Doa adalah
sebuah bentuk ibadah.
Dan dalam Al-Quran,
Allah memerintahkan
kepada kita untuk berdoa kepada-Nya—
dan Dia Ta’ala pasti kabulkan.
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu." –
Q.S. Al-Mu'min [40]: 60
Tanda seorang mukmin sejati adalah:
lebih yakin dengan apa yang ada di Tangan Allah daripada apa yang dapat diusahakan oleh tangannya sendiri. Ketika doa yang kita panjatkan seolah tidak mendapat pengabulan dari Allah Ta’ala,
di situ terdapat ruang pengetahuan yang kosong yang harus kita cari dan isi.
Doa di sini bukan hanya terkait masalah duniawi; tetapi juga termasuk dalam hal spiritual.
Misalkan,
kita berdoa
agar diterima taubatnya dan dibersihkan dari segala dosa.
Hakikatnya
setiap doa
yang kita panjatkan
adalah sebuah refleksi
dari objek yang telah
Allah siapkan.
Tidak serta merta
kita menginginkan sesuatu
di dalam hati,
kecuali telah ada objeknya.
Tanpa objek yang telah
Allah sediakan,
pada dasarnya setiap orang tidak akan punya keinginan untuk berdoa.
Seperti ketika menginginkan sebuah makanan,
karena baunya
sudah tercium dari jauh.
Hanya saja manusia
kerap terjebak oleh ketidak-sabaran dan
waham (kesalahan pemikiran) tentang
dirinya sendiri.
Seperti ketika seorang sahabat meminta
kepada Rasulullah SAW
agar berjodoh dengan seorang perempuan;
maka jawaban
Rasulullah SAW
adalah: sekalipun dirinya
dan seluruh malaikat memanjatkan doa
maka bila itu bukan haknya dan tidak tertulis
di Lauh Mahfudz pasti
tidak akan terlaksana.
Keinginannya untuk memiliki jodoh adalah sebuah isyarat akan objek yang telah Allah sediakan,
tetapi keinginannya
akan perempuan tertentu adalah karena syahwat dan wahamnya yang masih belum surut.
Doa membutuhkan pengenalan (ma’rifah)
akan Allah dan
akan diri sendiri.
Allah yang lebih tahu
apa yang terbaik bagi makhluknya,
lebih dari seorang ibu mengetahui kebutuhan bayinya.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar