[29/11 14:51] aji rasha: Struktur Insan
Memahami Interaksi Unsur-unsur Pembentuk Manusia
Abu Hamid Al-Ghazali
(1058 - 1111 M),
seorang ulama besar muslim yang telah berhasil meraih pengenalan diri
dan memahami tujuan penciptaannya,
mengatakan dalam
kitabnya Ihya Ulumuddin (menghidupkan ilmu-ilmu ad-diin)
bahwa sedikit sekali orang yang dianugerahi Allah pemahaman tentang jiwa dan perbedaan antara
jiwa dan ruh.
Itu di masa keemasan Islam. Di masa ini,
lebih sedikit lagi.
Di sisi lain,
semakin modern zaman, keraguan dan ambiguitas harus semakin berkurang,
sementara definisi
harus semakin jelas—terutama tentang
hal-hal yang terkait pemahaman agama.
Melalui para hamba Allah yang ditugaskan untuk membuka hal tersebut
di zaman ini,
pemahaman tentang jiwa maupun perbedaannya dengan ruh pun
semakin lama menjadi semakin jelas dan terbuka.
Jasad
Unsur pertama adalah jasad. Kita mengenalnya dengan istilah “tubuh” atau “badan”.
Bahasa Sanskrit mengistilahkannya
dengan raga.
Dalam kitab-kitab tasawuf, digunakan juga
istilah jism atau jisim.
Jasad ini—
tepatnya turunan dari
jasad Adam a.s.,
manusia pertama—merupakan gabungan
dari banyak unsur-unsur penciptanya,
yang oleh para filsuf di masa Yunani Kuno disebut bahwa unsur-unsur pembentuknya adalah AFEW:
air (udara),
fire (Api) ,
earth (tanah) dan
water (air).
Semua unsur ini
adalah sama dengan unsur-unsur bumi,
tempat di mana
manusia tinggal.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن سُلَالَةٍ مِّن طِينٍ
Dan sungguh,
Kami telah menciptakan manusia dari saripati tanah. – Q.S. Al-Mu’minun [23]: 12
Unsur-unsur ini
digabung,
disatukan,
diikat
oleh sesuatu yang berasal dari Sang Maha Hidup,
yaitu Ruh.
Karena berasal dari
Sang Maha Hidup,
maka keberadaannya pun membuat sesuatu
menjadi hidup.
Karena adanya ruh
maka unsur-unsur itu menyatu dan membentuk sesuatu yang lain,
yang hidup.
Jika ruh diangkat,
maka unsur-unsur itu
akan kembali terurai ke sifat-sifatnya semula, menjadi unsur-unsur
saripati tanah.
Kedudukan jasad
hanyalah sebagai pakaian atau kendaraan bagi pengendaranya, sang jiwa.
Jika pengendaranya
sudah berangkat ke alam yang berbeda,
jasad—
pakaiannya atau
kudanya—
akan kembali terurai menjadi unsur-unsur kebumian.
Alam tempat tinggal jasad, mulai dari bumi kita sendiri, planet lain,
bintang gemintang, hingga batas alam semesta fisik yang terjauh,
disebut alam mulk.
Pendeknya,
semua alam
yang masih memiliki bentuk fisik dan
terkena hukum-hukum
alam fisik,
adalah alam mulk.
Kata mulk
(dari Bahasa Arab m-l-k) bermakna “kedaulatan”.
Alam fisik ini adalah
alam di mana insan
diberi kedaulatan atau mandat oleh Allah Ta’ala, untuk ikut mengaturnya—tepatnya, untuk memakmurkannya.
Secara kedekatan,
alam mulk adalah
alam yang paling jauh dari Allah Ta’ala.
Struktur Insan
Alam tempat tinggal jasad, mulai dari bumi kita sendiri, planet lain,
bintang gemintang,
hingga batas alam semesta fisik yang terjauh,
disebut alam mulk.
Semua alam yang masih memiliki bentuk fisik dan terkena hukum-hukum alam fisik,
adalah alam mulk.
Alam mulk
disebut juga dengan sebutan alam syahadah
(alam persaksian),
karena di alam yang inilah manusia harus berhasil mempersaksikan Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya.
[29/11 15:12] aji rasha: Nafs (Jiwa)
Unsur kedua,
adalah nafs.
Nafs, dalam bahasa kita disebut jiwa.
Bahasa sanskrit menyebutnya dengan
istilah sukma.
Dalam bahasa Arab kata nafs kerap dimaknai sebagai diri, karena sesungguhnya yang disebut diri manusia bukanlah jasadnya, melainkan jiwanya.
Nafs
adalah diri yang seharusnya menjadi pengendali atau pengendara jasad.
Nafs tidak sama dengan ruh.
Jika jasad terbuat dari satuan unsur-unsur saripati tanah,
maka jiwa
dibentuk dari cahaya.
Bukan cahaya fisik
berupa gelombang elektromagnetik
seperti cahaya lampu senter,
melainkan
cahaya ilahiah,
nur ilahi.
Jika dimisalkan bahwa
Allah adalah sumber cahaya,
maka nafs
diciptakan dari cahaya
yang memancar dari
sumber cahaya tersebut.
Nafs
pada dasarnya tidak membutuhkan
ruh untuk hidup—
nafs
yang berasal dari
cahaya Allah
telah hidup
walaupun tanpa ruh.
Nafs-lah
yang menjadi
hakikat ke-insan-an seseorang.
Nafs-lah yang
menjadi sasaran pendidikan Allah Ta’ala,
untuk diajari tentang Dia dan ayat-ayat-Nya,
sehingga ia mampu mempersaksikan bahwa segala sesuatu, termasuk dirinya sendiri,
adalah Al-Haqq—
Al-Haqq adalah
salah satu nama
Allah Ta’ala.
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Akan Kami perlihatkan ayat-ayat kami
hingga seluruh ufuk dan dalam nafs-nafs mereka sendiri,
hingga menjadi jelas
bagi mereka bahwa itu adalah Al-Haqq.
Tidakkah cukup bahwa Rabb-mu, sesungguhnya Dia, atas segala sesuatu,
menjadi saksi? –
Q.S. Fushshilat [41]: 53
Sedikit mengoreksi
dugaan umum, bahwa
ketika telah menyaksikan dengan sebenar-benarnya bahwa di dalam diri
terdapat Al-Haqq sebagaimana tercantum dalam ayat di atas,
itu tidak sama dengan mempersaksikan bahwa
diri adalah Allah.
Itu lebih kepada
berhasil melihat dan mempersaksikan bahwa segala sesuatu,
termasuk diri sendiri,
adalah ayat Allah, dan menjadi salah satu tempat
di mana Allah Ta’ala menyimpan Al-Haqq, kebenaran tertinggi,
yang berhasil dipahaminya.
Untuk tujuan mengenal ayat-ayat Allah dan Al-Haqq inilah nafs
ditempatkan di alam mulk—alam kita ini—
dan diberi kendaraan sekaligus pakaian
yang sesuai untuk hidup
di alam mulk,
karena berasal dari
alam yang sama: jasad.
Meski demikian,
nafs sesungguhnya
bukan penghuni alam mulk.
Ia berasal dari alam
yang disebut alam malakut,
alam yang merupakan tempat natural
bagi jiwa-jiwa suci dan malaikat.
Namun,
bagi jiwa-jiwa yang
belum suci dan
masih membawa dosa
ketika meninggalkan
alam mulk,
mereka terikat untuk disucikan
di sebuah alam perantara yang disebut alam qubr (alam kubur).
Alam qubr
adalah perantara (barzakh) antara alam dunia (mulk) dan alam malakut.
Nafs
inilah yang harus berubah, dari kondisi terendah
menjadi kondisi sebagaimana seharusnya.
Perubahan kondisi nafs adalah syarat agar Allah mengubah kondisi insan.
Kita mengubah keadaan nafs, maka Allah pun akan mengubah keadaan kita secara menyeluruh.
Struktur Insan
Nafs
inilah yang harus berubah, dari kondisi terendah
menjadi kondisi sebagaimana seharusnya.
Perubahan kondisi nafs adalah syarat agar Allah mengubah kondisi insan.
Kita mengubah keadaan nafs, maka Allah pun akan mengubah keadaan kita secara menyeluruh.
إِنَّ اللَّـهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ
Sesungguhnya tidaklah
Allah akan mengubah keadaan suatu kaum,
hingga mereka mengubah keadaan nafs-nafs (jiwa-jiwa) mereka.” –
Q.S. Ar-Ra’d [13]: 11
[29/11 15:12] aji rasha: Nafs sendiri,
berdasarkan
tingkat kesuciannya,
terbagi menjadi
tiga:
1. Nafs Ammarah bi Su’
Pertama,
tingkat nafs yang terendah, disebut
nafs ammarahbi-su’
(nafs yang memerintah dengan keburukan, atau mengajak pada keburukan—bukan “nafsu amarah”).
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Dan tidaklah aku menyatakan jiwaku bebas dari kesalahan. Sesungguhnya nafs itu
selalu memerintah dengan keburukan (ammaratu bi su’) kecuali yang dirahmati Rabb-ku.
Sesungguhnya
Rabb-ku Maha Pengampun, Maha Penyayang. –
Q.S. Yusuf [12]: 53
Ini adalah nafs
yang masih didominasi
oleh hawa nafsu dan syahwatnya sendiri,
sehingga ia selalu
diajak,
diperintah atau
dibawa ke arah keburukan oleh hawa nafsu
dan syahwatnya—
dan ia tidak mampu melepaskan dirinya.
Ia masih terikat
dengan (sifat-sifat) kejasadiahannya sendiri.
Proses pertama
di jalan taubat adalah membebaskan nafs
dari perbudakan ini: membebaskan nafs
dari diperbudak oleh
hawa nafsu dan
syahwatnya sendiri.
2. Nafs Lawwamah
Tingkat nafs
yang sudah mulai menyadari bahwa ia dikuasai oleh
hawa nafsu dan
syahwatnya dan
tidak kuasa membebaskan dirinya,
disebut nafs lawwamah—berarti “nafs yang amat menyesali (diri)”.
وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
Dan Aku bersumpah dengan nafs al-lawwamah
(nafs yang menyesali diri). – Q.S. Al-Qiyamah [75]: 2
Nafs lawwamah
adalah nafs yang kadang terbawa oleh sifat jasadinya, namun kadang menyesal dan rindu untuk lepas dari kungkungan sifat-sifat jasadinya.
Ia merindukan “langit”, namun juga mencintai duniawi.
Nafs pada tingkat lawwamah ini adalah nafs
yang mulai ingin bertaubat, ingin menjadi baik, dan
ingin lepas dari perbudakan hawa nafsu dan syahwatnya.
3. Nafs Muthma’innah
Nafs muthma’innah
adalah jiwa
yang sudah tidak lagi dikuasai oleh hawa nafsu dan syahwatnya,
dan sudah tidak lagi terikat oleh sifat-sifat jasadinya.
Ia tidak lagi terombang-ambing antara perbuatan dan penyesalan.
Ia hanya tunduk dan mencintai penciptanya—sosok yang pertama kali dilihatnya sejak ada
di alam semesta ini—
yaitu Allah SWT.
Karena itulah ia menjadi
nafs muthma’innah
(jiwa yang tenang),
jiwa yang berhasil kembali
ke martabatnya yang tertinggi
setelah menempuh jalan pertaubatan dan
menyucikan dirinya,
dengan penuh pengetahuan tentang Allah dan ayat-ayat-Nya
di dalam dirinya sendiri maupun di seluruh penjuru ufuk,
yang berhasil ia pelajari
di alam mulk.
Nafs tingkatan inilah
yang harus kita kenali dalam perjalananan taubat,
karena nafs muthma’innah sajalah yang bisa membuka ilmu-ilmu Allah yang disimpan Allah
dalam dadanya.
Struktur Insan
Nafs muthma'innah
(jiwa yang tenang),
jiwa yang berhasil kembali martabatnya yang tertinggi setelah menempuh jalan pertaubatan dan menyucikan dirinya,
dengan penuh pengetahuan tentang Allah dan ayat-ayat-Nya
di dalam dirinya sendiri.
Nafs muthma’innah
inilah yang telah sepenuhnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar