Senin, 29 November 2021

al hikam pasal 58. KEMATIAN HATI

[28/11 22:26] aji rasha: Al-Hikam 
Pasal 58: Kematian Hati
مِنْ عَلَامَاتِ مَوْتِ الْقَلْبِ عَدَمُ الْحُزْنِ عَلَىْ مَا فَاتَكَ مِنَ الْمُوَافِقَاتِ، وَتَرْكُ الْنَّدَمِ عَلَىْ مَا فَعَلَهُ مِنْ وُجُوْدِ الْزَّلَّاتِ

"Di antara tanda-tanda kematian hati (adalah) 
tidak adanya kesedihan 
atas apa-apa yang meninggalkanmu 
berupa (kondisi-kondisi/amalan-amalan) 
yang sesuai (al-muwafiqati). 

Dan tidak meninggalkan penyesalan atas apa-apa yang telah engkau lakukan berupa ketergelinciran-
ketergelinciran (perbuatan-perbuatan 
yang menyimpang)."

Syarah

Pasal ini banyak menyimpan rahasia yang penting. 
Tidak sekedar 
tentang sebuah kesedihan 
karena meninggalkan perbuatan baik atau menyesal karena 
berbuat dosa. 

Seperti halnya ada 
istilah Al-Muwafiqati, 
tidak sesederhana 
diartikan sebagai suatu kebaikan atau amal hasanah, namun terkait istilah teknis dalam suluk. 

Al-Muwafiqati adalah 
apa yang sesuai dengan 
diri kita, yakni 
fitrah.

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَ‌تَ اللَّـهِ الَّتِي فَطَرَ‌ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّـهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَـٰكِنَّ أَكْثَرَ‌ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada 
Agama (Allah); 
(Itu adalah) fitrah Allah 
yang Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. 
(Itulah) Agama yang kokoh, tetapi sebagian besar manusia 
tidak mengetahuinya. – 
Q.S. Ar-Ruum [30]: 30–31

Menghadapkan wajah kita kepada Agama Allah, 
itulah fitrah.

Beragama adalah 
sebuah fitrah. 
Manusia bisa mengerjakan semua hal, 
tapi tidak akan bahagia 
jika tidak menemukan pekerjaan yang sesuai fitrahnya. 
Karena seperti tertulis di Q.S. Ar-Ruum [30]: 30 itu, 
manusia didesain 
sesuai dengan fitrah. 
Dan menghadapkan wajah kepada Agama Allah 
adalah fitrah manusia. 

Seiring hilangnya 
hijab dan dosa, 
maka seseorang akan otomatis mencari sebuah orientasi, 
senantiasa mencari jalan 
ke hal yang menjadi fitrahnya.

Fitrah manusia, 
menurut Ibnu Arabi, 
adalah 
kecenderungan manusia untuk mencari imam, mencari seorang penuntun, panutan, 
waliyan murysida 
(lihat Q.S. [18]: 17), 
sesuatu yang 
menuntun dirinya ke hadirat Allah Ta'ala. 
Sebuah simbol, 
tendensi, 
untuk mencari hal 
yang lebih tinggi.

Setiap manusia 
memiliki fitrahnya. 
Tidak ada bayi yang lahir kemudian menjadi gay 
atau lesbi, itu 
adalah sebuah contoh penyimpangan. 

Setiap bayi terlahir fitrah, yaitu insan yang menghadapkan wajahnya kepada Agama Allah. 

Setiap bayi adalah 
seorang pencari Tuhan. Semua manusia, 
di mana pun—
jika disentuh oleh hal 
yang ilahiah, 
akan runtuh hatinya.
[28/11 22:38] aji rasha: Di antara tanda-tanda kematian hati (qalb), 
adalah 
tidak adanya kesedihan 
atas apa-apa yang meninggalkanmu berupa (kondisi/amalan-amalan) yang sesuai 
(dengan jiwamu).

Kalau orang 
yang hatinya mati, 
ia tak akan menjadi sedih dengan kehilangan kekhusyu'an dalam shalat. Tidak menjadi sedih 
dengan hilangnya kesabaran, kepemurahan, kejujuran dan semua penghias hati.

Adapun orang 
yang hidup hatinya 
akan sedih 
dengan kehilangan kekhusyu'an dalam shalat, kehilangan kemampuan untuk bisa bersabar, bersyukur, 
berbuat kebaikan—
terlebih lagi, 
kehilangan sesuatu 
yang sesuai dengan kodrat atau fitrah dirinya.

Allah Ta'ala 
senantiasa menempatkan kita dalam dalam sebuah momen, selintas, kepada sebuah keadaan yang sesuai dengan fitrah, 
yang hal itu kemudian menginspirasinya. 
Apa-apa yang 
menginspirasi kita 
yang terkait misi hidup masing-masing 
akan selalu ada, terkecuali jika hatinya mati. 

Jika hatinya mati, 
tidak akan mencari apa-apa yang sesuai dengan 
kodrat dirinya, 
dengan fitrahnya.

Allah Ta’ala 
bisa saja tanpa sebab memberi sebuah kemanisan dalam shalat (khusyu') 
dalam sesaat, yang kemudian Allah mengambilnya 
tanpa sebab, agar kemudian orang tersebut berada 
dalam kesedihan dan 
merasa kehilangan yang kemudian membuatnya mencari-Nya.

Perhatikan diri masing-masing. 
Apakah pernah merindukan kekhusyu'an dalam shalat? 

Apakah ada 
sebuah kesedihan dengan kehilangan hal tersebut? 

Semoga itu menjadi tanda bahwa hatinya tidak mati.

Coba perhatikan lagi 
pasal 58 Al-Hikam ini.

Kalimat yang pertama 
adalah terkait 
kehilangan pakaian hati, kekhusyu'an, 
kepemurahan, 
kesabaran, 
kejujuran, 
dan lain sebagainya.

Yang kedua terkait 
perbuatan buruk. 
Seperti halnya ketika kita salah dalam berbicara, 
terbit sebuah penyesalan 
di hati. 
Sebuah rasa berat 
karena ketergelinciran lantaran perbuatan 
yang kecil. 

Jika hatinya mati, 
maka tidak terasa berat ketika salah bicara, 
tidak terasa berat 
ketika memfitnah, menggibah, atau 
berbuat hal-hal yang 
tidak pas dengan 
kondisi jiwanya.

Setiap yang kita perbuat 
akan menjejak di hati. 
Dalam kehidupan, 
Allah Ta’ala 
selalu memberi kesempatan setiap saat kepada kita 
untuk beramal shalih. 
Allah Ta'ala 
menguji dengan hal 
yang kecil dalam kehidupan. 

Hati kita bisa menjadi 
alat ukur akan hal tersebut, 
di mana dalam 
pasal Al-Hikam ini: 
ihwal sebuah kesedihan 
yang terkait dengan hilangnya kesempatan 
yang sangat penting 
dalam kehidupan.

Penting buat kita 
untuk mengukur tanda kematian hati. 

Apakah kita 
tidak merasa sedih 
jika kehilangan hal-hal 
yang sesuai dengan bentuk kehidupan kita (fitrah)? 

Pekerjaan yang sesuai, 
amal soleh, 
kekhusyu'an, 
dan lain sebagainya?

Hati yang sensitif—
bukan di level perbuatan—adalah 
hati yang peka 
terhadap “perasaan” 
Allah Ta’ala. 

Seorang mukmin 
akan senantiasa mensensitifkan hatinya terhadap “perasaan” Allah. 

Apakah perbuatanku membuat Allah tersenyum? 
Apakah Dia ridha? 
Apakah Dia berkenan 
dengan apa 
yang aku perbuat?

Kita bisa mengukur 
tingkat kematian hati masing-masing.

Seorang yang hatinya mati tidak akan tertarik 
akan sebuah keshalihan. Tidak akan merindukan 
untuk menjadi shalih. 
Kalau tidak berjuang untuk meraih akhlak yang shalih, yakni akhlak Nabi SAW, 
maka itu tanda matinya hati. 

.Sepanjang kita tidak puas dengan akhlak hari ini, berjuang mengikuti 
Nabi SAW, 
itu tanda hati yang hidup. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar