Senin, 29 November 2021

Kemursyidan Peran dan Tugasnya

[29/11 11:11] aji rasha: Kemursyidan
Peran dan Tugasnya

SECARA umum, 
setiap manusia memiliki dimensi lahiriah dan 
dimensi batiniah. 

Dimensi lahiriah 
berpusat pada akal budinya (intelektualitas), sedangkan 

dimensi bathiniah 
berpusat pada akal hatinya (lubb). 

Sebagaimana 
jasad manusia yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan intelektual dalam hidupnya di dunia, 

demikian pula 
jiwa manusia. 
Ia memerlukan pertumbuhan dan perkembangan pada aspek hati maupun 
akal hatinya.

Untuk mengenal dan 
taqarrub kepada Allah, manusia harus melakukan tazkiyatun-nafs, atau 
proses pemurnian jiwa (nafs) dari hawa nafsunya. 

Pintu gerbang proses tazkiyatun-nafs adalah pertaubatan. 

Oleh karena itu, 
tugas khusus seorang Mursyid dalam sebuah thariqah adalah 
untuk memandu manusia dalam melakukan proses pertaubatan, 
untuk melalui serangkaian tahapan tazkiyatun-nafs hingga sang murid dapat mengenali jiwa sejati 
(nafs muthmainah) dan shiratal mustaqim-nya sendiri. 

Proses tazkiyatun-nafs sendiri akan terkait 
dengan 
“membunuh jiwa-jiwamu” 
(jamak), yaitu 
menghilangkan 
secara perlahan-lahan 
semua kehendak diri 
yang berasal dari 
kehendak berbagai 
hawa nafsu dan syahwat dalam diri kita, 
yang tidak bersesuaian dengan kehendak Allah.

Persoalan ini dinyatakan Allah SWT di dalam Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ [4] : 66-68.

وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ أَوِ اخْرُ‌جُوا مِن دِيَارِ‌كُم مَّا فَعَلُوهُ إِلَّا قَلِيلٌ مِّنْهُمْ ۖ وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرً‌ا لَّهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا

وَإِذًا لَّآتَيْنَاهُم مِّن لَّدُنَّا أَجْرً‌ا عَظِيمًا

وَلَهَدَيْنَاهُمْ صِرَ‌اطًا مُّسْتَقِيمًا

Dan sesungguhnya 
kalau Kami perintahkan kepada mereka 
'Bunuhlah dirimu (anfus) atau keluarlah dari kampungmu', niscaya mereka tidak akan melakukannya, 
kecuali hanya sebagian 
kecil saja dari mereka. 
Dan sesungguhnya seandainya mereka menjalankan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentu hal yang demikian itu akan lebih baik bagi mereka dan lebih menguatka pijakan. Dan dengan demikian 
pasti akan Kami berikan kepada mereka balasan yang besar dari sisi Kami, 
dan pasti akan Kami tunjukkan Shiratal Mustaqim. – Q.S. An-Nisaa' [4]: 66-68
[29/11 11:15] aji rasha: Persoalan diri manusia beserta seluruh 
dimensi ruhaniyah-nya merupakan persoalan 
yang sangat kompleks. 
Oleh karena itu, 
tugas kemursyidan 
yang hakiki 
hanya dapat dipikul 
oleh seseorang yang misi hidup-nya memang sebagai seorang Mursyid, 
yang telah Allah SWT perkuat dgn nur ilmu kemursyidan.

Secara umum, 
tugas seorang Mursyid 
dalam sebuah thariqah adalah untuk memandu 
para murid hingga mereka dapat bertemu dengan mursyid sejatinya masing-masing, 

yaitu mursyid yang ada 
di dalam dirinya sendiri: 
sang nafs muthmainnah, karena nafs muthmainnah inilah yang telah tertuntun langsung oleh Allah Ta’ala melalui petunjuk-petunjuk-Nya 
yang terus-menerus. 

Setelah sang murid diperkuat oleh mursyid sejatinya 
inilah (mengenal qudrah diri), maka secara formal 
tugas Mursyid dalam membimbing sang murid telah selesai.

وَتَرَ‌ى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَت تَّزَاوَرُ‌ عَن كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَإِذَا غَرَ‌بَت تَّقْرِ‌ضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِي فَجْوَةٍ مِّنْهُ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّـهِ ۗ مَن يَهْدِ اللَّـهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۖ وَمَن يُضْلِلْ فَلَن تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُّرْ‌شِدًا

Barang siapa 
diberi petunjuk oleh Allah maka dialah yang mendapat petunjuk, dan 
barang siapa 
yang disesatkan-Nya 
maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemandupun yang dapat memberi petunjuk kepadanya (waliyan mursyida). – 
Q.S. Al-Kahfi [18]: 17
[29/11 11:27] aji rasha: Tugas seorang Mursyid dalam sebuah thariqah adalah untuk memandu 
para murid hingga mereka dapat bertemu dengan mursyid sejatinya masing-masing, 
yaitu mursyid yang ada 
di dalam dirinya sendiri.

Tugas Mursyid 
di dalam suatu thariqah berakhir dengan wafatnya sang Mursyid. 

Tugas ini 
tidak dapat diwariskan kepada anak kandung ataupun murid yang paling disayanginya, 
karena nur ilmu kemursyidan akan diangkat seiring dengan kembalinya sang Mursyid ke haribaan Allah SWT.

Diangkatnya nur ilmu 
sang ulama adalah 
melalui kewafatannya, sebab ilmu-ilmu itu berada di dalam dadanya. 

Kepergian sang Mursyid berarti kepergian nur ilmu tersebut. 
Tugas kemursyidan 
di dalam suatu thariqah hanya dapat dilanjutkan oleh seorang murid yg menerima 
nur ilmu kemursyidan berikutnya.

Sesungguhnya 
Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya 
dari hamba-hamba tersebut. Akan tetapi 
Dia mencabutnya 
dengan diwafatkannya 
para ulama, 
sehingga jika Allah 
tidak menyisakan 
seorang alim pun 
maka orang-orang 
akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang yang bodoh. 

Ketika mereka ditanya, mereka pun akan berfatwa tanpa dasar ilmu, 
mereka sesat dan menyesatkan. – 
H.R. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673

Seorang Mursyid hakiki, dalam menjalankan tugasnya, 
tidak boleh meminta dan mengharapkan imbalan dari para murid yang dibinanya dalam bentuk apapun. Seluruh tugas kemursyidan dijalankan dengan ikhlas, hanya demi mengharap Wajah dan Keridhaan 
Allah SWT. 
Dia-lah yang menjamin kehidupannya baik di dunia maupun di akhirat.

اتَّبِعُوا مَن لَّا يَسْأَلُكُمْ أَجْرً‌ا وَهُم مُّهْتَدُونَ

Ikutilah mereka 
yang tiada meminta balasan kepadamu dan 
mereka adalah 
orang-orang terpandu dengan petunjuk (al-muhtaduun). – Q.S. Yaasiin [36]: 21

Tugas pokok 
seorang Mursyid adalah memandu para murid melalui tiga tahapan besar 
perjalanan ruhani (suluk). 

Pertama, 
memandu sang murid memasuki gerbang taubat, hingga jiwanya mencapai kondisi suci awal (muthahharun). 

Kedua, 
memandu menumbuhkan jiwa sang murid hingga terbuka qudrah diri dan mengenal fungsi hidupnya—untuk menjalankan amanah apa sesungguhnya 
ia diciptakan. 

Ketiga, 
memandu sang murid 
untuk menjadi hamba-Nya yang didekatkan (qariib) kepada Allah SWT.

Sebagaimana 
tubuh memerlukan makanan untuk tumbuh, 
maka 
jiwa juga memerlukan “makanan” untuk tumbuh. 

Makanan jiwa berupa ilmu-ilmu haqiqi dan hikmah-hikmah, yang bersumber dari 
Al-Qur’an dan Sunnah 
Nabi Muhammad SAW. 

Itulah sebabnya, bahwa 
yang terpenting dari 
seorang Mursyid bukanlah karomah-karomah, melainkan kemampuan 
yang diberikan Allah Ta’ala kepadanya terkait pembimbingan, 
penuntunan dan 
pendidikan jiwa (nafs) manusia. 

Inilah sebagaimana 
yang dikatakan 
Syaikh Al-Akbar 
dalam Kitab Syathranjul Arifin (Papan Catur Para Arif): “Syarat untuk menjadi seorang Syaikh adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan para murid 
yang terkai dengan
pendidikan, 
bukan karamah dan kemampuan menyingkap batin seorang murid.”
[29/11 11:30] aji rasha: يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرً‌ا كَثِيرً‌ا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ‌ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

Allah menganugrahkan hikmah kepada siapa 
yang dikehendaki-Nya. 
Dan barang siapa 
dianugrahi hikmah 
maka sungguh ia telah diberi kebaikan yang amat banyak. Dan hanya orang-orang berakallah (ulul albaab) yang dapat mengambil pelajaran. – Q.S. Al-Baqarah [2]: 269

Resume

Persoalan diri manusia beserta seluruh dimensi ruhaniyah-nya 
merupakan persoalan 
yang sangat kompleks. 
Oleh karena itu, 
tugas kemursyidan 
yang hakiki hanya dapat dipikul oleh seseorang 
yang misi hidupnya memang sebagai seorang Mursyid, yang telah Allah SWT 
perkuat dengan 
nur ilmu kemursyidan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar