[28/11 20:32] aji rasha: Al-Hikam
Pasal 12: Uzlah dan Tafakkur
مَا نَـفَعَ الْقَلْبَ مِثْلَ عُزْلَةٍ يَدْخُلُ بِهَا مِيْدَانَ فِكْرَةٍ
"Tidak ada sesuatu pun
yang lebih membawa manfaat bagi qalb sebagaimana uzlah,
yang dengan (uzlahnya) itu masuk ke medan tafakkur."
Syarah
Kata uzlah dalam Al-Hikam Pasal 12 ini bukanlah mengasingkan diri
dari hiruk-pikuk urusan dunia atau menghindar dari persoalan keseharian,
namun merenung dan berfikir mengenai apapun persoalan yang sedang Allah hadirkan, dengan ikhlas dan
tidak mengeluh.
Ini inti uzlah sebagai
«midana fikrah»
(medan tafakkur).
Inti dari uzlah
adalah untuk memasuki medan berpikir
(medan tafakkur).
Proses berpikir
harus dilalui dengan belajar, yang harus diawali
dengan niat
agar dapat memberi manfaat untuk orang lain.
Jika belajar tidak dengan niat yang benar,
maka Allah akanmenimpakan rijsa kepadanya.
Yang dimaksud Ar-rijsa adalah kemurkaan Allah—
yang bisa muncul dalam bentuk berbagai kesulitan hidup.
Dalam Mukhtarul Ahadits Rasulullah SAW bersabda,
“Barangsiapa
bertambah ilmunya
tapi tidak bertambah petunjuknya,
maka akan semakin jauh dirinya dari Allah.
” Orang yang semakin jauh dari Allah,
maka akan semakin bingung menghadapi kehidupan.
... وَيَجْعَلُ ٱلرِّجْسَ عَلَى ٱلَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ ۚ
Dan Tuhanmu berfirman: "“…
dan Allah
akan menimpakan rijsa kepada mereka yang tidak menggunakan aql mereka." – QS. Yunus [10] : 100
Siapapun
yang tidak menghidupkan aql-nya,
yaitu akal hatinya—
bukan sekadar akal pikiran semata—
maka otomatis ditimpa kesulitan hidup.
Hidup akan terasa membingungkan dan
sulit dipahami baginya.
Kalau kita tidak merenung, maka kita akan
ditimpa kebingungan dalam kehidupan.
Akan selalu ada ketidakpuasan tertentu dalam hidupnya,
yang pada akhirnya akan mengacaukan dirinya sendiri. Hal itu adalah
sebuah bentuk dari rijsun.
Uzlah itu penting dilakukan hingga hati menjadi kuat.
Jika hati masih runtuh
saat dikritik atau
dihina orang,
itu berarti hatinya
belum kuat.
Demikian pula,
jika dipuji hati masih meluap bangga diri,
berarti hatinya
adalah hati yang perlu untuk ber-uzlah.
أَفَلَمْ يَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَآ أَوْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى ٱلْأَبْصَٰرُ وَلَٰكِن تَعْمَى ٱلْقُلُوبُ ٱلَّتِى فِى ٱلصُّدُورِ
"Maka, tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga
hati (akal) mereka dapat memahami,
telinga mereka dapat mendengar?
Sebenarnya,
bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada." –
QS. Al-Hajj [22]: 46
[28/11 20:39] aji rasha: “Berjalan di bumi”
artinya
bertafakur
membaca kehidupan,
bukan sekadar berjalan
untuk bepergian berdarmawisata.
Kalau kita jalan di bumi ini hanya untuk bersenang-senang atau bermain-main,
justru hati akan menjadi mati.
Maka dari itu
kita harus merenung
saat menapaki bumi ini dan berjalan-jalan di atasnya.
Semakin
usia seseorang bertambah, maka kehidupannya pun akan semakin kompleks.
Itu sebenarnya
karena Allah
semakin mengajari.
Kalau kita
tidak mengembangkan qalb dan tafakur,
tidak merenung,
maka kita malah
akan semakin tergerus terus oleh mekanisme Allah itu.
Akan
semakin mempertanyakan hidupnya sendiri,
kenapa begini dan
kenapa begitu.
Hidup tidak puas
dan kacau.
Itu rijsun,
sesuatu yang digambarkan
di sini sebagai
kemurkaan Allah.
Akan tetapi,
sebetulnya bukan “kemurkaan”,
melainkan kebingungan dalam hidupnya.
Ujian dalam hidup
akan terus datang dan semakin meningkat,
karena orang beriman itu akan diuji.
Tidaklah seseorang
Allah buka hatinya,
lalu ingin hidup tenang
tanpa persoalan.
Tidak bisa—
sementara dalam hatinya masih begitu banyak
penyakit hati:
ada dengki,
bangga diri,
riya',
ingin dikenal orang,
dan sebagainya.
Karena itu,
jika seseorang
sekali ditaubatkan,
maka Allah
akan terus menariknya mendekat.
Namun,
ada yang panik
dan ketakutan, dan
ada pula yang tenang.
Dengan merenung
saat menjalani kehidupan
di dunia,
maka hati akan terbuka, diberi pemahaman,
sehingga tidak lagi
buta hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar