[29/11 11:11] aji rasha: Kemursyidan
Peran dan Tugasnya
SECARA umum,
setiap manusia memiliki dimensi lahiriah dan
dimensi batiniah.
Dimensi lahiriah
berpusat pada akal budinya (intelektualitas), sedangkan
dimensi bathiniah
berpusat pada akal hatinya (lubb).
Sebagaimana
jasad manusia yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan intelektual dalam hidupnya di dunia,
demikian pula
jiwa manusia.
Ia memerlukan pertumbuhan dan perkembangan pada aspek hati maupun
akal hatinya.
Untuk mengenal dan
taqarrub kepada Allah, manusia harus melakukan tazkiyatun-nafs, atau
proses pemurnian jiwa (nafs) dari hawa nafsunya.
Pintu gerbang proses tazkiyatun-nafs adalah pertaubatan.
Oleh karena itu,
tugas khusus seorang Mursyid dalam sebuah thariqah adalah
untuk memandu manusia dalam melakukan proses pertaubatan,
untuk melalui serangkaian tahapan tazkiyatun-nafs hingga sang murid dapat mengenali jiwa sejati
(nafs muthmainah) dan shiratal mustaqim-nya sendiri.
Proses tazkiyatun-nafs sendiri akan terkait
dengan
“membunuh jiwa-jiwamu”
(jamak), yaitu
menghilangkan
secara perlahan-lahan
semua kehendak diri
yang berasal dari
kehendak berbagai
hawa nafsu dan syahwat dalam diri kita,
yang tidak bersesuaian dengan kehendak Allah.
Persoalan ini dinyatakan Allah SWT di dalam Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ [4] : 66-68.
وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِن دِيَارِكُم مَّا فَعَلُوهُ إِلَّا قَلِيلٌ مِّنْهُمْ ۖ وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا
وَإِذًا لَّآتَيْنَاهُم مِّن لَّدُنَّا أَجْرًا عَظِيمًا
وَلَهَدَيْنَاهُمْ صِرَاطًا مُّسْتَقِيمًا
Dan sesungguhnya
kalau Kami perintahkan kepada mereka
'Bunuhlah dirimu (anfus) atau keluarlah dari kampungmu', niscaya mereka tidak akan melakukannya,
kecuali hanya sebagian
kecil saja dari mereka.
Dan sesungguhnya seandainya mereka menjalankan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentu hal yang demikian itu akan lebih baik bagi mereka dan lebih menguatka pijakan. Dan dengan demikian
pasti akan Kami berikan kepada mereka balasan yang besar dari sisi Kami,
dan pasti akan Kami tunjukkan Shiratal Mustaqim. – Q.S. An-Nisaa' [4]: 66-68
[29/11 11:15] aji rasha: Persoalan diri manusia beserta seluruh
dimensi ruhaniyah-nya merupakan persoalan
yang sangat kompleks.
Oleh karena itu,
tugas kemursyidan
yang hakiki
hanya dapat dipikul
oleh seseorang yang misi hidup-nya memang sebagai seorang Mursyid,
yang telah Allah SWT perkuat dgn nur ilmu kemursyidan.
Secara umum,
tugas seorang Mursyid
dalam sebuah thariqah adalah untuk memandu
para murid hingga mereka dapat bertemu dengan mursyid sejatinya masing-masing,
yaitu mursyid yang ada
di dalam dirinya sendiri:
sang nafs muthmainnah, karena nafs muthmainnah inilah yang telah tertuntun langsung oleh Allah Ta’ala melalui petunjuk-petunjuk-Nya
yang terus-menerus.
Setelah sang murid diperkuat oleh mursyid sejatinya
inilah (mengenal qudrah diri), maka secara formal
tugas Mursyid dalam membimbing sang murid telah selesai.
وَتَرَى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَت تَّزَاوَرُ عَن كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَإِذَا غَرَبَت تَّقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِي فَجْوَةٍ مِّنْهُ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّـهِ ۗ مَن يَهْدِ اللَّـهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۖ وَمَن يُضْلِلْ فَلَن تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُّرْشِدًا
Barang siapa
diberi petunjuk oleh Allah maka dialah yang mendapat petunjuk, dan
barang siapa
yang disesatkan-Nya
maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemandupun yang dapat memberi petunjuk kepadanya (waliyan mursyida). –
Q.S. Al-Kahfi [18]: 17
[29/11 11:27] aji rasha: Tugas seorang Mursyid dalam sebuah thariqah adalah untuk memandu
para murid hingga mereka dapat bertemu dengan mursyid sejatinya masing-masing,
yaitu mursyid yang ada
di dalam dirinya sendiri.
Tugas Mursyid
di dalam suatu thariqah berakhir dengan wafatnya sang Mursyid.
Tugas ini
tidak dapat diwariskan kepada anak kandung ataupun murid yang paling disayanginya,
karena nur ilmu kemursyidan akan diangkat seiring dengan kembalinya sang Mursyid ke haribaan Allah SWT.
Diangkatnya nur ilmu
sang ulama adalah
melalui kewafatannya, sebab ilmu-ilmu itu berada di dalam dadanya.
Kepergian sang Mursyid berarti kepergian nur ilmu tersebut.
Tugas kemursyidan
di dalam suatu thariqah hanya dapat dilanjutkan oleh seorang murid yg menerima
nur ilmu kemursyidan berikutnya.
Sesungguhnya
Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya
dari hamba-hamba tersebut. Akan tetapi
Dia mencabutnya
dengan diwafatkannya
para ulama,
sehingga jika Allah
tidak menyisakan
seorang alim pun
maka orang-orang
akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang yang bodoh.
Ketika mereka ditanya, mereka pun akan berfatwa tanpa dasar ilmu,
mereka sesat dan menyesatkan. –
H.R. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673
Seorang Mursyid hakiki, dalam menjalankan tugasnya,
tidak boleh meminta dan mengharapkan imbalan dari para murid yang dibinanya dalam bentuk apapun. Seluruh tugas kemursyidan dijalankan dengan ikhlas, hanya demi mengharap Wajah dan Keridhaan
Allah SWT.
Dia-lah yang menjamin kehidupannya baik di dunia maupun di akhirat.
اتَّبِعُوا مَن لَّا يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُم مُّهْتَدُونَ
Ikutilah mereka
yang tiada meminta balasan kepadamu dan
mereka adalah
orang-orang terpandu dengan petunjuk (al-muhtaduun). – Q.S. Yaasiin [36]: 21
Tugas pokok
seorang Mursyid adalah memandu para murid melalui tiga tahapan besar
perjalanan ruhani (suluk).
Pertama,
memandu sang murid memasuki gerbang taubat, hingga jiwanya mencapai kondisi suci awal (muthahharun).
Kedua,
memandu menumbuhkan jiwa sang murid hingga terbuka qudrah diri dan mengenal fungsi hidupnya—untuk menjalankan amanah apa sesungguhnya
ia diciptakan.
Ketiga,
memandu sang murid
untuk menjadi hamba-Nya yang didekatkan (qariib) kepada Allah SWT.
Sebagaimana
tubuh memerlukan makanan untuk tumbuh,
maka
jiwa juga memerlukan “makanan” untuk tumbuh.
Makanan jiwa berupa ilmu-ilmu haqiqi dan hikmah-hikmah, yang bersumber dari
Al-Qur’an dan Sunnah
Nabi Muhammad SAW.
Itulah sebabnya, bahwa
yang terpenting dari
seorang Mursyid bukanlah karomah-karomah, melainkan kemampuan
yang diberikan Allah Ta’ala kepadanya terkait pembimbingan,
penuntunan dan
pendidikan jiwa (nafs) manusia.
Inilah sebagaimana
yang dikatakan
Syaikh Al-Akbar
dalam Kitab Syathranjul Arifin (Papan Catur Para Arif): “Syarat untuk menjadi seorang Syaikh adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan para murid
yang terkai dengan
pendidikan,
bukan karamah dan kemampuan menyingkap batin seorang murid.”
[29/11 11:30] aji rasha: يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Allah menganugrahkan hikmah kepada siapa
yang dikehendaki-Nya.
Dan barang siapa
dianugrahi hikmah
maka sungguh ia telah diberi kebaikan yang amat banyak. Dan hanya orang-orang berakallah (ulul albaab) yang dapat mengambil pelajaran. – Q.S. Al-Baqarah [2]: 269
Resume
Persoalan diri manusia beserta seluruh dimensi ruhaniyah-nya
merupakan persoalan
yang sangat kompleks.
Oleh karena itu,
tugas kemursyidan
yang hakiki hanya dapat dipikul oleh seseorang
yang misi hidupnya memang sebagai seorang Mursyid, yang telah Allah SWT
perkuat dengan
nur ilmu kemursyidan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar