[29/11 23:03] aji rasha: Panggilan untuk
Kembali Pulang
Saat kegelisahan itu datang, kita kembali menoleh
pada berbagai macam
bentuk jawaban. Menyibukkan diri
dengan kiat-kiat hidup bahagia,
metode NLP atau
yoga training.
Berkutat di buku-buku agama, menghadiri berbagai pengajian,
menenggelamkan diri
dalam hobi agar kegelisahan itu berhenti.
Atau menemui psikiater dan psikolog—
kita mencari jawaban
atas kebingungan dan kegelisahan yang disisakan oleh kehidupan kita sendiri, menemukan apa yang salah dalam kehidupan yang kita jalani.
Sebenarnya,
Allah kerap memanggil kita untuk kembali kepada-Nya,
dengan cara apa saja.
Dia, dengan
kasih sayang-Nya,
terkadang
membuat suasana kehidupan seorang anak manusia sedemikian rupa
sehingga kalbunya dibuat-Nya menoleh
kepada Allah.
Hanya saja, teramat sedikit orang yang mau mendengarkan—
atau berusaha mencermati—panggilan-Nya ini.
Dalam hal ini,
Allah amatlah pengasih. Apakah seseorang
percaya kepada-Nya
atau tidak,
beragama atau tidak,
Dia tidak pandang bulu. Apakah seseorang
membaca kitab-Nya
atau tidak,
percaya pada
para utusan-Nya
ataupun tidak,
semua orang pernah dipanggil-Nya
dengan cara seperti ini. Setiap orang pasti dipanggil-Nya seperti ini untuk mencari kesejatian, untuk mencari hakikat kehidupan.
Taubat
Apakah seseorang membaca kitab-Nya atau tidak,
percaya pada para utusan-Nya ataupun tidak, semua orang pernah dipanggil-Nya dengan cara seperti ini.
Setiap orang pasti dipanggil-Nya seperti ini untuk mencari kesejatian, untuk mencari hakikat kehidupan.
Kita sering tidak menyadari bahwa berbagai sisi kehidupan yang kita telusuri sepanjang waktu itu,
akan melontarkan kita
pada satu gerbang,
yang bukan untuk sembarang orang.
Tak semua orang bisa sampai ke sana.
Sebuah gerbang
yang sebenar-benarnya
akan mengantarkan kita
pada sebuah
perjalanan panjang
untuk kembali kepada-Nya.
Sebuah gerbang
yang hanya bisa kita buka dengan satu kunci:
taubat.
Taubat berasal dari kata dalam bahasa Arab
“taaba”
yang berarti kembali.
Sebuah respons penyikapan atas adanya keinginan
untuk kembali kepada Allah, yaitu bagi siapa saja
yang menghendaki.
Dan siapa pun
yang menghendaki
untuk menempuh jalan menuju Allah,
sesungguhnya Allah
telah memanggilnya
lebih dahulu
(Q.S. Al-Insaan [76]: 29-30).
إِنَّ هَـٰذِهِ تَذْكِرَةٌ ۖ فَمَن شَاءَ اتَّخَذَ إِلَىٰ رَبِّهِ سَبِيلًا
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّـهُ ۚ إِنَّ اللَّـهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Sesungguhnya ini
adalah sebuah peringatan: Barangsiapa
yang menghendaki,
biarlah ia mengambil jalan menuju Rabb-nya.
Dan tiadalah kamu
akan berkehendak (menempuh jalan itu),
kecuali jika itu dikehendaki oleh Allah.
Sungguh, Allah itu
Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana. –
Q.S. Al-Insaan [76]: 29-30
[29/11 23:06] aji rasha: Kita sering merasa
bahwa kita lah yang memilih untuk kembali pada Allah, dan kita lah
yang mencari kebenaran.
Namun sebenarnya tidak.
Dia lah yang memilih.
Dia yang mencari hamba-Nya yang ingin kembali dan memilihnya.
ثُمَّ اجْتَبَاهُ رَبُّهُ فَتَابَ عَلَيْهِ وَهَدَىٰ
Kemudian
Tuhan memilihnya, maka
Dia menerima taubatnya,
dan memberinya petunjuk. – Q.S. Thaahaa [20]: 122
إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِّلْعَـلَمِينَ
لِمَن شَاءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّـهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Ini tidak lain,
melainkan peringatan
bagi alam semesta,
bagi siapa di antara kamu yang ingin menempuh jalan yang lurus.
Dan kamu
tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu),
kecuali apabila dikendaki Allah, Tuhan Semesta Alam. – Q.S. At-Takwiir [81]: 27-29
[29/11 23:15] aji rasha: Laku Sepanjang Hayat
Taubat bukanlah istighfar (memohon ampunan).
Al-Qur’an mengungkapkan:
فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ
Karena itu
beristigfarlah kepada-Nya, kemudian bertaubatlah kepada-Nya. –
Q.S. Huud [11]: 61
Di ayat tersebut
dibedakan secara lugas antara beristigfar dan bertaubat.
Istighfar adalah
ungkapan penyesalan dan permohonan ampun.
Taubat adalah
sebuah laku,
sebuah sikap hidup
yang menyeluruh,
dengan mengarahkan
seluruh aspek kehidupan untuk menghadap dan kembali pada Allah.
Sebuah disiplin yang panjang dan terus-menerus,
sampai akhir kehidupan.
Istighfar adalah
ungkapan penyesalan dan permohonan ampun.
Taubat adalah
sebuah laku,
sebuah sikap hidup
yang menyeluruh,
dengan mengarahkan seluruh aspek kehidupan
untuk menghadap dan kembali pada Allah.
Sebuah disiplin yang panjang, sampai akhir kehidupan
Tak seorang pun
yang terlepas dari dosa
dan kesalahan.
Tidak ada seorang pun
yang mampu terbebas dari dosa yang dilakukan
oleh anggota-anggota tubuhnya,
bahkan para Nabi sekalipun. Hanya saja, para Nabi telah diampuni dan dimaafkan.
Seseorang mungkin saja tidak melakukan dosa
secara fisik.
Namun, dia tidak
akan terbebas dari pikiran tentang perbuatan atau angan-angan yang berdosa.
Kalaupun orang itu
telah Allah jaga dari pikiran yang buruk,
ia tidak akan terbebas
dari godaan setan yang senantiasa menghalanginya dari ingat kepada Allah.
Dan jika seseorang terbebas dari godaan setan,
ia tidak akan bisa luput dari kelalaian dan kelemahannya terkait pengetahuan tentang Allah Ta’ala,
asma-asma dan perbuatan-perbuatan-Nya.
Apa yang ia pahami
tentang Allah
tidak akan pernah sempurna dan selalu memiliki ketidaksempurnaan.
Dan, bagaimanapun ungkapan kesyukuran
yang dipanjatkan
seorang hamba kepada Allah, pasti amat jauh kelayakannya dari apa yang seharusnya Allah terima dari si hamba.
Itulah mengapa
Rasulullah SAW berkata, “Sesungguhnya
ada saat-saat qalb-ku
terasa seperti tertutup kabut, maka aku memohon ampun kepada Allah seratus kali dalam sehari.”
(H.R. Abu Daud No. 1294)
Kalimat terakhir dari Rasulullah Muhammad SAW itu menyimpan rahasia hikmah yang amat besar. Saat menempuh
perjalanan taubat,
awalnya kita akan dituntun oleh Allah untuk mengenali selubung-selubung yang menutupi hati kita.
Selubung hati adalah hijab, apa pun yang menghalangi kita dengan Allah Ta’ala. Dalam perjalanan taubat
kita yang panjang,
kita akan dituntun untuk mengakui dan mengenali penghalang-penghalang itu, dan memohon ampunan pada Allah
agar Dia berkenan mengangkat penghalang itu, satu demi satu.
Mengenali hijab-hijab hati adalah salah satu tanda bahwa hati kita mulai diterangi cahaya Allah.
Laksana ruang gelap
yang tertutup rapat,
kusam penuh debu,
tidak pernah terkena cahaya:
taubat akan menyingkap tirai satu demi satu.
Cahaya Allah mulai masuk, menerangi ruang-ruang dalam hati kita.
[29/11 23:18] aji rasha: Setelah cahaya menerangi, kita akan tahu:
pojok-pojok mana yang telah bersarang laba-laba di sana, lantai-lantai menghitam yang harus digosok,
mana bagian
yang kotorannya
harus dikikis habis.
Jalan pertaubatan yang haqq akan menyediakan takaran dan alat yang tepat
untuk membersihkan ruang-ruang hati.
Tapi uniknya,
kita tak akan mampu mengenali itu semua
tanpa ada pertolongan Allah—dan ampunan-Nya—
untuk kembali membuat hati kita bening dan memantulkan cahaya-Nya.
Taubat—
kembali kepada Allah—adalah sebuah laku sepanjang hayat.
Kita kembali
mengarahkan segala aspek dalam hidup kita
sebagai sarana
untuk mendekat kepada-Nya setiap saat.
Kita tidak lagi
sekadar mengingat-Nya kadang-kadang,
hanya ketika pengajian: sebab setiap tarikan napas kita menjadi sebuah pengabdian kepada-Nya.
[29/11 23:23] aji rasha: Allah Maha Pengampun: Kepada Siapa?
Jika kita adalah
orang yang pemaaf,
kita hanya pemaaf
kepada orang yang kita kenal.
Sifat kepemaafan kita
tidak dengan sendirinya memiliki implikasi
kepada semua orang.
Pada mereka yang tidak kita kenal atau tidak pernah menyampaikan permohonan maaf kepada kita,
sifat pemaaf kita tentu
tidak relevan.
Allah pun demikian.
Allah "hanya"
Maha Pengampun
pada hamba-hamba
yang bertaubat saja—
tidak dengan sendirinya
pada semua orang.
Jika kita tidak bertaubat, tentu sifat kepemaafan Dia tidak relevan bagi kita.
Namun begitu kita bertaubat, Dia akan menghadapkan diri-Nya pada kita,
dan menjadi Rabb
yang Maha Pengampun.
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَىٰ
Dan sesungguhnya Aku adalah Maha Pengampun bagi siapa pun
yang bertaubat,
beriman,
beramal shalih,
kemudian tetap mengikuti petunjuk. –
Q.S. Thaahaa [20]: 82
Di sisi lain,
jika kita telah diberinya
rasa dan keinginan
untuk bertaubat,
namun menolak
panggilan-Nya
untuk kembali kepada Allah—tidak bertaubat—
maka kita akan termasuk golongan yang zalim. Kenapa?
Karena definisi zalim, menurut Al-Qur’an,
adalah
“tidak bertaubat”.
وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Dan barangsiapa
yang tidak bertaubat,
maka mereka itulah orang-orang yang zalim. – Q.S. Al-Hujuraat [49]: 11
[29/11 23:29] aji rasha: Kenapa Harus Bertaubat?
Kenapa saya
harus bertaubat?
Rasanya saya tidak banyak melakukan dosa?
Saya tidak berzina,
tidak minum minuman keras, tidak merokok,
rajin beribadah dan
saya bahkan sudah dua kali naik haji.
Mengapa masih
harus bertaubat?
Sekali lagi,
pertaubatan bukanlah sekadar istighfar
setelah shalat,
atau datang ke pengajian mingguan.
Pertaubatan adalah
sebuah sikap batin: mengakadkan diri
untuk selalu mengharapkan Allah,
untuk selalu menuju kepada-Nya,
setiap saat
hingga napas
yang penghabisan.
Seseorang bisa saja
rajin shalat malam,
tidak berbuat dosa,
aktif berdakwah,
namun sangat mungkin qalb-nya lebih menghadap pada selain Allah.
Selama masih ada
yang lebih dominan
dalam hati seseorang daripada kebutuhannya kepada Allah,
agar Allah menuntunnya dan mengaturnya pada setiap aspek kehidupannya—
ia belum bertaubat.
Taubat adalah
sebuah amal seumur hidup. Sebuah laku,
sebuah sikap hati.
Sebuah rasa butuh
yang nyata pada Allah dan bimbingan-Nya.
Nah, jika seseorang
tidak bertaubat,
Allah menyebutnya sebagai orang-orang yang zalim
(Q.S. Al-Hujuraat [49]: 11).
Sementara,
Allah sudah menegaskan, bahwa Dia tidak akan memberi petunjuk pada orang-orang yang zalim.
وَاللَّـهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. –
Q.S. Al-Baqarah [2]: 258*
(*) Lihat juga penegasan yang sama di
Q.S. Ali Imran [3]: 86,
Q.S. Al-Ma’idah [5]: 151,
Al-An’aam [6]: 144,
Q.S. At-Taubah [9]: 19, 109 Q.S. Al-Qashash [28]: 50).
Itulah kenapa kita harus bertaubat.
Taubat adalah
kunci kehidupan.
Ia adalah langkah pertama untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki,
karena Allah akan menuntun kita setiap saat.
[29/11 23:34] aji rasha: Taubat yang Diterima
Taubat adalah
syarat diangkatnya keburukan-keburukan
dalam diri kita,
agar diganti Allah
dengan kebaikan.
Kita dapat mempelajari dalam ayat ini:
إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَـٰئِكَ يُبَدِّلُ اللَّـهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ ۗ وَكَانَ اللَّـهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
Kecuali orang-orang yang bertaubat,
beriman dan
mengerjakan amal shalih; maka kejahatan mereka diganti Allah
dengan kebajikan. –
Q.S. Al-Furqaan [25]: 70
Jika kita bertaubat,
kemudian beriman lalu beramal shalih,
maka Allah akan mengganti keburukan-keburukan
dalam diri kita
menjadi kebaikan-kebaikan.
Bagaikan pohon,
setelah dedaunan yang kusam dan layu digugurkan dan dibersihkan,
ia akan menumbuhkan dedaunan yang baru,
yang segar:
untuk menerima cahaya,
agar ia bisa berbuah.
Namun,
tidak semua taubat diterima—apalagi jika hanya
ucapan saja.
Taubat yang diterima Allah adalah taubat yang diikuti dengan upaya perbaikan, atau “ishlah”.
Al-Qur’an menjelaskan sangat gamblang tentang hubungan zalim,
taubat, dan
upayakan perbaikan
di ayat berikut:
فَمَن تَابَ مِن بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّـهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ ۗ إِنَّ اللَّـهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Maka barangsiapa bertaubat setelah zalimnya dan mengadakan perbaikan, maka sungguh,
Allah akan menerima taubatnya.
Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. –
Q.S. Al-Ma'idah [5]: 39.*
(*) Lihat juga penegasan yang senada di
Q.S. An-Nuur [24]: 5 dan
Q.S. Al-An’aam [6]: 54
Taubat
Namun, tidak semua taubat diterima—
apalagi jika hanya ucapan saja.
Taubat yang diterima Allah adalah taubat yang diikuti dengan upaya perbaikan, atau "ishlah".
[29/11 23:39] aji rasha: Kapan Memulai Bertaubat?
Apa pun kondisi kita hari ini, di situlah Allah
meletakkan kita.
Kita ada dalam kondisi kita hari ini sesungguhnya
kita ada di dalamnya
dengan seizin Allah.
Dengan cara itulah—
dengan segala kerumitan, kebingungan,
keterbatasan dan ketidakmampuan kita—
Dia membuat hati kita menoleh kepada-Nya.
Jika kita diletakkan-Nya
terus dalam kelapangan, akankah hati kita mengharapkan-Nya?
Tidak.
Allah Maha Melapangkan dan Maha Menyempitkan,
agar kita menoleh kepada-Nya.
Di setiap kondisi kita saat ini, sesungguhnya di sana Allah meletakkan sebuah tangga untuk menuju-Nya.
Bertaubat
tidak berdasarkan angan-angan:
saya akan bertaubat nanti setelah waktu lapang,
setelah tua,
setelah anak-anak dewasa, atau setelah kaya.
Allah meletakkan rasa itu
di dalam hati kita saat ini, dengan bagaimanapun kondisi kita.
Siapa yang menjamin
bahwa kita masih hidup kelak ketika waktu lapang,
ketika tua, atau
setelah kaya?
Kita bahkan belum tentu mencapai sore hari nanti dengan masih bernapas.
Terlalu banyak dosa?
Tidak masalah.
Justru Allah
ingin menyampaikan ampunan-Nya,
karena Dia sangat suka memaafkan.
Jika tidak memiliki dosa, justru kita tidak akan memiliki keinginan
untuk bertaubat.
Kefakiran kita
terhadap Allah Ta’ala
tidak akan tumbuh,
karena kita tidak merasa butuh ampunan-Nya.
Kita bertaubat saat ini, dengan bagaimanapun kondisi kita saat ini,
dengan apa pun yang ada di tangan kita hari ini.
[29/11 23:48] aji rasha: Cinta Allah
terhadap Orang
yang Bertaubat
Suatu ketika, sebagaimana dikisahkan dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim,
Rasulullah pernah berkisah pada para sahabatnya
yang mulia.
Beliau menyampaikan sebuah kisah
tentang seorang yang
sedang melakukan perjalanan menyeberangi gurun pasir
yang tak terlihat ujungnya, diterpa matahari terik,
dan tak ada apa pun
selain pasir kekuningan. Seluruh perbekalannya dan perlengkapannya diletakkannya
di atas untanya.
Ketika malam tiba,
gurun itu begitu dingin dengan angin kencang
yang menusuk tulang.
Ia harus berbaring di dekat untanya ketika tidur,
agar tetap hangat dan terlindung dari
angin kencang berpasir.
Suatu petang,
ia sampai ke sebuah
pohon kecil di tengah gurun. Di sana, di bawah pohon,
ia jatuh tertidur.
Dan ketika terbangun, didapatinya bahwa
untanya telah hilang—
dengan membawa seluruh air, perbekalan dan perlengkapannya.
Ia begitu panik,
sehingga berlarian
ke sana kemari mencari dan memanggil-manggil untanya itu, hingga ia kehausan.
Dan ia tak lagi memiliki
air setetes pun.
Kehilangan harapan,
ia menjadi putus asa. Akhirnya ia berkata dalam hatinya:
“aku kembali saja
ke tempatku tadi, dan
tidur saja di sana sampai kematian menjemputku.”
Ia tak lagi melihat
ada harapan hidup
di tengah gurun
tanpa perbekalan,
sendirian.
Lalu ia pun kembali tidur, sambil menunggu saat datangnya kematian.
Entah setelah berapa lama
ia tertidur,
ia kemudian terbangun karena suhu udara
yang panas.
Ketika ia mengangkat kepalanya,
ternyata ia melihat untanya telah kembali sendiri,
berdiri di dekatnya,
lengkap dengan semua air dan perbekalannya.
Ia lalu memegang tali untanya tak percaya:
dan kemudian, karena amat sangat gembiranya,
dengan kebahagiaan yang meluap-luap ia bersyukur pada Allah berulang-ulang, namun dengan ucapan yang keliru:
“Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah! Engkau hambaku dan
akulah Rabb-Mu, Ya Allah!” Namun, Allah tersenyum menyaksikan itu.
Taubat
...dengan kebahagiaan yang meluap-luap ia bersyukur pada Allah berulang-ulang, namun dengan ucapan yang keliru: "Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah! Engkau hambaku dan akulah Rabb-Mu, Ya Allah!" Namun, Allah tersenyum menyaksikan itu.
Lalu Rasulullah
bertanya pada
para sahabatnya,
“Menurut kalian,
bagaimana perasaan orang itu, ketika melihat kembali untanya itu, lengkap dengan semua perbekalannya?”
Para sahabat menjawab, “tentulah ia amat senang dengan kebahagiaan yang meluap-luap, ya Rasulullah!”
“Nah, ketahuilah,”
sambung Rasulullah, “sungguh, Allah lebih senang dan bahagia lagi ketika seorang hamba yang beriman kembali bertaubat kepada-Nya,
jauh melebihi bahagianya orang yang menemukan kembali unta dan bekalnya ini.”
Resume
Taubat adalah
panggilan dari Allah Ta’ala bagi hamba-hamba yang dicintai-Nya untuk kembali. Lebih dari sekedar sebuah permohonan ampun (istighfar),
taubat adalah
laku yang akan berlangsung sepanjang hayat.