[29/11 09:45] aji rasha: Meletakkan Harapan
RUBU' AL-MUNJIYAT -
KITAB TAKUT DAN HARAP
Pernah datang seseorang dan bercerita kepada
Hasan Al-Bashri r.a.
tentang suatu kaum
yang mengatakan:
“Kami mengharap
kepada Allah”,
sedang mereka itu menyia-nyiakan amal.
Lalu Al-Bashri menjawab, “Amat jauh, amat jauh
yang demikian itu.
Itu adalah angan-angan mereka yang mereka berpegang padanya!”
Beliau kemudian berwasiat, “Barangsiapa mengharapkan sesuatu, niscaya dicarinya; dan barangsiapa takut kepada sesuatu niscaya ia lari daripadanya.”
Demikian dikisahkan
Imam Al-Ghazali dalam
Kitab Terpedaya,
Ihya ‘Ulumuddin.
Imam Al-Ghazali
mengatakan bahwa
takut dan harap
(khauf wa raja’)
merupakan dua panglima
dan penghela yang dapat membangkitkan manusia kepada amal.
Khauf
membawa kita
pada ketaatan, dan
raja’
membawa kita kepada amal.
Tentunya khauf dan raja’—yang selanjutnya akan dibahas—
ini memiliki berbagai
tingkat dan derajat,
sesuai dengan keadaan manusianya dan
tingkat pengetahuan (ma’rifah) mereka
kepada Allah.
Namun, sebagaimana
Ihya ‘Ulumuddin dimaksud untuk pembahasan persoalan mu’amalah,
Imam Al-Ghazali
kemudian mengemukakan dua keutamaan harapan.
Pertama,
pada diri orang
yang terjerumus dalam kehidupan maksiat lalu terguris dalam hatinya keinginan untuk bertaubat. Harapan mencegah dirinya berputus asa dan menguatkan dirinya bahwa Allah mengampunkan segenap dosa.
Firman Allah Ta’ala:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّـهِ ۚ إِنَّ اللَّـهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah! Hai, hamba-hamba-Ku
yang melampaui batas mencelakakan dirinya sendiri, janganlah kamu putus harapan dari rahmat Allah; sesungguhnya Allah mengampuni segenap dosa! Sesungguhnya
Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu! –
Q.S. Az-Zumar [39]: 53.
Kedua,
pada diri orang-orang
yang lemah dengan amal-amal fadhilah dan hanya mencukupkan diri dengan amal-amal wajib. Harapan membuatnya bangkit untuk memperoleh ni’mat Allah yang diperoleh oleh mereka yang berada di shirat al-mustaqim—sebagaimana yang kita pinta setiap rakaat shalat
saat membaca Al-Fatihah—seperti difirmankan dalam Al-Quran:
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Ar-Rasul, mereka itu akan bersama dengan orang-orang yang Allah anugerahi ni’mat,
yaitu
nabi-nabi,
ash-shiddiqin,
asy-syuhada dan ash-shalihin”
(Q.S. An-Nisa: 69).
Sehingga dengan harapan itu tergeraklah diri
kepada amal-amal fadhilah.
Bila harapan pertama mencegah keputusasaan dari jalan taubat dan harapan
kedua menghela kelemahan kepada kerajinan dan kekekalan amal,
maka
tiap-tiap yang mengakibatkan seseorang menyepelekan amal-amal batil dan membawa kelemahan kepada amal
adalah angan-angan belaka, dan angan-angan bukanlah harapan.
Inilah salah satu rahasia keterpedayaan (ghurur)
yang diungkap
Imam Al-Ghazali.
[29/11 09:53] aji rasha: Dalam sebuah Hadits Qudsi ada disebutkan:
“Aku adalah pada sangkaan hamba-Ku kepada-Ku;
maka hendaklah ia menyangka kepada-Ku dengan sangkaan yang baik”.
Tapi ini bukan berarti
kita boleh berbuat
sesuka hati dan berleha-leha dari amal dan mencukupkan diri dengan sangkaan bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Merahmati,
lalu mengatakan bahwa dirinya mengharap kepada Allah.
Nabi SAW sendiri menyingkapkan persoalan ini, sebagaimana sabdanya: “Orang pintar ialah
mereka yang mengagamakan dirinya dan beramal
untuk sesudah mati.
Dan orang bodoh ialah mereka yang mengikutkan dirinya kepada hawa-nafsu dan berangan-angan kepada Allah”.
Begitu juga dalam Al-Quran disebutkan bahwa
orang-orang yang
mengharap rahmat Allah ditunjukkan dengan keimanan,
hijrah dan
jihad mereka,
sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan orang-orang yang hijrah serta berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharap rahmat Allah” – Q.S. Al-Baqarah [2]: 218.
Imam Al-Ghazali
memberikan suatu perumpamaan yang indah bagaimana semestinya kita meletakkan harapan.
Diceritakan seorang petani yang berharap dapat menuai hasil yang baik dan melimpah dari ladangnya. Maka kemudian petani itu membajak tanahnya,
juga dipilihnya bibit yang terbaik untuk ditanam
di ladangnya.
Sepanjang musim petani tersebut senantiasa bekerja dengan seksama,
memberi pengairan dan pupuk yang cukup bagi tanahnya,
merawat tanamannya dari segala penyakit dan mencegahnya dari binatang yang dapat merusak.
Maka di sinilah letaknya harapan untuk menuai jerih upayanya dan
petani itu juga masih memiliki rasa takut bahwa panennya akan gagal.
Demikian pula halnya
dengan orang-orang yang beriman,
mengerjakan amal shalih dan meninggalkan perbuatan-perbuatan keji,
ia diliputi perasaan takut dan harap. Takut:
bahwa amalnya tidak diterima
dan ia tidak kekal dalam amal itu,
dan ia mendapatkan su’ul-khatimah.
Harap:
bahwa ia mengharap
Allah Ta’ala menetapkan, menguatkan dan
memelihara agamanya,
serta menjaga hatinya
dari kecenderungan hawa-nafsu dan syahwat sepanjang sisa hidupnya.
Di sinilah
harapan—
dan takut—
menjadi panglima
yang membawa manusia kepada taat (taubat)
dan membangkitkan
kepada amal.
Maka, sebagaimana diungkap dalam kisah
Hasan Al-Bashri di atas, apa-apa yang membawa diri kepada keputusasaan
dari jalan taubat, menyepelekan tindakan batil, melemahkan dan mencegah dari kekekalan amal bukanlah harapan,
melainkan angan-angan.
Dan barangsiapa
yang mengikuti angan-angan maka ia terpedaya.
Dalam Al-Quran disebutkan: “… Akan tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menanti-nanti serta ragu, dan kamu terpedaya
oleh angan-angan kosong sehingga datang amr-Allah; dan kamu telah terpedaya terhadap Allah oleh pendaya (al-ghurur)” –
Q.S. Al-Hadid [57]: 14.
Resume
Apa yang membedakan sebuah harapan kepada Allah dengan hanya sekedar angan-angan?
Rasa takut kepada-Nya dan kesungguhan dalam beramal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar