Senin, 29 November 2021

RUBU' AL-MUNJIYAT - KITAB TAKUT DAN HARAP

[29/11 09:45] aji rasha: Meletakkan Harapan
RUBU' AL-MUNJIYAT - 
KITAB TAKUT DAN HARAP

Pernah datang seseorang dan bercerita kepada 
Hasan Al-Bashri r.a. 

tentang suatu kaum 
yang mengatakan: 
“Kami mengharap 
kepada Allah”, 
sedang mereka itu menyia-nyiakan amal. 

Lalu Al-Bashri menjawab, “Amat jauh, amat jauh 
yang demikian itu. 
Itu adalah angan-angan mereka yang mereka berpegang padanya!” 

Beliau kemudian berwasiat, “Barangsiapa mengharapkan sesuatu, niscaya dicarinya; dan barangsiapa takut kepada sesuatu niscaya ia lari daripadanya.” 

Demikian dikisahkan 
Imam Al-Ghazali dalam 
Kitab Terpedaya, 
Ihya ‘Ulumuddin.

Imam Al-Ghazali 
mengatakan bahwa 
takut dan harap 
(khauf wa raja’) 
merupakan dua panglima 
dan penghela yang dapat membangkitkan manusia kepada amal. 

Khauf 
membawa kita 
pada ketaatan, dan 

raja’ 
membawa kita kepada amal. 

Tentunya khauf dan raja’—yang selanjutnya akan dibahas—

ini memiliki berbagai 
tingkat dan derajat, 
sesuai dengan keadaan manusianya dan 
tingkat pengetahuan (ma’rifah) mereka 
kepada Allah. 

Namun, sebagaimana 
Ihya ‘Ulumuddin dimaksud untuk pembahasan persoalan mu’amalah, 
Imam Al-Ghazali 
kemudian mengemukakan dua keutamaan harapan.

Pertama, 
pada diri orang 
yang terjerumus dalam kehidupan maksiat lalu terguris dalam hatinya keinginan untuk bertaubat. Harapan mencegah dirinya berputus asa dan menguatkan dirinya bahwa Allah mengampunkan segenap dosa. 

Firman Allah Ta’ala:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَ‌فُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّ‌حْمَةِ اللَّـهِ ۚ إِنَّ اللَّـهَ يَغْفِرُ‌ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ‌ الرَّ‌حِيمُ

Katakanlah! Hai, hamba-hamba-Ku 
yang melampaui batas mencelakakan dirinya sendiri, janganlah kamu putus harapan dari rahmat Allah; sesungguhnya Allah mengampuni segenap dosa! Sesungguhnya 
Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang. 
Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu! – 
Q.S. Az-Zumar [39]: 53.

Kedua, 
pada diri orang-orang 
yang lemah dengan amal-amal fadhilah dan hanya mencukupkan diri dengan amal-amal wajib. Harapan membuatnya bangkit untuk memperoleh ni’mat Allah yang diperoleh oleh mereka yang berada di shirat al-mustaqim—sebagaimana yang kita pinta setiap rakaat shalat 
saat membaca Al-Fatihah—seperti difirmankan dalam Al-Quran: 
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Ar-Rasul, mereka itu akan bersama dengan orang-orang yang Allah anugerahi ni’mat, 
yaitu 
nabi-nabi, 
ash-shiddiqin, 
asy-syuhada dan ash-shalihin” 
(Q.S. An-Nisa: 69). 

Sehingga dengan harapan itu tergeraklah diri 
kepada amal-amal fadhilah.

Bila harapan pertama mencegah keputusasaan dari jalan taubat dan harapan 

kedua menghela kelemahan kepada kerajinan dan kekekalan amal, 

maka 
tiap-tiap yang mengakibatkan seseorang menyepelekan amal-amal batil dan membawa kelemahan kepada amal 
adalah angan-angan belaka, dan angan-angan bukanlah harapan. 

Inilah salah satu rahasia keterpedayaan (ghurur) 
yang diungkap 
Imam Al-Ghazali.
[29/11 09:53] aji rasha: Dalam sebuah Hadits Qudsi ada disebutkan: 
“Aku adalah pada sangkaan hamba-Ku kepada-Ku; 
maka hendaklah ia menyangka kepada-Ku dengan sangkaan yang baik”. 

Tapi ini bukan berarti 
kita boleh berbuat 
sesuka hati dan berleha-leha dari amal dan mencukupkan diri dengan sangkaan bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Merahmati, 
lalu mengatakan bahwa dirinya mengharap kepada Allah.

Nabi SAW sendiri menyingkapkan persoalan ini, sebagaimana sabdanya: “Orang pintar ialah 
mereka yang mengagamakan dirinya dan beramal 
untuk sesudah mati. 

Dan orang bodoh ialah mereka yang mengikutkan dirinya kepada hawa-nafsu dan berangan-angan kepada Allah”. 

Begitu juga dalam Al-Quran disebutkan bahwa 

orang-orang yang 
mengharap rahmat Allah ditunjukkan dengan keimanan, 
hijrah dan 
jihad mereka, 

sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya 
orang-orang yang beriman dan orang-orang yang hijrah serta berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharap rahmat Allah” – Q.S. Al-Baqarah [2]: 218.

Imam Al-Ghazali 
memberikan suatu perumpamaan yang indah bagaimana semestinya kita meletakkan harapan. 

Diceritakan seorang petani yang berharap dapat menuai hasil yang baik dan melimpah dari ladangnya. Maka kemudian petani itu membajak tanahnya, 
juga dipilihnya bibit yang terbaik untuk ditanam 
di ladangnya. 
Sepanjang musim petani tersebut senantiasa bekerja dengan seksama, 
memberi pengairan dan pupuk yang cukup bagi tanahnya, 
merawat tanamannya dari segala penyakit dan mencegahnya dari binatang yang dapat merusak. 
Maka di sinilah letaknya harapan untuk menuai jerih upayanya dan 
petani itu juga masih memiliki rasa takut bahwa panennya akan gagal.

Demikian pula halnya 
dengan orang-orang yang beriman, 
mengerjakan amal shalih dan meninggalkan perbuatan-perbuatan keji, 
ia diliputi perasaan takut dan harap. Takut: 
bahwa amalnya tidak diterima 
dan ia tidak kekal dalam amal itu, 
dan ia mendapatkan su’ul-khatimah. 

Harap: 
bahwa ia mengharap 
Allah Ta’ala menetapkan, menguatkan dan 
memelihara agamanya, 
serta menjaga hatinya 
dari kecenderungan hawa-nafsu dan syahwat sepanjang sisa hidupnya.

Di sinilah 
harapan—
dan takut—
menjadi panglima 
yang membawa manusia kepada taat (taubat) 
dan membangkitkan 
kepada amal. 

Maka, sebagaimana diungkap dalam kisah 
Hasan Al-Bashri di atas, apa-apa yang membawa diri kepada keputusasaan 
dari jalan taubat, menyepelekan tindakan batil, melemahkan dan mencegah dari kekekalan amal bukanlah harapan, 
melainkan angan-angan. 

Dan barangsiapa 
yang mengikuti angan-angan maka ia terpedaya.

Dalam Al-Quran disebutkan: “… Akan tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menanti-nanti serta ragu, dan kamu terpedaya 
oleh angan-angan kosong sehingga datang amr-Allah; dan kamu telah terpedaya terhadap Allah oleh pendaya (al-ghurur)” – 
Q.S. Al-Hadid [57]: 14.

 
Resume
Apa yang membedakan sebuah harapan kepada Allah dengan hanya sekedar angan-angan? 
Rasa takut kepada-Nya dan kesungguhan dalam beramal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar