Selasa, 30 November 2021

Panggilan untuk Kembali Pulang

[29/11 23:03] aji rasha: Panggilan untuk 
Kembali Pulang

Saat kegelisahan itu datang, kita kembali menoleh 
pada berbagai macam 
bentuk jawaban. Menyibukkan diri 
dengan kiat-kiat hidup bahagia, 
metode NLP atau 
yoga training. 
Berkutat di buku-buku agama, menghadiri berbagai pengajian, 
menenggelamkan diri 
dalam hobi agar kegelisahan itu berhenti. 
Atau menemui psikiater dan psikolog—
kita mencari jawaban 
atas kebingungan dan kegelisahan yang disisakan oleh kehidupan kita sendiri, menemukan apa yang salah dalam kehidupan yang kita jalani.

Sebenarnya, 
Allah kerap memanggil kita untuk kembali kepada-Nya, 

dengan cara apa saja. 
Dia, dengan 
kasih sayang-Nya, 
terkadang 
membuat suasana kehidupan seorang anak manusia sedemikian rupa 
sehingga kalbunya dibuat-Nya menoleh 
kepada Allah. 

Hanya saja, teramat sedikit orang yang mau mendengarkan—
atau berusaha mencermati—panggilan-Nya ini.

Dalam hal ini, 
Allah amatlah pengasih. Apakah seseorang 
percaya kepada-Nya 
atau tidak, 
beragama atau tidak, 
Dia tidak pandang bulu. Apakah seseorang 
membaca kitab-Nya 
atau tidak, 
percaya pada 
para utusan-Nya 
ataupun tidak, 
semua orang pernah dipanggil-Nya 
dengan cara seperti ini. Setiap orang pasti dipanggil-Nya seperti ini untuk mencari kesejatian, untuk mencari hakikat kehidupan.

Taubat

Apakah seseorang membaca kitab-Nya atau tidak, 
percaya pada para utusan-Nya ataupun tidak, semua orang pernah dipanggil-Nya dengan cara seperti ini. 
Setiap orang pasti dipanggil-Nya seperti ini untuk mencari kesejatian, untuk mencari hakikat kehidupan.

Kita sering tidak menyadari bahwa berbagai sisi kehidupan yang kita telusuri sepanjang waktu itu, 
akan melontarkan kita 
pada satu gerbang, 
yang bukan untuk sembarang orang. 
Tak semua orang bisa sampai ke sana. 
Sebuah gerbang 
yang sebenar-benarnya 
akan mengantarkan kita 
pada sebuah 
perjalanan panjang 
untuk kembali kepada-Nya. 

Sebuah gerbang 
yang hanya bisa kita buka dengan satu kunci: 
taubat.

Taubat berasal dari kata dalam bahasa Arab 
“taaba” 
yang berarti kembali. 

Sebuah respons penyikapan atas adanya keinginan 
untuk kembali kepada Allah, yaitu bagi siapa saja 
yang menghendaki. 
Dan siapa pun 
yang menghendaki 
untuk menempuh jalan menuju Allah, 
sesungguhnya Allah 
telah memanggilnya 
lebih dahulu 
(Q.S. Al-Insaan [76]: 29-30).

إِنَّ هَـٰذِهِ تَذْكِرَ‌ةٌ ۖ فَمَن شَاءَ اتَّخَذَ إِلَىٰ رَ‌بِّهِ سَبِيلًا

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّـهُ ۚ إِنَّ اللَّـهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Sesungguhnya ini 
adalah sebuah peringatan: Barangsiapa 
yang menghendaki, 
biarlah ia mengambil jalan menuju Rabb-nya. 
Dan tiadalah kamu 
akan berkehendak (menempuh jalan itu), 
kecuali jika itu dikehendaki oleh Allah. 
Sungguh, Allah itu 
Maha Mengetahui lagi 
Maha Bijaksana. – 
Q.S. Al-Insaan [76]: 29-30
[29/11 23:06] aji rasha: Kita sering merasa 
bahwa kita lah yang memilih untuk kembali pada Allah, dan kita lah 
yang mencari kebenaran. 

Namun sebenarnya tidak. 
Dia lah yang memilih. 
Dia yang mencari hamba-Nya yang ingin kembali dan memilihnya.

ثُمَّ اجْتَبَاهُ رَ‌بُّهُ فَتَابَ عَلَيْهِ وَهَدَىٰ

Kemudian 
Tuhan memilihnya, maka 
Dia menerima taubatnya, 
dan memberinya petunjuk. – Q.S. Thaahaa [20]: 122

 

إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِّلْعَـلَمِينَ

لِمَن شَاءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّـهُ رَ‌بُّ الْعَالَمِينَ

Ini tidak lain, 
melainkan peringatan 
bagi alam semesta, 
bagi siapa di antara kamu yang ingin menempuh jalan yang lurus. 
Dan kamu 
tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), 
kecuali apabila dikendaki Allah, Tuhan Semesta Alam. – Q.S. At-Takwiir [81]: 27-29
[29/11 23:15] aji rasha: Laku Sepanjang Hayat

Taubat bukanlah istighfar (memohon ampunan). 

Al-Qur’an mengungkapkan:

فَاسْتَغْفِرُ‌وهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ

Karena itu 
beristigfarlah kepada-Nya, kemudian bertaubatlah kepada-Nya. – 
Q.S. Huud [11]: 61

Di ayat tersebut 
dibedakan secara lugas antara beristigfar dan bertaubat. 

Istighfar adalah 
ungkapan penyesalan dan permohonan ampun. 

Taubat adalah 
sebuah laku, 
sebuah sikap hidup 
yang menyeluruh, 
dengan mengarahkan 
seluruh aspek kehidupan untuk menghadap dan kembali pada Allah. 
Sebuah disiplin yang panjang dan terus-menerus, 
sampai akhir kehidupan.


Istighfar adalah 
ungkapan penyesalan dan permohonan ampun. 

Taubat adalah 
sebuah laku, 
sebuah sikap hidup 
yang menyeluruh, 
dengan mengarahkan seluruh aspek kehidupan 
untuk menghadap dan kembali pada Allah. 
Sebuah disiplin yang panjang, sampai akhir kehidupan

Tak seorang pun 
yang terlepas dari dosa 
dan kesalahan. 

Tidak ada seorang pun 
yang mampu terbebas dari dosa yang dilakukan 
oleh anggota-anggota tubuhnya, 
bahkan para Nabi sekalipun. Hanya saja, para Nabi telah diampuni dan dimaafkan.

Seseorang mungkin saja tidak melakukan dosa 
secara fisik. 
Namun, dia tidak 
akan terbebas dari pikiran tentang perbuatan atau angan-angan yang berdosa. 

Kalaupun orang itu 
telah Allah jaga dari pikiran yang buruk, 
ia tidak akan terbebas 
dari godaan setan yang senantiasa menghalanginya dari ingat kepada Allah. 
Dan jika seseorang terbebas dari godaan setan, 
ia tidak akan bisa luput dari kelalaian dan kelemahannya terkait pengetahuan tentang Allah Ta’ala, 
asma-asma dan perbuatan-perbuatan-Nya.

Apa yang ia pahami 
tentang Allah 
tidak akan pernah sempurna dan selalu memiliki ketidaksempurnaan. 
Dan, bagaimanapun ungkapan kesyukuran 
yang dipanjatkan 
seorang hamba kepada Allah, pasti amat jauh kelayakannya dari apa yang seharusnya Allah terima dari si hamba. 

Itulah mengapa 
Rasulullah SAW berkata, “Sesungguhnya 
ada saat-saat qalb-ku 
terasa seperti tertutup kabut, maka aku memohon ampun kepada Allah seratus kali dalam sehari.” 
(H.R. Abu Daud No. 1294)

Kalimat terakhir dari Rasulullah Muhammad SAW itu menyimpan rahasia hikmah yang amat besar. Saat menempuh 
perjalanan taubat, 
awalnya kita akan dituntun oleh Allah untuk mengenali selubung-selubung yang menutupi hati kita. 

Selubung hati adalah hijab, apa pun yang menghalangi kita dengan Allah Ta’ala. Dalam perjalanan taubat 
kita yang panjang, 
kita akan dituntun untuk mengakui dan mengenali penghalang-penghalang itu, dan memohon ampunan pada Allah 
agar Dia berkenan mengangkat penghalang itu, satu demi satu.

Mengenali hijab-hijab hati adalah salah satu tanda bahwa hati kita mulai diterangi cahaya Allah. 

Laksana ruang gelap 
yang tertutup rapat, 
kusam penuh debu, 
tidak pernah terkena cahaya: 

taubat akan menyingkap tirai satu demi satu. 
Cahaya Allah mulai masuk, menerangi ruang-ruang dalam hati kita.
[29/11 23:18] aji rasha: Setelah cahaya menerangi, kita akan tahu: 
pojok-pojok mana yang telah bersarang laba-laba di sana, lantai-lantai menghitam yang harus digosok, 
mana bagian 
yang kotorannya 
harus dikikis habis. 

Jalan pertaubatan yang haqq akan menyediakan takaran dan alat yang tepat 
untuk membersihkan ruang-ruang hati. 
Tapi uniknya, 
kita tak akan mampu mengenali itu semua 
tanpa ada pertolongan Allah—dan ampunan-Nya—
untuk kembali membuat hati kita bening dan memantulkan cahaya-Nya.

Taubat—
kembali kepada Allah—adalah sebuah laku sepanjang hayat. 

Kita kembali 
mengarahkan segala aspek dalam hidup kita 
sebagai sarana 
untuk mendekat kepada-Nya setiap saat. 

Kita tidak lagi 
sekadar mengingat-Nya kadang-kadang, 
hanya ketika pengajian: sebab setiap tarikan napas kita menjadi sebuah pengabdian kepada-Nya.
[29/11 23:23] aji rasha: Allah Maha Pengampun: Kepada Siapa?

Jika kita adalah 
orang yang pemaaf, 
kita hanya pemaaf 
kepada orang yang kita kenal. 

Sifat kepemaafan kita 
tidak dengan sendirinya memiliki implikasi 
kepada semua orang. 
Pada mereka yang tidak kita kenal atau tidak pernah menyampaikan permohonan maaf kepada kita, 
sifat pemaaf kita tentu 
tidak relevan.

Allah pun demikian. 
Allah "hanya" 
Maha Pengampun 
pada hamba-hamba 
yang bertaubat saja—
tidak dengan sendirinya 
pada semua orang. 

Jika kita tidak bertaubat, tentu sifat kepemaafan Dia tidak relevan bagi kita. 

Namun begitu kita bertaubat, Dia akan menghadapkan diri-Nya pada kita, 
dan menjadi Rabb 
yang Maha Pengampun.

وَإِنِّي لَغَفَّارٌ‌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَىٰ

Dan sesungguhnya Aku adalah Maha Pengampun bagi siapa pun 
yang bertaubat, 
beriman, 
beramal shalih, 
kemudian tetap mengikuti petunjuk. – 
Q.S. Thaahaa [20]: 82

Di sisi lain, 
jika kita telah diberinya 
rasa dan keinginan 
untuk bertaubat, 
namun menolak
panggilan-Nya 
untuk kembali kepada Allah—tidak bertaubat—
maka kita akan termasuk golongan yang zalim. Kenapa? 
Karena definisi zalim, menurut Al-Qur’an, 
adalah 
“tidak bertaubat”.

وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Dan barangsiapa 
yang tidak bertaubat, 
maka mereka itulah orang-orang yang zalim. – Q.S. Al-Hujuraat [49]: 11
[29/11 23:29] aji rasha: Kenapa Harus Bertaubat?

Kenapa saya 
harus bertaubat? 
Rasanya saya tidak banyak melakukan dosa? 
Saya tidak berzina, 
tidak minum minuman keras, tidak merokok, 
rajin beribadah dan 
saya bahkan sudah dua kali naik haji. 
Mengapa masih 
harus bertaubat?

Sekali lagi, 
pertaubatan bukanlah sekadar istighfar 
setelah shalat, 
atau datang ke pengajian mingguan. 

Pertaubatan adalah 
sebuah sikap batin: mengakadkan diri 
untuk selalu mengharapkan Allah, 
untuk selalu menuju kepada-Nya, 
setiap saat 
hingga napas 
yang penghabisan.

Seseorang bisa saja 
rajin shalat malam, 
tidak berbuat dosa, 
aktif berdakwah, 
namun sangat mungkin qalb-nya lebih menghadap pada selain Allah. 
Selama masih ada 
yang lebih dominan 
dalam hati seseorang daripada kebutuhannya kepada Allah, 
agar Allah menuntunnya dan mengaturnya pada setiap aspek kehidupannya—
ia belum bertaubat. 

Taubat adalah 
sebuah amal seumur hidup. Sebuah laku, 
sebuah sikap hati. 
Sebuah rasa butuh 
yang nyata pada Allah dan bimbingan-Nya.

Nah, jika seseorang 
tidak bertaubat, 
Allah menyebutnya sebagai orang-orang yang zalim 
(Q.S. Al-Hujuraat [49]: 11). 

Sementara, 
Allah sudah menegaskan, bahwa Dia tidak akan memberi petunjuk pada orang-orang yang zalim.

وَاللَّـهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. – 
Q.S. Al-Baqarah [2]: 258*

(*) Lihat juga penegasan yang sama di 
Q.S. Ali Imran [3]: 86, 
Q.S. Al-Ma’idah [5]: 151,
        Al-An’aam [6]: 144, 
Q.S. At-Taubah [9]: 19, 109 Q.S. Al-Qashash [28]: 50).

Itulah kenapa kita harus bertaubat. 

Taubat adalah 
kunci kehidupan. 
Ia adalah langkah pertama untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki, 
karena Allah akan menuntun kita setiap saat.
[29/11 23:34] aji rasha: Taubat yang Diterima

Taubat adalah 
syarat diangkatnya keburukan-keburukan 
dalam diri kita, 
agar diganti Allah 
dengan kebaikan. 
Kita dapat mempelajari dalam ayat ini:

إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَـٰئِكَ يُبَدِّلُ اللَّـهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ ۗ وَكَانَ اللَّـهُ غَفُورً‌ا رَّ‌حِيمًا

Kecuali orang-orang yang bertaubat, 
beriman dan 
mengerjakan amal shalih; maka kejahatan mereka diganti Allah 
dengan kebajikan. – 
Q.S. Al-Furqaan [25]: 70

Jika kita bertaubat, 
kemudian beriman lalu beramal shalih, 
maka Allah akan mengganti keburukan-keburukan 
dalam diri kita 
menjadi kebaikan-kebaikan. 

Bagaikan pohon, 
setelah dedaunan yang kusam dan layu digugurkan dan dibersihkan, 
ia akan menumbuhkan dedaunan yang baru, 
yang segar: 

untuk menerima cahaya, 
agar ia bisa berbuah.

Namun, 
tidak semua taubat diterima—apalagi jika hanya 
ucapan saja. 

Taubat yang diterima Allah adalah taubat yang diikuti dengan upaya perbaikan, atau “ishlah”. 

Al-Qur’an menjelaskan sangat gamblang tentang hubungan zalim, 
taubat, dan 
upayakan perbaikan 

di ayat berikut:

فَمَن تَابَ مِن بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّـهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ ۗ إِنَّ اللَّـهَ غَفُورٌ‌ رَّ‌حِيمٌ

Maka barangsiapa bertaubat setelah zalimnya dan mengadakan perbaikan, maka sungguh, 
Allah akan menerima taubatnya. 
Sesungguhnya Allah 
Maha Pengampun lagi 
Maha Penyayang. – 
Q.S. Al-Ma'idah [5]: 39.*

(*) Lihat juga penegasan yang senada di 
Q.S. An-Nuur [24]: 5 dan 
Q.S. Al-An’aam [6]: 54

Taubat

Namun, tidak semua taubat diterima—
apalagi jika hanya ucapan saja. 

Taubat yang diterima Allah adalah taubat yang diikuti dengan upaya perbaikan, atau "ishlah".
[29/11 23:39] aji rasha: Kapan Memulai Bertaubat?

Apa pun kondisi kita hari ini, di situlah Allah 
meletakkan kita. 
Kita ada dalam kondisi kita hari ini sesungguhnya 
kita ada di dalamnya 
dengan seizin Allah. 
Dengan cara itulah—
dengan segala kerumitan, kebingungan, 
keterbatasan dan ketidakmampuan kita—
Dia membuat hati kita menoleh kepada-Nya. 
Jika kita diletakkan-Nya 
terus dalam kelapangan, akankah hati kita mengharapkan-Nya? 
Tidak. 
Allah Maha Melapangkan dan Maha Menyempitkan, 
agar kita menoleh kepada-Nya. 
Di setiap kondisi kita saat ini, sesungguhnya di sana Allah meletakkan sebuah tangga untuk menuju-Nya.

Bertaubat 
tidak berdasarkan angan-angan: 
saya akan bertaubat nanti setelah waktu lapang, 
setelah tua, 
setelah anak-anak dewasa, atau setelah kaya. 
Allah meletakkan rasa itu 
di dalam hati kita saat ini, dengan bagaimanapun kondisi kita. 

Siapa yang menjamin 
bahwa kita masih hidup kelak ketika waktu lapang, 
ketika tua, atau 
setelah kaya? 
Kita bahkan belum tentu mencapai sore hari nanti dengan masih bernapas.

Terlalu banyak dosa? 
Tidak masalah. 
Justru Allah 
ingin menyampaikan ampunan-Nya, 
karena Dia sangat suka memaafkan. 
Jika tidak memiliki dosa, justru kita tidak akan memiliki keinginan 
untuk bertaubat. 

Kefakiran kita 
terhadap Allah Ta’ala 
tidak akan tumbuh, 
karena kita tidak merasa butuh ampunan-Nya.

Kita bertaubat saat ini, dengan bagaimanapun kondisi kita saat ini, 
dengan apa pun yang ada di tangan kita hari ini.
[29/11 23:48] aji rasha: Cinta Allah 
terhadap Orang 
yang Bertaubat

Suatu ketika, sebagaimana dikisahkan dalam 
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, 

Rasulullah pernah berkisah pada para sahabatnya 
yang mulia. 
Beliau menyampaikan sebuah kisah 
tentang seorang yang 
sedang melakukan perjalanan menyeberangi gurun pasir 
yang tak terlihat ujungnya, diterpa matahari terik, 
dan tak ada apa pun 
selain pasir kekuningan. Seluruh perbekalannya dan perlengkapannya diletakkannya 
di atas untanya. 
Ketika malam tiba, 
gurun itu begitu dingin dengan angin kencang 
yang menusuk tulang. 
Ia harus berbaring di dekat untanya ketika tidur, 
agar tetap hangat dan terlindung dari 
angin kencang berpasir.

Suatu petang, 
ia sampai ke sebuah 
pohon kecil di tengah gurun. Di sana, di bawah pohon, 
ia jatuh tertidur. 
Dan ketika terbangun, didapatinya bahwa 
untanya telah hilang—
dengan membawa seluruh air, perbekalan dan perlengkapannya. 
Ia begitu panik, 
sehingga berlarian 
ke sana kemari mencari dan memanggil-manggil untanya itu, hingga ia kehausan. 
Dan ia tak lagi memiliki 
air setetes pun.

Kehilangan harapan, 
ia menjadi putus asa. Akhirnya ia berkata dalam hatinya: 
“aku kembali saja 
ke tempatku tadi, dan 
tidur saja di sana sampai kematian menjemputku.” 
Ia tak lagi melihat 
ada harapan hidup 
di tengah gurun 
tanpa perbekalan, 
sendirian. 
Lalu ia pun kembali tidur, sambil menunggu saat datangnya kematian.

Entah setelah berapa lama 
ia tertidur, 
ia kemudian terbangun karena suhu udara 
yang panas. 
Ketika ia mengangkat kepalanya, 
ternyata ia melihat untanya telah kembali sendiri, 
berdiri di dekatnya, 
lengkap dengan semua air dan perbekalannya. 
Ia lalu memegang tali untanya tak percaya: 
dan kemudian, karena amat sangat gembiranya, 
dengan kebahagiaan yang meluap-luap ia bersyukur pada Allah berulang-ulang, namun dengan ucapan yang keliru: 
“Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah! Engkau hambaku dan 
akulah Rabb-Mu, Ya Allah!” Namun, Allah tersenyum menyaksikan itu.

Taubat
...dengan kebahagiaan yang meluap-luap ia bersyukur pada Allah berulang-ulang, namun dengan ucapan yang keliru: "Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah! Engkau hambaku dan akulah Rabb-Mu, Ya Allah!" Namun, Allah tersenyum menyaksikan itu.

Lalu Rasulullah 
bertanya pada 
para sahabatnya, 
“Menurut kalian, 
bagaimana perasaan orang itu, ketika melihat kembali untanya itu, lengkap dengan semua perbekalannya?”

Para sahabat menjawab, “tentulah ia amat senang dengan kebahagiaan yang meluap-luap, ya Rasulullah!”

“Nah, ketahuilah,” 
sambung Rasulullah, “sungguh, Allah lebih senang dan bahagia lagi ketika seorang hamba yang beriman kembali bertaubat kepada-Nya, 
jauh melebihi bahagianya orang yang menemukan kembali unta dan bekalnya ini.”

Resume

Taubat adalah 
panggilan dari Allah Ta’ala bagi hamba-hamba yang dicintai-Nya untuk kembali. Lebih dari sekedar sebuah permohonan ampun (istighfar), 

taubat adalah 
laku yang akan berlangsung sepanjang hayat.

Taubat

Taubat

Sesungguhnya ini 
adalah sebuah peringatan: 

Barangsiapa yang menghendaki, 
biarlah ia mengambil jalan menuju Rabb-nya. 
Dan tiadalah kamu 
akan berkehendak (menempuh jalan itu), 
kecuali jika itu dikehendaki oleh Allah. 
Sungguh, Allah itu 
Maha Mengetahui lagi 
Maha Bijaksana.
– Q.S. Al-Insaan [76]: 29-30

Bagaikan dua sisi mata uang, kehidupan mempunyai 
dua wajah. 
Sisi kelam hadir saat kesedihan dan kesulitan terasa tak tertanggungkan. Beberapa episode kelam itu cukup akrab di keseharian kita: 
pekerjaan tak terselesaikan menumpuk, 
anak sakit, 
huru-hara rumah tangga, patah hati. 

Semua menenggelamkan kita pada pusaran kesulitan yang seakan tak habis-habisnya.

Beratnya masalah kehidupan kadang membuat kita terpuruk. 
Kita melihat, 
apa yang kita lakukan ternyata hanya 
serentetan kegagalan dan ketidaksempurnaan. 
Kita merasa berat 
dengan segala tanggung jawab kehidupan ini. 
Kita tak mampu menjalankan tugas-tugas dengan baik semuanya.

Kekelaman kerap hadir 
saat kita sengaja mengabaikan nurani. 
Saat mengejar sesuatu 
yang tampak gemerlap, 
kita melakukan segala cara. Kita abaikan suara lirih 
yang memperingatkan kita jauh dari dalam hati, 
demi kehormatan di antara manusia, 
keberlimpahan materi atau kesenangan duniawi. 
Setelah itu, 
kita merasa lelah 
dengan apa yang tadinya begitu menyenangkan. 
Tak jarang pilihan-pilihan sesaat kita itu memerosokkan kita 
jauh ke dalam kerendahan—

penghormatan manusia 
pada kita tak juga mengalahkan rasa hina 
yang merembes keluar dari batin kita.

Namun, 
dunia ini juga mengenalkan sisinya yang cerah pada kita. Kita kenal sisi itu, 
saat kita bahagia dan 
berada di atas awan. 
Ketika bonus dari kantor bertambah banyak, anak-anak sehat, 
pasangan cukup baik 
dan setia, atau 
hasil kerja di atas rata-rata. 

Semua terasa mudah 
ketika kita dapat melakukan apa saja, 
membeli apa saja.

Meski begitu, 
sisi cerah ini pun selalu menyisakan kekosongan. 

Seperti Musa muda, 
seorang pangeran Mesir 
yang bebas dari kesedihan dunia, 
memiliki ketampanan dan kekayaan berlimpah, kekuasaan yang nyaris penuh dan tiadanya kesulitan hidup—itu tidak pernah menghentikan pertanyaan yang muncul dari batinnya: 

siapa aku sebenarnya? 
Apa kehidupan ini sebenarnya? 
Ke mana aku 
akan melangkah?

Pada satu titik, 
kehidupan pasti akan membuat kita merasa lelah. Di sisi mana pun kita ditempatkan, 
jika kita jujur pada diri sendiri, kedua sisi itu 
selalu akan menyisakan kegamangan—
berbagai rupa bentuknya. 

Mungkin berupa 
ucapan batin yang lirih 
di tengah malam, 
saat semua terasa buntu, 
dan kita pun mulai meminta pertolongan. 
Mungkin saat kita berbaring, dan menyadari bahwa kesuksesan yang kita raih ini terasa begitu kering. 
Atau, pertanyaan-pertanyaan eksistensial 
yang bermunculan dan 
tak kunjung terjawab. 
Atau sekadar mata 
yang basah, 
penyesalan yang diam 
atas suara nurani kita 
yang kerap diabaikan.

Mengembalikan Fungsi Qalb

Mengembalikan Fungsi Qalb

Pada titik ini kita memahami, tiada cara lain 
agar qalb 
yang telah menghitam ini dapat berfungsi kembali, yakni dengan membersihkannya. 

Qalb yang bersih dan suci, kembali menjadi wadah cahaya Al-Iman, 
kembali memiliki daya perenungan dan kemampuan dalam memahami ayat-ayat-Nya. 

Hati yang tidak buta dan tidak tuli, 
yang sanggup menerima petunjuk-Nya.

"Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu" 
(Q.S. Asy-Syams [91]: 9)—

demikianlah, 
memiliki qalb 
yang bersih dan suci, 
kata Al-Qur’an, 
adalah sebuah keberuntungan besar.

Lalu bagaimana caranya? Bagaimana kita hendak membersihkan qalb, 
sesuatu yang kita 
tak memiliki pengetahuan tentangnya? 

Rasulullah SAW bersabda, "Apabila ia meninggalkan sebuah dosa 
dan meminta ampun serta bertaubat, 
maka qalb-nya 
dibersihkan" 
(H.R. At-Tirmidzi).

Hanya Allah semata 
yang sanggup memperbaiki qalb yang telah rusak ini 
dan membersihkannya, 

yakni melalui ampunan dan penerimaan atas taubat hamba-Nya. 

Maka tiada cara lain untuk menghidupkan kembali qalb kita itu, 
selain memohonampunan-Nya 
atas setiap dosa, 

"Bertaubat kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat ygsemurni-murninya), mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu 
(Q.S. At-Tahrim [66]: 8).

Hati yang bersih dan suci, sebuah persembahan demi meraih keridhaan-Nya.

إِذْ جَاءَ رَ‌بَّهُ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

… ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati 
yang suci. – 
Q.S. Ash-Shaaffaat [37]: 84

Wallahu'alam.

Resume

Qalb yang hidup, 
yang tidak terkunci mati dan tidak tertutupi oleh dosa, 

akan menjadi wadah bagi Al-Iman, 
sehingga sanggup memahami tanda-tanda dan petunjuk dari-Nya.

Qalb yang Tertutup, Terkunci Mati

[29/11 20:35] aji rasha: Qalb yang Tertutup, 
Terkunci Mati

Lalu bagaimana dengan qalb yang "mati"?

Qalb yang mati, 
berarti ia tak dapat menjalankan fungsi-fungsi sebagaimana mestinya. 

Qalb semacam itu tak kan mampu merenungkan (tadabur) Al-Qur’an, 
seperti termaktub di ayat "Apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an ataukah qalb-qalb 
mereka terkunci?" 
(Q.S. Muhammad [47]: 24).

Meski terbaca olehnya ayat-ayat dari Kitabullah, kalimat-kalimat itu hanya melintas begitu saja 
di hadapannya. 
Tak mengubah sedikit pun perilaku dan pemahamannya tentang hidup dan jati dirinya. 

Al-Qur’an juga menjelaskan kisah umat-umat terdahulu, yang merupakan peringatan bagi manusia. 

Namun semuanya itu 
tak ada maknanya 
bagi qalb yang mati. 


Hanya qalb yang hidup 
yang mampu memaknai tanda-tanda itu 
(Q.S. Qaaf [50]: 36-37).

Qalb yang mati, 
juga diibaratkan oleh Al-Qur’an sebagai 
qalb yang mengeras, membatu. 
Jika berzikir menjadikan 
qalb tenang dan tentram, 

maka sebaliknya pun berlaku: qalb yang mengeras 
tak mampu mengingat 
(dzikr kepada) Allah, "… kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu qalb-nya 
untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata." 
(Q.S. Az-Zumar [39]: 22)

Lalu, bagaimana 
sebuah qalb bisa tertutupi sedemikian rupa, 
hingga kemudian mengeras dan membatu? 
Al-Qur’an mengisyaratkan proses tertutupinya qalb ini dengan apa yang diistilahkan sebagai "raan".

 
كَلَّا ۖ بَلْ ۜ رَ‌انَ عَلَىٰ قُلُوبِهِم مَّا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya "raan" itu menutupi qalb mereka. – 
Q.S. Al-Muthaffifin [83]: 14

Rasulullah SAW 
menjelaskan ayat tersebut 
di dalam sebuah hadits, "Seorang hamba 
apabila melakukan suatu dosa, 
maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun 
serta bertaubat, 
hatinya dibersihkan. 
Apabila ia kembali 
(berbuat maksiat), 
maka ditambahkan 
titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. 
Itulah yang diistilahkan "ar-raan" 
yang Allah sebutkan dalam firman-Nya, 
'Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya ar-raan itu menutupi qalb mereka'" 
(H.R. At-Tirmidzi)

Jadi sekali lagi, 
apa yang menutupi 
sebuah qalb, 
hingga kemudian mengeras dan menjadi seperti batu?

Benar, dosa.

Heart
Seorang hamba 
apabila melakukan 
suatu dosa, 
maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Itulah yang diistilahkan ar-raan dalam firman-Nya, '... sebenarnya ar-raan itu menutupi qalb mereka' 
(H.R. At-Tirmidzi)

Dosa yang kita tumpuk bertahun-tahun, 
semenjak dulu hingga kini. Setitik noktah yang mengotori qalb kala itu, 
lalu menjadi setaburan 
debu hitam, 
hingga timbul selapisan tipis jelaga. 
Dosa besar dan kecil pun datang bertubi-tubi 
di sepanjang waktu kehidupan. 
Jelaga itu pun kini 
jadi berlapis-lapis, bertumpuk-tumpuk 
hingga menyerupai 
kerak hitam yang sulit dibersihkan, 
dan akhirnya pun 
mengeras seperti batu 
yang hitam legam.

Qalb yang mati 
tak lagi layak menjadi 
wadah Al-Iman, 
dan ia takkan mampu memahami kebenaran.

ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُ‌وا فَطُبِعَ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ

Yang demikian itu 
adalah karena bahwa sesungguhnya mereka 
telah beriman, 
kemudian menjadi kafir (lagi) lalu qalb mereka 
dikunci mati; 
karena itu mereka 
tidak dapat memahami. – Q.S. Al-Munaafiquun [63]: 3
[29/11 20:40] aji rasha: Dengan kondisi qalb 
yang seperti itu, 
bagaimana kita sanggup memahami petunjuk Allah, baik dari rangkaian kalimat-Nya di dalam Al-Qur’an—
dan semua yang telah ditebarkan-Nya 
di segenap penjuru alam dan pada diri kita sendiri?

Petunjuk-petunjuk itu 
akan seperti penglihatan yang samar-samar atau seruan nun jauh 
di ujung sana. 
Sebagaimana sabda-Nya: "Al-Qur’an itu 
adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. 

Dan orang-orang 
yang tidak beriman, 
pada telinga mereka 
ada sumbatan, 
sedang Al-Qur’an itu 
suatu kegelapan 
bagi mereka. 
Mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh." – 
Q.S. Fushshilat [41]: 44

Tidakkah kita pernah merasakannya? 
Tatkala membaca Al-Qur’an, adakah kita teguh memperoleh makna yang sesungguhnya? 

Al-Qur’an adalah 
"bacaan yang amat mulia" 
(Q.S. Al-Waaqi’ah [56]: 77), 

namun sanggupkah qalb kita teguh meyakini sepenuhnya di mana letak kemuliaanya?

Petunjuk ilahi 
seperti rasi-rasi bintang 
di kegelapan langit malam bagi para pengarung lautan kehidupan: 
ia memberi arah, 
waktu dan 
penanda, 
di tengah samudera 
pilihan yang luas. 

Namun, apalah arti bintang-bintang itu 
bila awan gelap menggantung membatasi pandangan? 
Apa artinya peta navigasi dan konstalasi bintang 
bagi orang 
yang tak memahaminya selain melihat itu semua hanya sebagai coretan abstrak tanpa makna?

أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ‌ لُّجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِّن فَوْقِهِ مَوْجٌ مِّن فَوْقِهِ سَحَابٌ ۚ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَ‌جَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَ‌اهَا ۗ وَمَن لَّمْ يَجْعَلِ اللَّـهُ لَهُ نُورً‌ا فَمَا لَهُ مِن نُّورٍ‌

Atau seperti gelap gulita 
di lautan yang dalam, 
yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), 
dan di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, 
apabila dia mengeluarkan tangannya, 
tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun. – 
Q.S. An-Nuur [24]: 40

Qalb, Tempat Turunnya Petunjuk Allah

Qalb, 
Tempat Turunnya 
Petunjuk Allah

Kita juga dapat mencermati dimensi qalb yang lain, 
yakni tatkala Allah menurunkan Al-Qur’an melalui Jibril a.s. kepada Rasulullah Muhammad SAW. "Wadah" apakah yang dipakai di dalam diri Rasulullah 
untuk menampung kitab 
yang amat mulia ini, 
petunjuk bagi seluruh 
umat manusia, 
dengan sekian keajaiban maknanya yang berlapis-lapis?

Al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2]: 97 mengungkapkan 
"… maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur’an) ke dalam qalb-mu dengan seizin Allah." 

Qalb dalam ayat ini, 
adalah qalb seorang hamba-Nya yang amat mulia, Rasulullah Muhammad SAW.

Mencermati skema ini, 
maka kita mengerti bahwa hanya pada qalb yang dicahayai Al-Iman, 
Allah akan menganugrahkan petunjuk-Nya. 
Tiada pernah lengah perhatian-Nya dari makhluk kesayangan-Nya ini, 
di setiap nafas 
maupun capaian besar kehidupannya. 
Dia senantiasa memerhatikan kita. 
Di setiap sudut yang paling tersembunyi sekali pun, 
baik dalam suka cita maupun duka nestapa: 
Dia Ta’ala senantiasa bersama untuk 
memberi petunjuk.

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّـهِ ۗ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّـهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ۚ وَاللَّـهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; 
dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada qalb-nya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. – 
Q.S. At-Taghaabun [64]: 11

Di dalam qalb yang dipenuhi cahaya Al-Iman itulah, turunlah petunjuk-petunjuk-Nya. 
Tiada akan bersedih seorang hamba yang beriman 
yang tengah berada di antara himpitan musibah. 
Karena qalb yang berpendar oleh cahaya Al-Iman 
di dadanya telah mafhum: Tiada yang terjadi 
tanpa seizin Allah, 
Dia yang "tak pernah terlena, dan tak pernah tidur" 
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 255), akan selalu menepati janji-Nya.

Qalb, Tempat Masuknya Al-Iman

Qalb, 
Tempat Masuknya Al-Iman

Tidak hanya 
akal dan 
daya pemahaman 
yang disentuh oleh Al-Qur’an ketika berbicara tentang qalb. 

Keistimewaan qalb yang lain juga bisa kita cermati di ayat berikut:

قَالَتِ الْأَعْرَ‌ابُ آمَنَّا ۖ قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا وَلَـٰكِن قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ ۖ 

Orang-orang Arab itu berkata: "Kami telah beriman." Katakanlah: 
"Kamu belum beriman, 
tapi katakanlah 
'kami telah tunduk', 
karena Al-Iman itu 
belum masuk ke dalam qalb-mu… – 
Q.S. Al-Hujuraat [49]: 14

Mari kita perhatikan. 
Dalam ayat ini diterangkan bahwasanya meski telah manis kita berucap 
"ya, saya orang beriman", atau serentetan argumen 
kita ucapkan 
demi meyakinkan orang lain akan betapa teguhnya kita kepada Rukun Iman, 
namun sesungguhnya: 
tiada kita beriman sampai Al-Iman itu masuk ke dalam qalb kita.

Al-Iman 
adalah anugerah-Nya, 
seperti tersurat 
di sebuah ayat 
"Tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah" 
(Q.S. Yunus [10]: 100) dan 

"orang-orang yang
telah pasti terhadap mereka kalimat Tuhan-mu, 
tidaklah akan beriman" 
(Q.S. Yunus [10]: 96).

Fungsi Qalb
Sebenarnya tiada kita beriman sampai 
Al-Iman itu masuk ke dalam qalb kita. 
Tidakkah ini menjadi 
sebuah medan perenungan besar: 
Kita kah orang-orang yang beriman itu? 
Adakah Al-Iman benar-benar telah masuk ke dalam 
qalb kita?

Di sini kita memahami, bahwa hanya Allah lah "… yang menjadi pelindung orang-orang yang beriman itu, 
yang mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman)" 
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 257).

Lalu, 
di manakah Dia Ta'ala sematkan cahaya Al-Iman itu?

Benar. 
Seperti tersurat secara lugas pada ayat di atas, 
ke dalam qalb!

Allah lah yang menjadikan kita 
"… cinta kepada Al-Iman dan menjadikannya indah di dalam qalb-mu" 
(Q.S. Al-Hujurat [49]: 7). 
Ia pula lah yang merawat dan menumbuhkannya dengan menurunkan 
"As-Sakinah (ketenangan) 
ke dalam qalb 
orang-orang mukmin 
supaya keimanan mereka bertambah" 
(Q.S. Al-Fath [48]: 4).

Karena secercah cahaya keimanan di dalam qalb itulah, 
Allah menyeru di berbagai ayat-Nya, 
"Hai, orang-orang 
yang beriman." 
Tidakkah ini menjadi sebuah medan perenungan besar: kita kah orang-orang yang beriman itu? 
Adakah Al-Iman benar-benar telah masuk ke dalam 
qalb kita?

Qalbyang Berakal dan Memahami

Qalb
yang Berakal dan 
Memahami

Apa yang dapat kita pelajari dari sini? 
Dapatkah kita memaknai qalb semata sebagai "hati yang merasa", 
atau bahkan sekadar "jantung yang mengedarkan oksigen ke sekujur tubuh”?

Apabila kita baca 
dengan teliti, 
Al-Qur’an maupun hadits-hadits mengindikasikan bahwa 
qalb merupakan sebuah instrumen yang amat khusus dan istimewa. 
Ia disematkan ke dalam dada seorang insan untuk mengungkap rahasia 
tentang siapa Penciptanya. Sebuah perangkat untuk mengenali-Nya, memahami-Nya, "merangkul-Nya!”

Mari kita perhatikan ayat Al-Qur’an berikut:

أَفَلَمْ يَسِيرُ‌وا فِي الْأَرْ‌ضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ‌ وَلَـٰكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ‌

… maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, 
lalu mereka mempunyai qalb yang dengan itu mereka dapat memahami (ta'qiluun) atau mempunyai telinga 
yang dengan itu mereka dapat mendengar? 
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, melainkan qalb-qalb 
yang ada dalam dada-dada.– Q.S. Al-Hajj [22]: 46

Ayat di atas mengungkapkan tentang 
"hati yang dengan itu mereka dapat memahami", 
qalb yang ta'qiluun, 
atau yang secara harfiah diartikan sebagai 
"qalb yang dengan itu mereka berakal". 
Tidakkah hal ini menggelitik pikiran kita? 
Sebenarnya, 
qalb yang berakal ataukah otak yang berakal?

Memang tak dipungkiri bahwa 
dunia keilmuan manusia telah merujuk pada instrumen lain 
ketika berbicara tentang akal dan menyimpulkan 
bahwa otak lah yang berakal. 

Namun tentu kita pun mafhum bahwa 
kesimpulan tersebut didasarkan pada gejala dan fenomena fisik yang teramati pada anggota tubuh tersebut.

Al-Qur’an, 
pada sekian banyak ayatnya, berusaha memberi perspektif yang lain kepada kita. Al-Qur’an mengungkap sebuah substansi yang ada 
di dalam diri manusia 
yang memuat fungsi keberakalan ('aql), kepahaman dan 
kefakihan (faqih) 
dalam memaknai sesuatu yang esensial tentang 
jati dirinya. 

Sebuah perangkat yang dapat mengenali Tuhan-nya, memahami firman-firman-Nya. 
Seperti disebutkan pada sebuah ayat:

وَلَقَدْ ذَرَ‌أْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرً‌ا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا ...

Dan sesungguhnya 
Kami jadikan untuk 
(isi neraka) Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, 
mereka mempunyai 
hati (qalb), 
tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (yafqahuun)… – 
Q.S. Al-A'raaf [7]: 179

Pada ayat ini Al-Qur’an menginformasikan tentang qalb yang—
bila ia berfungsi baik—dengan itu kita menjadi "yafqahuun", 
menjadi fakih, 
menjadi sepenuhnya paham tentang ayat-ayat-Nya.

Fungsi Qalb

Fungsi Qalb

Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, melainkan qalb (hati) 
yang di dalam dada.
– Q.S. Al-Hajj [22]: 46

BUKANLAH perkara mudah untuk menggapai 
hakikat 
makna qalb 
yang sesungguhnya. 
Namun bagi seorang salik, qalb 
(yang dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai "hati", atau 
"hati nurani") 
menempati posisi sentral dalam sebuah laku 
jalan pertaubatan, 
sebuah jalan panjang pengenalan diri kepada 
Sang Khalik.

Dapat dikatakan, 
qalb-lah medan perjuangan yang sesungguhnya. 
Locus yang menjadi 
kunci utama 
di mana segenap daya juang dikerahkan untuk merebut dan memenangkannya. 

Qalb merupakan 
poros mikrokosmos dari seorang insan—
sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Sesungguhnya di dalam tubuh manusia 
terdapat segumpal daging yang jika ia baik, 
maka baiklah seluruh tubuhnya. 
Dan jika ia buruk, 
maka buruklah seluruh tubuhnya. 
Ia adalah qalb." 
(H.R. Bukhari)

Heart
Qalb-lah 
medan perjuangan yang sesungguhnya. 
Locus yang menjadi 
kunci utama 
di mana segenap daya juang dikerahkan untuk merebut dan memenangkannya. 
Qalb merupakan 
poros mikrokosmos 
dari seorang insan.

Betapa tidak, 
apa yang tersembunyi 
di dalam qalb seseorang menjadi acuan tentang 
baik buruknya 
sebuah perbuatan. 

Apakah perbuatan itu mendapatkan pahala atau jatuh menjadi sekadar kesia-siaan? 

Suatu bentuk keikhlasan ataukah kemunafikan? Karena bukankah 
"… Allah tidak melihat kepada bentuk tubuh kalian atau 
rupa kalian, 
akan tetapi Dia melihat 
qalb kalian" 
(H.R. Muslim)?

Pada titik itu, 
di relung qalb, 
terbuka bagi-Nya apa-apa yang nyata 
sesungguhnya di balik semua realitas ini. 
Tiada terbandingkan bagi-Nya. 
Tiada pula sanggup ketika seluruh daya alam semesta, seisinya, bersama-sama menghela seorang insan untuk meraih keridhaan-Nya, tanpa sebuah qalb yang "hidup". 
Seperti termaktub dalam sebuah hadits qudsi: "Sesungguhnya semua 
petala langit dan bumi menjadi sempit untuk merangkul-Ku, akan tetapi Aku mudah untuk dirangkul oleh qalb hamba-Ku yang mukmin" 
(H.R. Ahmad).

Senin, 29 November 2021

Insan Kamil: Cahaya Allah bagi Alam Semesta

[29/11 17:35] aji rasha: Insan Kamil: 
Cahaya Allah 
bagi Alam Semesta

Al-Qur’an juga menggambarkan struktur jasad, 
jiwa (nafs) dan 
Ruhul-Qudus ini 

melalui perumpamaan 
yang indah tentang sebuah misykat (menyerupai ceruk/relung di sebuah dinding yang oleh masyarakat Arab saat itu biasa digunakan untuk meletakkan lampu penerangan)—
sebuah penggambaran tentang potensi besar manusia yang sempurna (Insan Kamil) sebagai Cahaya Allah.

اللَّـهُ نُورُ‌ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْ‌ضِ ۚ مَثَلُ نُورِ‌هِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ ۖ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّ‌يٌّ يُوقَدُ مِن شَجَرَ‌ةٍ مُّبَارَ‌كَةٍ زَيْتُونَةٍ لَّا شَرْ‌قِيَّةٍ وَلَا غَرْ‌بِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ‌ ۚ نُّورٌ‌ عَلَىٰ نُورٍ‌ ۗ يَهْدِي اللَّـهُ لِنُورِ‌هِ مَن يَشَاءُ ۚ وَيَضْرِ‌بُ اللَّـهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ ۗ وَاللَّـهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Allah cahaya 
petala langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah 'misykat' yang di dalamnya terdapat 'misbah' (pelita yang terang). Misbah tersebut di dalam 'zujajah' (kaca), 
kaca itu seolah seperti 'kaukab' (bintang) yang berkilau dinyalakan oleh (minyak) dari pohon yang banyak berkahnya, 
pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi walau tanpa disentuh api. Cahaya di atas cahaya. 
Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki, dan 
Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. – 
Q.S. An-Nuur [24]: 35
[29/11 17:37] aji rasha: Tiga komponen utama 
yang dimaksud di dalam 
ayat itu 
disimbolkan melalui 
Misykat (Jasad), 
yang di dalamnya terdapat Misbah (Ruhul-Qudus, seperti pelita yang terang benderang) yang menghidupkan 
Zujajah (qalb, hati yang merupakan ‘rasa’ jiwa atau nafs).



Misykat melambangkan wujud jasad insan manusia yang dibangun dari aspek fisik al-ardh (tanah, kebumian). Misykat jasad ini merupakan wadah bagi qalb yang berada di dalam nafs (jiwa) yang suci, yang di ayat tersebut dilambangkan sebagai zujajah (bola kaca yang jernih). Terang dan jernihnya qalb ini menjadi syarat agar cahaya misbah (Ruhul-Qudus)—tentu dengan kehendak-Nya—memancar keluar menerangi bola kaca zujajah. Zujajah yang terang ini bagaikan sebuah bola langit malam (kaukab) yang gemerlap oleh taburan benda-benda langit.

Bersinarnya kaukab kalbu ini karena adanya minyak yang menyalakannya, minyak yang bercahaya walau tanpa disentuh api, minyak yang keluar dari pohon yang banyak berkahnya. Pohon yang tidak tumbuh di sebelah barat (di tempat tenggelamnya matahari Al-Haqq—yakni Jasad), tidak pula di sebelah timur (di tempat terbitnya matahari Al-Haqq—yakni alam ruh/alam jabarut). Pohon ini tumbuh tidak di ufuk diri, tetapi tumbuh di tengah-tengah antara aspek Jasadi dan aspek Ruhi, yaitu di nafs insan.

Manusia yang tidak menyala qalb-nya oleh Nur Iman dalam nafs-nya, tidak akan bisa menyalakan zujajah dalam qalb-nya (tidak dianugerahi Ruhul-Qudus) sehingga tidak pernah tersedia di dalamnya singgasana cahaya bagi api-Nya. Ini artinya, ia tidak akan pernah menjadi khalifah Allah, walau hanya khalifah bagi dirinya sendiri.

Struktur Insan
Manusia yang tidak menyala qalb-nya oleh Nur Iman dalam nafs-nya, tidak akan bisa menyalakan zujajah dalam qalb-nya sehingga tidak pernah tersedia di dalamnya singgasana cahaya bagi api-Nya.

Insan seperti ini bagaikan rumah dengan lorong-lorong yang gelap gulita karena kusam tubuhnya dan padam lampunya, tidak diisi melainkan oleh tipuan ilusi, hawa nafsunya dan jejak syaithan. Tidak ada seorang pun yang mampu menghidupkan rumah seperti ini kecuali Allah Azza wa Jalla, tempat tumpuan harapan seluruh alam. []

 
 

Resume
Setiap diri manusia sesungguhnya merupakan gabungan dari tiga unsur besar yang membentuknya, yaitu jasad (badan, jism), jiwa (nafs), dan Ruh. Memahami bagaimana hubungan interaksi antara ketiga unsur ini dan unsur-unsur turunannya merupakan kunci untuk memahami tujuan penciptaan diri kita dan, pada akhirnya, memahami agama

Syahwat dan Hawa Nafsu

[29/11 17:27] aji rasha: Syahwat dan Hawa Nafsu
Itulah 
tiga unsur utama pembentuk manusia: 
jasad (jism, badan), 
jiwa (nafs), dan 
ruh. 

Ketiga unsur ini saling terkait dan berinteraksi. 
Nah, dari interaksi ketiga unsur ini, 
kita akan mengenal beberapa unsur lain.

Syahwat

Ketika nafs ditugaskan 
untuk hidup di dunia, 
ia diletakkan ke dalam kendaraan jasad. 

Jasad berasal dari bumi, 
dan ia pun sangat menyukai kesenangan-kesenangan yang berasal dari alamnya. 

Ia menyukai 
makanan dan minuman, lawan jenis, 
hubungan seksual, kecantikan atau ketampanan, dan semacamnya. 

Syahwat adalah 
daya-daya yang berasal 
dari jasad, 
yang memberi pengaruh 
pada nafs. 

Fungsi syahwat 
adalah untuk kelangsungan hidup si jasad di bumi ini—
ia tidak dapat hidup 
dengan baik di dunia 
jika tidak makan, minum, dan berketurunan.

Dari penyatuan antara 
nafs dan jasad, 
daya-daya jasadi ini 
memberi pengaruh pada 
nafs yang suci, 
yang masuk ke dalam jasadnya—
bahkan mendominasi nafs-nya. 

Dalam hal ini, 
orientasi nafs-nya 
menjadi sama dengan orientasi syahwat, 
sehingga ia kehidupannya 
di dunia hanya untuk mencari hal-hal yang digemari 
oleh syahwatnya itu.

Syahwat sendiri 
bukan sesuatu yang buruk, sebenarnya. 

Fungsi syahwat adalah 
untuk kelangsungan hidup jasad di alam dunia. 

Namun syahwat 
baru menjadi buruk 
jika ia menguasai, mendominasi, atau memperbudak tuannya: 
nafs.

Struktur Insan Syahwat adalah daya-daya yang berasal dari jasad, 
yang memberi pengaruh 
pada nafs. 

Fungsi syahwat adalah 
untuk kelangsungan hidup 
si jasad di bumi ini—
ia tidak dapat hidup 
dengan baik di dunia 
jika tidak makan, minum, dan berketurunan.

Jadi, dalam 
tingkatan nafs tadi, 
nafs ammarah bi su’ adalah nafs yang dikuasai syahwatnya. 

Nafs Lawwamah adalah 
nafs yang dipengaruhi syahwatnya. 

Sedangkan nafs muthma’innah adalah 
nafs yang bebas dari syahwatnya, 
bahkan syahwatnya telah tunduk pada sang nafs.
[29/11 17:33] aji rasha: Hawa Nafsu

Hawa Nafsu 
berbeda dengan syahwat. 

Jika dalam penyatuan jiwa dan jasad tadi, 
daya-daya jasadi yang memengaruhi jiwa disebut syahwat, 

maka di sisi lain, 
penyatuan ini juga melahirkan “anak-anak”, 
yaitu oknum-oknum batin yang sifatnya tengah-tengah, antara jasad dan jiwa. 

Sesuai namanya, 
ia adalah hawa dari nafs—sekadar hawanya, 
dan bukan nafs yang sejati. 

Ia tidak jasadi sepenuhnya, namun juga 
tidak malakuti sepenuhnya.

Contoh hawa nafsu ini adalah 
marah, 
kesombongan, 
bangga diri, 
malas, 
takut, 
dendam, 
ragu, 
gelisah, 
putus asa, 

bahkan hawa nafsu beragama 
seperti ingin puasa terus-menerus, 
ingin shalat terus-menerus, dan tidak peduli dengan tanggung jawab mencari penghidupan, 
misalnya.

Hawa Nafsu ini 
ribuan jumlahnya dalam diri setiap manusia. 

Fungsinya adalah 
untuk melindungi dan membantu nafs—

ia disebut sebagai 
tentara batin. 

Mereka semua adalah prajurit, 
yang seharusnya dikomando oleh nafs muthma’innah untuk mencapai tujuannya, yaitu 
melaksanakan mandat yang dibawanya dari Allah ta’ala. 

Namun, persoalannya adalah ketika para prajurit—
syahwat dan 
hawa nafsu—
justru 
menguasai pimpinannya 
dan mengambil alih kepemimpinan. 

Nafs, 
yang ditempatkan di dunia ini untuk sebuah tujuan agung: menjadi perpanjangan 
kuasa Allah di muka bumi 

untuk memakmurkan 
alam semesta (khalifah), pada akhirnya hanya hidup 
di dunia untuk tujuan yang sangat dangkal: 
sekadar untuk memenuhi keinginan syahwat dan 
hawa nafsunya saja.

Unsur ketiga dalam diri insan adalah yang disebut dengan ruh

[29/11 17:15] aji rasha: Ruh
Unsur ketiga dalam diri insan adalah yang disebut dengan ruh. 

Jamaknya, 
disebut arwah—
ruh yang banyak. 

Ruh ini berasal 
dari yang Maha Hidup, 
yang ditiupkan-Nya 
ke Adam a.s. 
sehingga jasadnya 
menjadi hidup. 

Jika nafs dan para malaikat berasal dari alam malakut, 

ruh berasal dari 
alam yang lebih tinggi, 
yaitu 
alam jabarut, atau 
alam arwah. 

Alam jabarut ini 
adalah alam yang 
paling dekat dengan 
Allah Ta’ala.

Ruh adalah daya hidup. 
Dan jika diibaratkan 
ruh adalah api, 
cahaya apinya saja pun sudah menghidupkan jasad, 

alih-alih apinya. 

Ruh berasal dari Allah, 
dan pasti akan kembali pada-Nya. 

Dengan demikian, ungkapan “semoga arwahnya 
(arwah: jamak dari “ruh”) diterima Allah
” ketika seseorang 
meninggal dunia adalah 
tidak tepat, 
sebab ruh berasal dari Allah dan pasti akan kembali kepada-Nya. 

Yang seharusnya didoakan ketika meninggal 
adalah jiwa (nafs), 
bukan ruh, 
karena jiwa lah yang akan menempuh perjalanan berikutnya, 
dan harus mempertanggungjawabkan semua yang dia lakukan 
di dunia.

Nafakh Ruh

Ruh yang menghidupkan, yang biasa kita sebut dengan ruh saja, 
sebenarnya adalah 
nafakh ruh. 

Secara harfiah, 
nafakh ruh berarti 
“ruh tiupan”—
ruh yang ‘ditiupkan’ 
Allah ta’ala pada 
jasad Adam a.s. 

Ia adalah ruh 
yang menghidupkan jasad.

ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِن رُّ‌وحِهِ ۖ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ‌ وَالْأَفْئِدَةَ ۚ قَلِيلًا مَّا تَشْكُرُ‌ونَ

Kemudian 
Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya ruh dari-Nya 
(nafakha fihi min Ruhi), dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, 
penglihatan dan 
hati; 
(tetapi) sedikit sekali 
kamu bersyukur. – 
Q.S. As-Sajdah [32]: 9

Ruh Al-Amin

Ruh Al-Amin 
adalah gelar yang dinisbatkan kepada 
malaikat Jibril a.s. 

Malaikat Jibril a.s. 
adalah termasuk malaikat yang telah diperkuat 
Allah Ta’ala dengan Ruhul-Qudus 
di dalam dirinya. 

Ruh Al-Amin, 
sebagaimana para malaikat lainnya, 
berasal dari alam malakut—alamnya para malaikat dan jiwa-jiwa yang suci. 

Kedudukan Jibril a.s. 
diantara para malaikat adalah seperti kedudukan Rasulullah SAW 
diantara para manusia.

Ruhul-Qudus

Ruhul-Qudus 
adalah esensi ruh insan 
yang paling murni dan 
paling suci, 
yang hadir ke dalam 
diri insan sebagai 
pembawa kabar dan pengetahuan-pengetahuan ilahiah 
di dalam diri. 

Jika tadi dikatakan bahwa cahaya api ruh 
telah menghidupkan jasad, 

Ruhul-Qudus 
adalah apinya, 
sumber cahaya dari 
cahaya ruh yang menghidupkan tersebut.

Ia berasal dari alam Jabarut—alam yang terdekat dengan Allah ta’ala, 

berbeda dengan 
Ruhul Amin yang berasal dari alam Malakut.

Jika manusia biasa 
hanya menerima 
cahaya apinya saja, 

maka ruh ini—
apinya, 
sumber cahanyanya—
hanya dianugerahkan pada hamba-hamba Allah 
yang telah berhasil menyucikan nafs-nya 
ke tingkatan nafs muthma’innah. 

Mereka yang dianugerahi Ruhul-Qudus berperan sebagai cahaya Allah 
bagi alam semesta sekelilingnya.

Ruhul-Qudus 
adalah kuasa Allah ta’ala yang dianugerahkan pada hamba-hamba yang telah berhasil mengenali dirinya dan tujuan penciptaannya. Kuasa Allah, atau—
qudrah Allah—
ini adalah untuk 
menguatkan si hamba 
dalam melaksanakan tujuan penciptaannya, melaksanakan misi hidupnya.

قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

Katakanlah: 
"Ruhul-Qudus menurunkan itu dari Rabb-mu dengan Al-Haqq, 
untuk mengokohkan orang-orang beriman, lagi menjadi petunjuk dan 
kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri".- 
Q. S. An-Nahl [16] : 120
[29/11 17:21] aji rasha: Seorang manusia 
dianugerahi Ruhul-Qudus untuk memperkuatnya 
dalam melaksanakan titah Rabb-nya, atau 
amr Rabb-nya. 

Dalam Al-Qur’an, Ruhul-Qudus ini 
disebut juga dengan 
Ruh min amri Rabbi 
yang berarti 
‘ruh yang berasal 
dari amr Rabb’. 

Amr bermakna 
‘urusan’, 
‘mandat’ atau 
‘titah’.

Melalui 
anugerah Ruhul-Qudus ini seorang manusia akan memahami hakikat terdalam makna-makna batinAl-Qur’an, dan memahami ayat-ayat Allah di seluruh penjuru ufuk alam semesta, 

maupun di dalam 
diri manusia sendiri 
(lihat Q. S. Fushshilat [41] : 53). 

Dengan menyaksikan
yg sebenar-benarnya bahwa segala sesuatu adalah 
ayat Allah, 

maka seorang manusia—diperkuat oleh Ruhul-Qudus—pun menjadi 
saksi Allah (syuhada) 
secara hakiki.

Ruhul-Qudus 
adalah anugerah tertinggi yang bisa diterima 
seorang manusia. 

Ketika pengetahuan-pengetahuan ilahiyah yang tinggi 
tidak dimiliki manusia dan alam semesta, 
kehadiran Ruhul-Qudus inilah yang menjadikan seorang manusia menjadi sumber cahaya bagi alam semesta di sekitarnya—

seseorang yang dianugerahi Ruhul-Qudus kerap disimbolkan dengan matahari atau api 
yang meliputi kepala—
karena ia memahami ilmu-ilmu yang terdalam dan tertinggi langsung dari sisi Allah ta’ala.

Hanya sedikit pengetahuan tentang 
Ruhul-Qudus atau 
ruh min amr 
(ruh dari amr Rabb) ini 
yang dibuka kepada manusia, kecuali bagi hamba-hamba yang dianugerahi ruh ini oleh Allah. 

Sebagaimana firman Allah,

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا

Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: 
"Ruh dari amr Rabb-ku, 
dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit. - 
Q. S. Al-Isra [17] : 85

Nafs muthma'innah (jiwa yang tenang),

Nafs muthma'innah 
(jiwa yang tenang), 
jiwa yang berhasil kembali martabatnya yang tertinggi setelah menempuh jalan pertaubatan dan 
menyucikan dirinya, 
dengan penuh pengetahuan tentang Allah dan ayat-ayat-Nya 
di dalam dirinya sendiri.

Nafs muthma’innah 
inilah yang telah sepenuhnya tunduk pada Allah 
sehingga sepenuhnya 
ridha kepada Rabb-nya, dan Rabb-nya pun telah ridha kepadanya. 
Inilah kedudukan nafs 
para hamba Allah.

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾ ارْ‌جِعِي إِلَىٰ رَ‌بِّكِ رَ‌اضِيَةً مَّرْ‌ضِيَّةً ﴿٢٨﴾ فَادْخُلِي فِي عِبَادِي ﴿٢٩﴾ وَادْخُلِي جَنَّتِي ﴿٣٠﴾

Wahai nafs muthma’innah (jiwa yang tenang), kembalilah, 
pada Rabb-mu dengan ridha lagi diridhai-Nya. 
Masuklah menjadi hamba-hamba-Ku. 
Masuklah ke dalam surga-Ku. – Q.S. Al-Fajr [89]: 27-30

Inilah tujuan penyucian jiwa: agar jiwa manusia 
bisa melepaskan diri dari perbudakan oleh 
hawa nafsu dan syahwatnya, sehingga menjadi 
jiwa yang tenang atau 
nafs muthma’innah.

Struktur Insan

[29/11 14:51] aji rasha: Struktur Insan

Memahami Interaksi Unsur-unsur Pembentuk Manusia

Abu Hamid Al-Ghazali 
(1058 - 1111 M), 

seorang ulama besar muslim yang telah berhasil meraih pengenalan diri 
dan memahami tujuan penciptaannya, 
mengatakan dalam 
kitabnya Ihya Ulumuddin (menghidupkan ilmu-ilmu ad-diin) 
bahwa sedikit sekali orang yang dianugerahi Allah pemahaman tentang jiwa dan perbedaan antara 
jiwa dan ruh. 

Itu di masa keemasan Islam. Di masa ini, 
lebih sedikit lagi.

Di sisi lain, 
semakin modern zaman, keraguan dan ambiguitas harus semakin berkurang, 

sementara definisi 
harus semakin jelas—terutama tentang 
hal-hal yang terkait pemahaman agama. 

Melalui para hamba Allah yang ditugaskan untuk membuka hal tersebut 
di zaman ini, 
pemahaman tentang jiwa maupun perbedaannya dengan ruh pun 
semakin lama menjadi semakin jelas dan terbuka.

Jasad

Unsur pertama adalah jasad. Kita mengenalnya dengan istilah “tubuh” atau “badan”. 

Bahasa Sanskrit mengistilahkannya 
dengan raga. 

Dalam kitab-kitab tasawuf, digunakan juga 
istilah jism atau jisim. 

Jasad ini—
tepatnya turunan dari 
jasad Adam a.s., 
manusia pertama—merupakan gabungan 
dari banyak unsur-unsur penciptanya, 
yang oleh para filsuf di masa Yunani Kuno disebut bahwa unsur-unsur pembentuknya adalah AFEW: 
air (udara), 
fire (Api) , 
earth (tanah) dan 
water (air). 

Semua unsur ini 
adalah sama dengan unsur-unsur bumi, 
tempat di mana 
manusia tinggal.

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن سُلَالَةٍ مِّن طِينٍ

Dan sungguh, 
Kami telah menciptakan manusia dari saripati tanah. – Q.S. Al-Mu’minun [23]: 12

Unsur-unsur ini 
digabung, 
disatukan, 
diikat 
oleh sesuatu yang berasal dari Sang Maha Hidup, 
yaitu Ruh. 

Karena berasal dari 
Sang Maha Hidup, 
maka keberadaannya pun membuat sesuatu 
menjadi hidup. 

Karena adanya ruh 
maka unsur-unsur itu menyatu dan membentuk sesuatu yang lain, 
yang hidup. 

Jika ruh diangkat, 
maka unsur-unsur itu 
akan kembali terurai ke sifat-sifatnya semula, menjadi unsur-unsur 
saripati tanah.

Kedudukan jasad 
hanyalah sebagai pakaian atau kendaraan bagi pengendaranya, sang jiwa. 

Jika pengendaranya 
sudah berangkat ke alam yang berbeda, 
jasad—
pakaiannya atau 
kudanya—
akan kembali terurai menjadi unsur-unsur kebumian.

Alam tempat tinggal jasad, mulai dari bumi kita sendiri, planet lain, 
bintang gemintang, hingga batas alam semesta fisik yang terjauh, 
disebut alam mulk. 

Pendeknya, 
semua alam 
yang masih memiliki bentuk fisik dan 
terkena hukum-hukum 
alam fisik, 
adalah alam mulk. 

Kata mulk 
(dari Bahasa Arab m-l-k) bermakna “kedaulatan”. 

Alam fisik ini adalah 
alam di mana insan 
diberi kedaulatan atau mandat oleh Allah Ta’ala, untuk ikut mengaturnya—tepatnya, untuk memakmurkannya. 

Secara kedekatan, 
alam mulk adalah 
alam yang paling jauh dari Allah Ta’ala.

Struktur Insan

Alam tempat tinggal jasad, mulai dari bumi kita sendiri, planet lain, 
bintang gemintang, 
hingga batas alam semesta fisik yang terjauh, 
disebut alam mulk. 
Semua alam yang masih memiliki bentuk fisik dan terkena hukum-hukum alam fisik, 
adalah alam mulk.

Alam mulk 
disebut juga dengan sebutan alam syahadah 
(alam persaksian), 
karena di alam yang inilah manusia harus berhasil mempersaksikan Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya.
[29/11 15:12] aji rasha: Nafs (Jiwa)

Unsur kedua, 
adalah nafs. 

Nafs, dalam bahasa kita disebut jiwa. 

Bahasa sanskrit menyebutnya dengan 
istilah sukma. 

Dalam bahasa Arab kata nafs kerap dimaknai sebagai diri, karena sesungguhnya yang disebut diri manusia bukanlah jasadnya, melainkan jiwanya. 

Nafs 
adalah diri yang seharusnya menjadi pengendali atau pengendara jasad. 

Nafs tidak sama dengan ruh.

Jika jasad terbuat dari satuan unsur-unsur saripati tanah, 

maka jiwa 
dibentuk dari cahaya. 

Bukan cahaya fisik 
berupa gelombang elektromagnetik 
seperti cahaya lampu senter, 

melainkan 
cahaya ilahiah, 
nur ilahi. 

Jika dimisalkan bahwa 
Allah adalah sumber cahaya, 

maka nafs 
diciptakan dari cahaya 
yang memancar dari 
sumber cahaya tersebut. 

Nafs 
pada dasarnya tidak membutuhkan 
ruh untuk hidup—

nafs 
yang berasal dari 
cahaya Allah 
telah hidup 
walaupun tanpa ruh.

Nafs-lah 
yang menjadi 
hakikat ke-insan-an seseorang. 

Nafs-lah yang 
menjadi sasaran pendidikan Allah Ta’ala, 
untuk diajari tentang Dia dan ayat-ayat-Nya, 

sehingga ia mampu mempersaksikan bahwa segala sesuatu, termasuk dirinya sendiri, 
adalah Al-Haqq—
Al-Haqq adalah 
salah satu nama 
Allah Ta’ala.

سَنُرِ‌يهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَ‌بِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

Akan Kami perlihatkan ayat-ayat kami 
hingga seluruh ufuk dan dalam nafs-nafs mereka sendiri, 
hingga menjadi jelas 
bagi mereka bahwa itu adalah Al-Haqq. 
Tidakkah cukup bahwa Rabb-mu, sesungguhnya Dia, atas segala sesuatu, 
menjadi saksi? – 
Q.S. Fushshilat [41]: 53

Sedikit mengoreksi 
dugaan umum, bahwa 
ketika telah menyaksikan dengan sebenar-benarnya bahwa di dalam diri 
terdapat Al-Haqq sebagaimana tercantum dalam ayat di atas, 
itu tidak sama dengan mempersaksikan bahwa 
diri adalah Allah. 

Itu lebih kepada 
berhasil melihat dan mempersaksikan bahwa segala sesuatu, 
termasuk diri sendiri, 
adalah ayat Allah, dan menjadi salah satu tempat 
di mana Allah Ta’ala menyimpan Al-Haqq, kebenaran tertinggi, 
yang berhasil dipahaminya.

Untuk tujuan mengenal ayat-ayat Allah dan Al-Haqq inilah nafs 
ditempatkan di alam mulk—alam kita ini—
dan diberi kendaraan sekaligus pakaian 
yang sesuai untuk hidup 
di alam mulk, 
karena berasal dari 
alam yang sama: jasad. 

Meski demikian, 
nafs sesungguhnya 
bukan penghuni alam mulk. 

Ia berasal dari alam 
yang disebut alam malakut, 

alam yang merupakan tempat natural 
bagi jiwa-jiwa suci dan malaikat.

Namun, 
bagi jiwa-jiwa yang 
belum suci dan 
masih membawa dosa 
ketika meninggalkan 
alam mulk, 
mereka terikat untuk disucikan 
di sebuah alam perantara yang disebut alam qubr (alam kubur). 

Alam qubr 
adalah perantara (barzakh) antara alam dunia (mulk) dan alam malakut.

Nafs 
inilah yang harus berubah, dari kondisi terendah 
menjadi kondisi sebagaimana seharusnya. 

Perubahan kondisi nafs adalah syarat agar Allah mengubah kondisi insan. 

Kita mengubah keadaan nafs, maka Allah pun akan mengubah keadaan kita secara menyeluruh.

Struktur Insan

Nafs 
inilah yang harus berubah, dari kondisi terendah 
menjadi kondisi sebagaimana seharusnya. 

Perubahan kondisi nafs adalah syarat agar Allah mengubah kondisi insan. 
Kita mengubah keadaan nafs, maka Allah pun akan mengubah keadaan kita secara menyeluruh.

إِنَّ اللَّـهَ لَا يُغَيِّرُ‌ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُ‌وا مَا بِأَنفُسِهِمْ

Sesungguhnya tidaklah 
Allah akan mengubah keadaan suatu kaum, 
hingga mereka mengubah keadaan nafs-nafs (jiwa-jiwa) mereka.” – 
Q.S. Ar-Ra’d [13]: 11
[29/11 15:12] aji rasha: Nafs sendiri, 
berdasarkan 
tingkat kesuciannya, 
terbagi menjadi 
tiga:

1. Nafs Ammarah bi Su’

Pertama, 
tingkat nafs yang terendah, disebut 
nafs ammarahbi-su’ 
(nafs yang memerintah dengan keburukan, atau mengajak pada keburukan—bukan “nafsu amarah”).

وَمَا أُبَرِّ‌ئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَ‌ةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَ‌حِمَ رَ‌بِّي ۚ إِنَّ رَ‌بِّي غَفُورٌ‌ رَّ‌حِيمٌ

Dan tidaklah aku menyatakan jiwaku bebas dari kesalahan. Sesungguhnya nafs itu 
selalu memerintah dengan keburukan (ammaratu bi su’) kecuali yang dirahmati Rabb-ku. 
Sesungguhnya 
Rabb-ku Maha Pengampun, Maha Penyayang. – 
Q.S. Yusuf [12]: 53

Ini adalah nafs 
yang masih didominasi 
oleh hawa nafsu dan syahwatnya sendiri, 
sehingga ia selalu 
diajak, 
diperintah atau 
dibawa ke arah keburukan oleh hawa nafsu 
dan syahwatnya—

dan ia tidak mampu melepaskan dirinya. 
Ia masih terikat 
dengan (sifat-sifat) kejasadiahannya sendiri.

Proses pertama 
di jalan taubat adalah membebaskan nafs 
dari perbudakan ini: membebaskan nafs 
dari diperbudak oleh 
hawa nafsu dan 
syahwatnya sendiri.

2. Nafs Lawwamah

Tingkat nafs 
yang sudah mulai menyadari bahwa ia dikuasai oleh 
hawa nafsu dan 
syahwatnya dan 
tidak kuasa membebaskan dirinya, 
disebut nafs lawwamah—berarti “nafs yang amat menyesali (diri)”.

وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

Dan Aku bersumpah dengan nafs al-lawwamah 
(nafs yang menyesali diri). – Q.S. Al-Qiyamah [75]: 2

Nafs lawwamah 
adalah nafs yang kadang terbawa oleh sifat jasadinya, namun kadang menyesal dan rindu untuk lepas dari kungkungan sifat-sifat jasadinya. 

Ia merindukan “langit”, namun juga mencintai duniawi.

Nafs pada tingkat lawwamah ini adalah nafs 
yang mulai ingin bertaubat, ingin menjadi baik, dan 
ingin lepas dari perbudakan hawa nafsu dan syahwatnya.

3. Nafs Muthma’innah

Nafs muthma’innah 
adalah jiwa 
yang sudah tidak lagi dikuasai oleh hawa nafsu dan syahwatnya, 
dan sudah tidak lagi terikat oleh sifat-sifat jasadinya. 

Ia tidak lagi terombang-ambing antara perbuatan dan penyesalan. 

Ia hanya tunduk dan mencintai penciptanya—sosok yang pertama kali dilihatnya sejak ada 
di alam semesta ini—
yaitu Allah SWT. 

Karena itulah ia menjadi 
nafs muthma’innah 
(jiwa yang tenang), 
jiwa yang berhasil kembali 
ke martabatnya yang tertinggi 
setelah menempuh jalan pertaubatan dan 
menyucikan dirinya, 
dengan penuh pengetahuan tentang Allah dan ayat-ayat-Nya 
di dalam dirinya sendiri maupun di seluruh penjuru ufuk, 

yang berhasil ia pelajari 
di alam mulk. 

Nafs tingkatan inilah 
yang harus kita kenali dalam perjalananan taubat, 
karena nafs muthma’innah sajalah yang bisa membuka ilmu-ilmu Allah yang disimpan Allah 
dalam dadanya.

Struktur Insan

Nafs muthma'innah 
(jiwa yang tenang), 
jiwa yang berhasil kembali martabatnya yang tertinggi setelah menempuh jalan pertaubatan dan menyucikan dirinya, 
dengan penuh pengetahuan tentang Allah dan ayat-ayat-Nya 
di dalam dirinya sendiri.

Nafs muthma’innah 
inilah yang telah sepenuhnya

Tentang Manusia

[29/11 13:58] aji rasha: Tentang Manusia

Sungguh, 
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk 
yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan ia ke tempat yang serendah-rendahnya. 
Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, maka bagi mereka karunia yang tiada putus-putusnya. – Q.S. At-Tiin [95]: 4-6

AL-QUR’AN menggambarkan manusia sebagai makhluk yang menempati kedudukan yang sangat tinggi 
dan sangat khusus. 
Allah SWT, 
Sang Raja Semesta itu "mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya" 
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 31) 
dan memintanya mengajarkan kembali rahasia-rahasia itu 
kepada makhluk-makhluk lainnya 
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 33). 

Allah bahkan menyuruh kepada para Malaikat agar bersujud kepada Adam 
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 34).

Namun dalam pandangan beberapa filsuf, 
eksistensi manusia 
hanyalah sebuah kebetulan alamiah saja. 
Hidup 
dalam pandangan mereka hanyalah sebuah rutinitas untuk mengukur jalanan 
dari pagi sampai petang, mencari makan, 
mengisi lambung 
yang tak seberapa ini.

Allah menantang pemikiran-pemikiran ini dalam firman-firman-Nya. Salah satunya berbunyi:

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْ‌جَعُونَ

Maka apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakanmu secara main-main (saja), 
dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? – Q.S. Al-Mu'minuun [23]: 115

Allah 
sungguh tidak main-main dengan penciptaan manusia. Kedudukan khusus 
yang disematkan-Nya 
kepada makhluk yang satu ini diiringi pula oleh 
sekian ragam "fasilitas" 
yang juga khusus, 
sangat kaya dan kompleks. Tidakkah kitamerasakannya? Saat menyusuri tempat-tempat di hamparan, gunung-gunung dan lautan, segala hal di dalamnya tampak begitu "ramah" kepada kita, 
"Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu 
apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar 
di lautan dengan perintah-Nya?" 
(Q.S. Hajj [22]: 65)

Allah bahkan secara khusus mendesain matahari dan bulan yang beredar sedemikian rupa 
demi mendukung 
satu kebutuhan manusia yang esensial akan bilangan dan perhitungan 
(Q.S. Yunus [10]: 5).
[29/11 14:05] aji rasha: Bola-bola gas super raksasa yang bersinar terang di langit, terwujud dalam konstelasi bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya, 
dengan sekian pelik 
hukum fisikanya adalah "…agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan 
di darat dan di laut" 
(Q.S. Al-An’aam [6]: 97). 

Lalu kini kita berdiri di atas sebintik debu bernama Bumi ini di tengah kemahaluasan Semesta Raya 
yang semuanya—
ya, seluruhnya!—
telah ditundukkan-Nya 
bagi kita manusia.

وَسَخَّرَ‌ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ‌ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ‌ ۖ وَالنُّجُومُ مُسَخَّرَ‌اتٌ بِأَمْرِ‌هِ ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

Dia menundukkan 
malam dan siang, 
matahari dan bulan 
untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar 
ada tanda-tanda 
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami-(nya). – 
Q.S. An-Nahl [16]: 12

Tidakkah semua 
perlakuan khusus itu memicu pertanyaan di dalam diri kita, siapakah sebenarnya makhluk ini? 
Siapakah kita? 
Dari mana asalnya, 
kemana, dan 
untuk apa kita ada di sini?

Apakah kita menganggap bahwa hidup hanya berawal di sini dan 
di sini pula hidup itu berakhir? 
Pernahkah kita membayangkan di sebuah rentang waktu, 
jauh sebelum kita terlahir 
di dunia, 
kita pernah bercakap-cakap dengan Dia yang kita sebut "Tuhan", 
Sang Raja Semesta Raya itu?

Manusia
Apakah kita menganggap bahwa hidup hanya berawal di sini dan 
di sini pula hidup itu berakhir? 
Pernahkah kita membayangkan di sebuah rentang waktu, 
jauh sebelum kita terlahir 
di dunia, 
kita pernah bercakap-cakap dengan Dia yang kita sebut "Tuhan", 
Sang Raja Semesta Raya itu?
[29/11 14:15] aji rasha: Manusia adalah 
Saksi Allah
Al-Qur’an merekam 
sebuah jejak sejarah dari masing-masing kita, keturunan Adam 
(Bani Adam), 
tentang sebuah peristiwa 
di sebuah alam yang disebut oleh para ulama sebagai Alam Alastu atau 
Alam Persaksian:

وَإِذْ أَخَذَ رَ‌بُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِ‌هِمْ ذُرِّ‌يَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَ‌بِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَـٰذَا غَافِلِينَ

Dan (ingatlah), 
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari 
sulbi mereka dan 
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka 
(seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" 
Mereka menjawab: 
"Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". 
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat 
kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami 
(bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini 
(keesaan Tuhan). – 
Q.S. Al-A'raaf [7]: 172

Ayat ini adalah 
sebuah reportase penting tentang suatu masa 
ketika kita sungguh berhadap-hadapan 
dengan sosok 
Sang Raja Diraja Semesta itu. Saat itu diambil sebuah kesaksian terhadap tiap-tiap diri (nafs/jiwa), masing-masing kita: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" 
Dan kita pun menjawab: "Betul, kami menjadi saksi."

"Saksi", atau "syuhada" 
dalam bahasa Arab, 
secara umum merujuk kepada pihak yang dihadirkan 
karena dianggap memiliki pengetahuan 
tentang suatu hal atau karena ia menyaksikan kejadian tertentu. 

Dalam hal ini, 
manusia dinisbatkan sebagai saksi Allah, 
Tuhan Semesta Alam.

Manusia adalah 
saksi yang disumpah 
tuk memberikan keterangan yang membenarkan-Nya. Manusialah yang akan angkat bicara atas setiap keraguan tentang keberadaan-Nya, 
tentang keesaan-Nya, 
tentang kebesaran-Nya, tentang ke-99 asma-Nya. 
Kita menjadi saksi atas itu. Karena bukankah 
kita telah berhadap-hadapan dengan Sang Maha Agung, bercakap-cakap dan menyaksikan-Nya?

Dalam konteks yang lain, syahid atau syuhada 
(bentuk jamak dari syahid) kerap diartikan 
sebagai orang yang mati syahid di medan perang—yang di dalam Al-Qur’an disebutkan sebagai 
salah satu di antara orang-orang yang dianugerahi nikmat 
(Q.S. An-Nisaa’ [4]: 69) 

selain para Nabi, 
Shiddiqin, dan Shalihin.

Namun makna asali dari kata ini sebenarnya adalah 
"ia yang bersaksi" 
dan tidak ada kaitannya dengan sebuah peperangan. Syahid merupakan sebuah "gelar" orang-orang 
yang teguh berdiri dalam kesaksiannya, 
yang tidak selamanya sebagai martir dalam peperangan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Siapa yang berdoa 
kepada Allah dengan benar untuk mendapatkan mati syahid, maka 
Allah akan menyampaikannya 
kepada kedudukan 
para syuhada walaupun 
dia mati di atas tempat tidur" 
(H.R. Muslim). 

Juga, di hadits yang lain disebutkan,
"Sebagian besar 
para syuhada dari umatku adalah mereka yang mati 
di tempat tidur" 
(H.R. Ibnu Mas’ud).

Oleh karena itu, 
ungkapan yang lebih tepat dalam menggambarkan 
arti syahid atau syuhada adalah ia yang memegang teguh kesaksian Allah 
atas penciptaan-Nya, 
kasih dan sayang-Nya, keagungan-Nya, 
penggelaran seluruh takdir dan asma-asma-Nya, fitrah-Nya. 
Ia menjadi tonggak 
kesaksian Tuhannya itu bahkan ketika hidup sampai di ujung maut sekalipun. Maka, barangkali dalam konteks inilah kita memahami sabda 
Rasulullah SAW 
bahwa 
"Orang yang terbunuh 
di jalan Allah adalah syahid, orang yang mati terkena wabah adalah syahid, dan seorang Ibu yang meninggal karena melahirkan anaknya adalah syahid, 
maka anaknya menariknya dengan tali pusar untuk masuk ke surga" 
(H.R. Ahmad).
[29/11 14:25] aji rasha: Abdi Allah: 

Sang Ksatria Raja
Terdapat beberapa petunjuk lain di dalam Al-Qur’an 
yang bisa menuntun kita kepada indikasi jawaban 
dari pertanyaan-pertanyaan mendasar dan maha penting tentang eksistensi manusia.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia 
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. – 
Q.S. Adz-Dzaariyaat [51]: 56

Ini adalah ayat 
yang sangat populer dan sungguh dalam maknanya. Kata ya’buduun 
di akhir ayat tersebut memang tak jarang diterjemahkan sebagai "beribadah kepada-Ku", namun kata tersebut memiliki arti 
inti yang lebih fundamental, yakni "mengabdi kepada-Ku" atau "menjadi abdi-Ku": 

suatu indikasi 
tentang sebuah peran 
yang disematkan baik kepada penciptaan jin maupun manusia.

Ayat tersebut menginformasikan bahwa manusia adalah 
sesosok makhluk 
yang diciptakan 
untuk menjadi abdi, dan bukan sembarang abdi: 
ia mengemban tugas dan misi suci dari 
Allah Rabb Al-Alamin.

Kita dapat merasakan 
sebuah redaksi penunjukan langsung di ayat tersebut: Allah Ta’ala mengatakan "abdi-Ku", bukan "abdi Kami" atau abdi siapa-siapa—

manusia, 
dalam ayat tadi adalah jelas “milik-Ku”. 

Manusia 
tidak membawa tugas kepelayanan tingkat dua atau tiga dari malaikat tertentu atau jin tertentu atau makhluk-makhluk lainnya. 

Manusia 
mengemban tugas suci langsung dari Allah Ta’ala, Sang Raja Diraja Semesta 
itu sendiri. 

Bila diibaratkan, 
manusia adalah 
para ksatria Raja, 
pelayan raja atau 
menteri dan 
abdi negara yang bertanggung jawab langsung kepada pucuk pimpinan tertingginya.

Masing-masing dari kita semua membawa misi suci dari Allah Ta’ala, 
tak satu pun terkecuali. Rasulullah SAW 
pernah bersabda bahwa "Tiap-tiap diri bekerja 
sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau menurut apa yang dimudahkan kepadanya." 
(H.R. Bukhari)

Tapi pernahkah kita merenungkan barang sejenak, 
di manakah kini 
para abdi Allah yang mulia itu? 

Bila kita manusia, 
jajaran para ksatria itu, apakah kita telah "lupa kepada kejadiannya; 
dan (malah) berkata: 'Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?'" 
(Q.S. Yaasiin [36]: 78). 

Apakah kita telah terjerumus ke dalam ke limbah nista dan nestapa, 
terbata-bata 
dalam kehidupan, 
lupa akan siapa dirinya dan tak tahu arah mana 
yang dituju? 
Adakah itu lantaran 
telah tertutup 
telinga, 
mata dan 
hati, 
hingga kita berperilaku "seperti hewan ternak bahkan lebih sesat lagi?" 
(Q.S. Al-A’raaf [7]: 179).

Namun terlepas 
dari semua "pembangkangan" itu, kita paham satu hal: bahwa ada sesuatu yang agung pada penciptaan manusia, 
masing-masing kita. 

Manusia, 
pada hakikatnya, 
adalah para saksi Allah, 
saksi atas kemaha-agungan-Nya, 
yang menjadi abdi-Nya, pelayan-Nya, 
ksatria-Nya dalam mengemban suatu tugas atau misi suci tertentu dari Allah Ta’ala.
[29/11 14:31] aji rasha: Khalifah di Muka Bumi

Ayat Al-Qur’an berikut ini menjelaskan lebih jauh seperti apa tugas atau 
misi yang diemban 
oleh kita manusia—
sebuah peran yang tidak dinisbatkan kepada malaikat, jin atau makhluk-makhluk lainnya.

وَإِذْ قَالَ رَ‌بُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْ‌ضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Ingatlah 
ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya 
Aku hendak menjadikan seorang khalifah 
di muka bumi.” 

Mereka berkata: 
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) 
di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” 

Tuhan berfirman: “Sesungguhnya 
Aku mengetahui apa 
yang tidak kamu ketahui.” – Q.S. Al-Baqarah [2]: 30

Di ayat tersebut, 
Allah menyebutkan 
di hadapan paraMalaikat-Nya tentang kepada siapa Dia embankan tugas atau 
misi kekhalifahan 
di muka bumi ini, yakni kepada Manusia.

Istilah khalifah 
di dalam bahasa Arab berarti "pemimpin", atau "wakil" atau "pengganti"—

yakni ia yang mewakili atau menggantikan suatu otoritas kepemimpinan tertentu, seperti halnya duta besar yang mewakili kepala pemerintahan suatu negara di luar negeri. 

Maka di sini, 
sebagai contoh, 
kita mengenal Khulafaur-Rasyidin, 
yang mengandung kata khulafa (jamak dari kata khalifa), 
yakni mereka yang menggantikan atau mewakili Rasulullah SAW 
sepeninggal Beliau sebagai pemimpin umat Islam.

Maka,"khalifah di muka bumi" pada ayat tersebut mengandung arti 
"pemimpin atau wakil Allah 
di muka bumi". 

Makna ini secara khusus tersirat pula di dalam sebuah ayat yang lain:

يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْ‌ضِ فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّـهِ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّـهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ

Hai Daud, 
sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah 
di muka bumi, 
maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan 
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, 
karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. – 
Q.S. Shaad [38]: 26

Mari kita renungkan baik-baik ayat yang sangat penting ini.

Mengapa Allah memerintahkan 
Nabi Daud a.s. agar 
"berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil" padahal bukankah Allah menyandang gelar Al-Hakim (salah satu dari 99 Asma al-Husna) dan 
Dia telah menyebut diri-Nya sebagai "yang memberi keputusan dan Hakim yang sebaik-baiknya"? 
(Q.S. Yunus [10]: 109). 

Jawabnya tentu, karena Allah telah "menjadikan khalifah"—dalam arti "mewakilkan suatu urusan" di muka bumi 
kepada manusia. 
Allah telah mewakilkan urusan kehakiman, 
urusan pemberian keputusan secara adil di kalangan 
Bani Israil kala itu 
kepada Nabi Daud a.s.
[29/11 14:37] aji rasha: Maka demikianlah, 
ketika menjadikan khalifah 
di muka bumi itu, 
Allah mewakilkan atau mengamanahkan 
suatu urusan kepada 
wakil pengganti (khalifah) tersebut—
dan itulah yang menjadi tugas atau misi spesifik 
yang diemban oleh 
seorang manusia 
sebagai khalifah.

Perhatikan 
bahwa tak hanya 
kepada Daud a.s., 
Allah pun menjadikan 
Musa a.s. sebagai khalifah bagi kaumnya di masa itu. 

Allah mewakilkan 
kepada tiap-tiap nabi masing-masing urusannya, termasuk kepada 
Rasulullah SAW 
sebagai manusia teragung, segel atau penutup kenabian (khatamun nabiyyin), dan uswatun hasanah, 
teladan terbaik bagi 
umat manusia.

Tiap-tiap diri kita 
adalah sebuah "instrumen" yang mewakili suatu urusan ('amr) yang spesifik—
di sebuah ruang waktu tertentu, atau situasi tertentu—sebagai perwujudan rancangan Allah menjadikan para wakil-Nya di muka bumi ini. 
Maka, sebagaimana Allah telah mewakilkan aspek Al-Hakim kepada Daud a.s., 

kepada masing-masing 
diri kita pun 
Allah telah sematkan—
dalam kadar tertentu—beberapa khazanah dari asma-asma-Nya itu, fitrah-Nya, 
untuk mendukung urusan kekhalifahan tersebut. "(Demikianlah) Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut Fitrah itu." 
(Q.S. Ar-Ruum [30]: 30), 

sebagaimana pula 
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan citra-Nya." 
(H.R. Bukhari, Muslim)
[29/11 14:41] aji rasha: Maka tidakkah kita 
memiliki rasa itu, 
menyadari bahwa 
tiap-tiap diri kita 
memiliki kompetensi 
yang berbeda-beda, 
kekuatan dan kekurangan, bidang-bidang yang mudah dikuasai dan 
bidang-bidang yang sulit? Masing-masing kita disematkan suatu "konfigurasi" yang unik 
dari citra-Nya, 
dari asma-asma-Nya, 
yang mengindikasikan 
suatu urusan yang Allah hendak wakilkan 
kepada masing-masing kita demi memakmurkan Bumi ini.

وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا ۚ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّـهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَـٰهٍ غَيْرُ‌هُ ۖ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ الْأَرْ‌ضِ وَاسْتَعْمَرَ‌كُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُ‌وهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَ‌بِّي قَرِ‌يبٌ مُّجِيبٌ

Dan kepada Tsamud 
(Kami utus) saudara mereka Shaleh. 
Shaleh berkata: 
“Hai kaumku, 
sembahlah Allah, 
sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. 
Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.” – 
Q.S. Huud [11]: 61

Maka, 
mari renungkan dalam-dalam tentang penciptaan manusia ini, 
penciptaan diri kita semua, para saksi Allah, 
yang berperan sebagai abdi-Nya, 
ksatria-Nya dalam mengemban suatu tugas atau misi suci tertentu 
dari Allah Ta’ala. 
Kita, yang dilengkapi sekian khazanah ilahiah 
yang disematkan ke dalam relung diri (nafs/jiwa) kita yang terdalam, 
sebagai wakil-Nya 
untuk sebuah urusan suci 
di muka bumi ini.

Ya, masing-masing kita.

Tiap-tiap diri bekerja 
sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau 
menurut apa yang dimudahkan kepadanya. – H.R. Bukhari

Resume

Manusia adalah 
makhluk Allah yang mengemban amanah 
dengan tugas istimewa, menjadi Khalifah, 
wakil-Nya di Bumi 
dengan urusan/misi khusus yang berbeda