaran pendidikan Allah Ta’ala, 
untuk diajari tentang Dia dan ayat-ayat-Nya, 

sehingga ia mampu mempersaksikan bahwa segala sesuatu, termasuk dirinya sendiri, 
adalah Al-Haqq—
Al-Haqq adalah 
salah satu nama 
Allah Ta’ala.

سَنُرِ‌يهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَ‌بِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

Akan Kami perlihatkan ayat-ayat kami 
hingga seluruh ufuk dan dalam nafs-nafs mereka sendiri, 
hingga menjadi jelas 
bagi mereka bahwa itu adalah Al-Haqq. 
Tidakkah cukup bahwa Rabb-mu, sesungguhnya Dia, atas segala sesuatu, 
menjadi saksi? – 
Q.S. Fushshilat [41]: 53

Sedikit mengoreksi 
dugaan umum, bahwa 
ketika telah menyaksikan dengan sebenar-benarnya bahwa di dalam diri 
terdapat Al-Haqq sebagaimana tercantum dalam ayat di atas, 
itu tidak sama dengan mempersaksikan bahwa 
diri adalah Allah. 

Itu lebih kepada 
berhasil melihat dan mempersaksikan bahwa segala sesuatu, 
termasuk diri sendiri, 
adalah ayat Allah, dan menjadi salah satu tempat 
di mana Allah Ta’ala menyimpan Al-Haqq, kebenaran tertinggi, 
yang berhasil dipahaminya.

Untuk tujuan mengenal ayat-ayat Allah dan Al-Haqq inilah nafs 
ditempatkan di alam mulk—alam kita ini—
dan diberi kendaraan sekaligus pakaian 
yang sesuai untuk hidup 
di alam mulk, 
karena berasal dari 
alam yang sama: jasad. 

Meski demikian, 
nafs sesungguhnya 
bukan penghuni alam mulk. 

Ia berasal dari alam 
yang disebut alam malakut, 

alam yang merupakan tempat natural 
bagi jiwa-jiwa suci dan malaikat.

Namun, 
bagi jiwa-jiwa yang 
belum suci dan 
masih membawa dosa 
ketika meninggalkan 
alam mulk, 
mereka terikat untuk disucikan 
di sebuah alam perantara yang disebut alam qubr (alam kubur). 

Alam qubr 
adalah perantara (barzakh) antara alam dunia (mulk) dan alam malakut.

Nafs 
inilah yang harus berubah, dari kondisi terendah 
menjadi kondisi sebagaimana seharusnya. 

Perubahan kondisi nafs adalah syarat agar Allah mengubah kondisi insan. 

Kita mengubah keadaan nafs, maka Allah pun akan mengubah keadaan kita secara menyeluruh.

Struktur Insan

Nafs 
inilah yang harus berubah, dari kondisi terendah 
menjadi kondisi sebagaimana seharusnya. 

Perubahan kondisi nafs adalah syarat agar Allah mengubah kondisi insan. 
Kita mengubah keadaan nafs, maka Allah pun akan mengubah keadaan kita secara menyeluruh.

إِنَّ اللَّـهَ لَا يُغَيِّرُ‌ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُ‌وا مَا بِأَنفُسِهِمْ

Sesungguhnya tidaklah 
Allah akan mengubah keadaan suatu kaum, 
hingga mereka mengubah keadaan nafs-nafs (jiwa-jiwa) mereka.” – 
Q.S. Ar-Ra’d [13]: 11
[29/11 15:12] aji rasha: Nafs sendiri, 
berdasarkan 
tingkat kesuciannya, 
terbagi menjadi 
tiga:

1. Nafs Ammarah bi Su’

Pertama, 
tingkat nafs yang terendah, disebut 
nafs ammarahbi-su’ 
(nafs yang memerintah dengan keburukan, atau mengajak pada keburukan—bukan “nafsu amarah”).

وَمَا أُبَرِّ‌ئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَ‌ةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَ‌حِمَ رَ‌بِّي ۚ إِنَّ رَ‌بِّي غَفُورٌ‌ رَّ‌حِيمٌ

Dan tidaklah aku menyatakan jiwaku bebas dari kesalahan. Sesungguhnya nafs itu 
selalu memerintah dengan keburukan (ammaratu bi su’) kecuali yang dirahmati Rabb-ku. 
Sesungguhnya 
Rabb-ku Maha Pengampun, Maha Penyayang. – 
Q.S. Yusuf [12]: 53

Ini adalah nafs 
yang masih didominasi 
oleh hawa nafsu dan syahwatnya sendiri, 
sehingga ia selalu 
diajak, 
diperintah atau 
dibawa ke arah keburukan oleh hawa nafsu 
dan syahwatnya—

dan ia tidak mampu melepaskan dirinya. 
Ia masih terikat 
dengan (sifat-sifat) kejasadiahannya sendiri.

Proses pertama 
di jalan taubat adalah membebaskan nafs 
dari perbudakan ini: membebaskan nafs 
dari diperbudak oleh 
hawa nafsu dan 
syahwatnya sendiri.

2. Nafs Lawwamah

Tingkat nafs 
yang sudah mulai menyadari bahwa ia dikuasai oleh 
hawa nafsu dan 
syahwatnya dan 
tidak kuasa membebaskan dirinya, 
disebut nafs lawwamah—berarti “nafs yang amat menyesali (diri)”.

وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

Dan Aku bersumpah dengan nafs al-lawwamah 
(nafs yang menyesali diri). – Q.S. Al-Qiyamah [75]: 2

Nafs lawwamah 
adalah nafs yang kadang terbawa oleh sifat jasadinya, namun kadang menyesal dan rindu untuk lepas dari kungkungan sifat-sifat jasadinya. 

Ia merindukan “langit”, namun juga mencintai duniawi.

Nafs pada tingkat lawwamah ini adalah nafs 
yang mulai ingin bertaubat, ingin menjadi baik, dan 
ingin lepas dari perbudakan hawa nafsu dan syahwatnya.

3. Nafs Muthma’innah

Nafs muthma’innah 
adalah jiwa 
yang sudah tidak lagi dikuasai oleh hawa nafsu dan syahwatnya, 
dan sudah tidak lagi terikat oleh sifat-sifat jasadinya. 

Ia tidak lagi terombang-ambing antara perbuatan dan penyesalan. 

Ia hanya tunduk dan mencintai penciptanya—sosok yang pertama kali dilihatnya sejak ada 
di alam semesta ini—
yaitu Allah SWT. 

Karena itulah ia menjadi 
nafs muthma’innah 
(jiwa yang tenang), 
jiwa yang berhasil kembali 
ke martabatnya yang tertinggi 
setelah menempuh jalan pertaubatan dan 
menyucikan dirinya, 
dengan penuh pengetahuan tentang Allah dan ayat-ayat-Nya 
di dalam dirinya sendiri maupun di seluruh penjuru ufuk, 

yang berhasil ia pelajari 
di alam mulk. 

Nafs tingkatan inilah 
yang harus kita kenali dalam perjalananan taubat, 
karena nafs muthma’innah sajalah yang bisa membuka ilmu-ilmu Allah yang disimpan Allah 
dalam dadanya.

Struktur Insan

Nafs muthma'innah 
(jiwa yang tenang), 
jiwa yang berhasil kembali martabatnya yang tertinggi setelah menempuh jalan pertaubatan dan menyucikan dirinya, 
dengan penuh pengetahuan tentang Allah dan ayat-ayat-Nya 
di dalam dirinya sendiri.

Nafs muthma’innah 
inilah yang telah sepenuhnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar