[28/11 22:26] aji rasha: Al-Hikam
Pasal 58: Kematian Hati
مِنْ عَلَامَاتِ مَوْتِ الْقَلْبِ عَدَمُ الْحُزْنِ عَلَىْ مَا فَاتَكَ مِنَ الْمُوَافِقَاتِ، وَتَرْكُ الْنَّدَمِ عَلَىْ مَا فَعَلَهُ مِنْ وُجُوْدِ الْزَّلَّاتِ
"Di antara tanda-tanda kematian hati (adalah)
tidak adanya kesedihan
atas apa-apa yang meninggalkanmu
berupa (kondisi-kondisi/amalan-amalan)
yang sesuai (al-muwafiqati).
Dan tidak meninggalkan penyesalan atas apa-apa yang telah engkau lakukan berupa ketergelinciran-
ketergelinciran (perbuatan-perbuatan
yang menyimpang)."
Syarah
Pasal ini banyak menyimpan rahasia yang penting.
Tidak sekedar
tentang sebuah kesedihan
karena meninggalkan perbuatan baik atau menyesal karena
berbuat dosa.
Seperti halnya ada
istilah Al-Muwafiqati,
tidak sesederhana
diartikan sebagai suatu kebaikan atau amal hasanah, namun terkait istilah teknis dalam suluk.
Al-Muwafiqati adalah
apa yang sesuai dengan
diri kita, yakni
fitrah.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّـهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّـهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَـٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
Agama (Allah);
(Itu adalah) fitrah Allah
yang Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.
(Itulah) Agama yang kokoh, tetapi sebagian besar manusia
tidak mengetahuinya. –
Q.S. Ar-Ruum [30]: 30–31
Menghadapkan wajah kita kepada Agama Allah,
itulah fitrah.
Beragama adalah
sebuah fitrah.
Manusia bisa mengerjakan semua hal,
tapi tidak akan bahagia
jika tidak menemukan pekerjaan yang sesuai fitrahnya.
Karena seperti tertulis di Q.S. Ar-Ruum [30]: 30 itu,
manusia didesain
sesuai dengan fitrah.
Dan menghadapkan wajah kepada Agama Allah
adalah fitrah manusia.
Seiring hilangnya
hijab dan dosa,
maka seseorang akan otomatis mencari sebuah orientasi,
senantiasa mencari jalan
ke hal yang menjadi fitrahnya.
Fitrah manusia,
menurut Ibnu Arabi,
adalah
kecenderungan manusia untuk mencari imam, mencari seorang penuntun, panutan,
waliyan murysida
(lihat Q.S. [18]: 17),
sesuatu yang
menuntun dirinya ke hadirat Allah Ta'ala.
Sebuah simbol,
tendensi,
untuk mencari hal
yang lebih tinggi.
Setiap manusia
memiliki fitrahnya.
Tidak ada bayi yang lahir kemudian menjadi gay
atau lesbi, itu
adalah sebuah contoh penyimpangan.
Setiap bayi terlahir fitrah, yaitu insan yang menghadapkan wajahnya kepada Agama Allah.
Setiap bayi adalah
seorang pencari Tuhan. Semua manusia,
di mana pun—
jika disentuh oleh hal
yang ilahiah,
akan runtuh hatinya.
[28/11 22:38] aji rasha: Di antara tanda-tanda kematian hati (qalb),
adalah
tidak adanya kesedihan
atas apa-apa yang meninggalkanmu berupa (kondisi/amalan-amalan) yang sesuai
(dengan jiwamu).
Kalau orang
yang hatinya mati,
ia tak akan menjadi sedih dengan kehilangan kekhusyu'an dalam shalat. Tidak menjadi sedih
dengan hilangnya kesabaran, kepemurahan, kejujuran dan semua penghias hati.
Adapun orang
yang hidup hatinya
akan sedih
dengan kehilangan kekhusyu'an dalam shalat, kehilangan kemampuan untuk bisa bersabar, bersyukur,
berbuat kebaikan—
terlebih lagi,
kehilangan sesuatu
yang sesuai dengan kodrat atau fitrah dirinya.
Allah Ta'ala
senantiasa menempatkan kita dalam dalam sebuah momen, selintas, kepada sebuah keadaan yang sesuai dengan fitrah,
yang hal itu kemudian menginspirasinya.
Apa-apa yang
menginspirasi kita
yang terkait misi hidup masing-masing
akan selalu ada, terkecuali jika hatinya mati.
Jika hatinya mati,
tidak akan mencari apa-apa yang sesuai dengan
kodrat dirinya,
dengan fitrahnya.
Allah Ta’ala
bisa saja tanpa sebab memberi sebuah kemanisan dalam shalat (khusyu')
dalam sesaat, yang kemudian Allah mengambilnya
tanpa sebab, agar kemudian orang tersebut berada
dalam kesedihan dan
merasa kehilangan yang kemudian membuatnya mencari-Nya.
Perhatikan diri masing-masing.
Apakah pernah merindukan kekhusyu'an dalam shalat?
Apakah ada
sebuah kesedihan dengan kehilangan hal tersebut?
Semoga itu menjadi tanda bahwa hatinya tidak mati.
Coba perhatikan lagi
pasal 58 Al-Hikam ini.
Kalimat yang pertama
adalah terkait
kehilangan pakaian hati, kekhusyu'an,
kepemurahan,
kesabaran,
kejujuran,
dan lain sebagainya.
Yang kedua terkait
perbuatan buruk.
Seperti halnya ketika kita salah dalam berbicara,
terbit sebuah penyesalan
di hati.
Sebuah rasa berat
karena ketergelinciran lantaran perbuatan
yang kecil.
Jika hatinya mati,
maka tidak terasa berat ketika salah bicara,
tidak terasa berat
ketika memfitnah, menggibah, atau
berbuat hal-hal yang
tidak pas dengan
kondisi jiwanya.
Setiap yang kita perbuat
akan menjejak di hati.
Dalam kehidupan,
Allah Ta’ala
selalu memberi kesempatan setiap saat kepada kita
untuk beramal shalih.
Allah Ta'ala
menguji dengan hal
yang kecil dalam kehidupan.
Hati kita bisa menjadi
alat ukur akan hal tersebut,
di mana dalam
pasal Al-Hikam ini:
ihwal sebuah kesedihan
yang terkait dengan hilangnya kesempatan
yang sangat penting
dalam kehidupan.
Penting buat kita
untuk mengukur tanda kematian hati.
Apakah kita
tidak merasa sedih
jika kehilangan hal-hal
yang sesuai dengan bentuk kehidupan kita (fitrah)?
Pekerjaan yang sesuai,
amal soleh,
kekhusyu'an,
dan lain sebagainya?
Hati yang sensitif—
bukan di level perbuatan—adalah
hati yang peka
terhadap “perasaan”
Allah Ta’ala.
Seorang mukmin
akan senantiasa mensensitifkan hatinya terhadap “perasaan” Allah.
Apakah perbuatanku membuat Allah tersenyum?
Apakah Dia ridha?
Apakah Dia berkenan
dengan apa
yang aku perbuat?
Kita bisa mengukur
tingkat kematian hati masing-masing.
Seorang yang hatinya mati tidak akan tertarik
akan sebuah keshalihan. Tidak akan merindukan
untuk menjadi shalih.
Kalau tidak berjuang untuk meraih akhlak yang shalih, yakni akhlak Nabi SAW,
maka itu tanda matinya hati.
.Sepanjang kita tidak puas dengan akhlak hari ini, berjuang mengikuti
Nabi SAW,
itu tanda hati yang hidup. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar