[1/12 17:02] aji rasha:
Zuhud
Bukanlah
Meninggalkan Dunia
Zuhud secara bahasa memang berarti
"berpaling dari sesuatu"
dan merupakan salah satu ajaran Rasulullah SAW seperti termaktub dalam sebuah hadits,
"Zuhud-lah pada dunia,
Allah akan mencintaimu. Zuhud-lah pada apa yang ada di sisi manusia,
manusia pun akan mencintaimu."
(H.R. Ibnu Majah)
Tentu dimensi zuhud ini bukanlah sesuatu yang mengada-ada karena berpijak pada sebuah pedoman dasar seperti yang terungkap di begitu banyak ayat di dalam Al-Qur’an bahwa "Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal."
(Q.S. Al-Mu’min [40]: 39)
dan Allah memberi pahala yang besar kepada "orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat"
(Q.S. An-Nissa [4]: 74)
dalam arti:
mereka yang lebih mementingkan
kehidupan akhirat dibandingkan
kehidupan dunia.
Inilah prinsip dasar dari ajaran tentang zuhud.
Namun,
zuhud telah sering disalahartikan sebagai
corak kehidupan yang meninggalkan aspek-aspek duniawi
dan mengesampingkan urusan-urusan dunia.
Pemahaman ini tentu saja kurang tepat.
Bagaimana mungkin seorang salik yang ber-zuhud meninggalkan urusan-urusan dunianya
sementara ladang amal terbaik telah Allah sebarkan justru melalui kepayahan hidup di dunia?
Bagaimana mungkin
seorang suami atau bapak melalaikan tugas kerumahtanggaannya sementara Allah
telah berfirman
"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya."
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 233)?
Bagaimana mungkin
seorang salik menjalani hidup keruhanian dan meremehkan kehidupan pernikahan yang—seperti dijelaskan oleh
Rasulullah SAW—
justru merupakan
"separuh dari agama"?
Tentu, dalam mengarungi jalan pertaubatannya, seorang salik musti waspada terhadap berbagai hal
yang dapat melenakan dan melalaikannya dari mengingat Allah.
Di satu sisi,
Allah telah
"menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah
di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya."
(Q.S. Al-Mulk [67]: 15),
namun di sisi lain
Allah juga mewanti-wanti para hamba-Nya tentang "...kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu"
(Q.S. Al-Hadiid [57]: 20)
dan
"kesenangan yang memperdayakan"
(Q.S. Al-Imran [3]: 185).
Maka tentulah
pokok permasalahannya
di sini adalah
bagaimana membuat sikap yang tepat terhadap kehidupan dunia,
bagaimana mengambil "jarak" yang pas terhadap apa yang dijalaninya ini—
yang tidak "anti-dunia"
namun tidak juga tenggelam di dalamnya.
Bagaimana meletakkan dunia di tempat yang semestinya. Di sinilah,
ikhtiar dalam zuhud
yang sebenarnya.
Zuhud tidaklah dicapai dengan pergi ke gunung dan gua-gua demi menghindari masyarakat manusia dan meninggalkan pernik-pernik duniawi.
Zuhud adalah tidak mengisi hati/qalb-nya
dengan kecintaan terhadap dunia.
Zuhud adalah
sebuah sikap hidup
yang mengedepankan kehidupan akhirat
sebagai tujuan yang jauh lebih hakiki dari
kehidupan dunia yang sementara.
[1/12 17:05] aji rasha: Ber-zuhud adalah
memahami bahwasanya dunia hanyalah sebuah jembatan yang musti dilalui, sehingga tidak pada tempatnya bila membangun rumah-rumah kecintaan dunia di atas jembatan itu. Benarlah ungkapan Rasulullah SAW
di dalam sebuah hadits, "Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau musafir"
(H.R. Bukhari).
Bukankah seorang musafir menganggap kota persinggahannya
sekadar sebagai tempat sementara, dan
ia senantiasa dalam sebuah safar (perjalanan),
demi menempuh suatu jarak dari dunia ini yang mendekatkannya ke negeri akhirat?
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّـهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ ۚ أَرَضِيتُم بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآخِرَةِ ۚ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ
Hai orang-orang
yang beriman,
apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: "Berangkatlah di jalan Allah" kamu merasa berat
dan ingin tinggal di tempatmu?
Apakah kamu puas
dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan
di akhirat?
Padahal kenikmatan hidup
di dunia ini
(dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. –
Q.S. At-Taubah [9]: 38
[1/12 17:15] aji rasha: Senantiasa Menghadapkan Dirinya kepada Allah
Oleh karena itu,
menjadi Muslim
yang paripurna bagi seorang salik adalah
berjihad memperoleh
"inti sari" dari
ladang-ladang amal di dunia untuk mempersembahkan yang terbaik bagi
kehidupan di akhirat.
Ia berjuang membanting tulang mencari nafkah—bukan demi karir atau kedudukannya
di mata manusia—
melainkan karena itu adalah perintah Allah
terhadap keluarganya.
Jika ia menjadi pemimpin,
ia pun akan memimpin rakyatnya atau orang-orang yang dipimpinnya dengan rasa welas asih,
keadilan,
hikmah dan rasa takut akan Hari Pengadilan Akhir—
bukan agar nantinya dikenang sebagai pemimpin yang berhasil atau
yang dicintai rakyatnya—
tapi semata karena itulah perintah Allah
kepada setiap pemimpin.
Keridhaan Allah inilah
yang akan senantiasa menjadi tema sentral bagi kehidupan seorang salik—
di mana pun ia berada:
di kantor atau
di masjid,
ketika bekerja maupun dalam waktu ibadah,
di kala berdiri maupun
di saat sujud.
Kesenangan hidup
akan membuat hati
seorang Muslim dipenuhi rasa syukur kepada-Nya sekaligus harapan akan perlindungan-Nya
atas kesombongan dan ketidak pedulian
terhadap sesama yang
dapat menjerumuskannya
ke limbah nista.
Sementara kesulitan dan ujian kehidupan tidak akan membangkitkan keluh kesah karena ia tahu
Sang Pemilik Hidup
telah merancang "kurikulum" kehidupan dan
jalan yang terbaik baginya, dan justru akan membuat hati seorang salik
dipenuhi kekhusyuan
rasa harap akan
ampunan dan pertolongan-Nya.
Catatan Kaki:
1. Hadits yang dimaksud berbunyi sebagai berikut:
Dari Umar r.a.:
Ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah SAW,
suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan
berambut sangat hitam,
tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya.
Hingga kemudian dia duduk di hadapan Nabi
lalu menempelkan
kedua lututnya kepada lutut Rasulullah SAW
seraya berkata:
"Ya Muhammad,
beritahukan aku
tentang Islam",
maka bersabdalah
Rasulullah SAW:
"Islam adalah
engkau bersaksi bahwa
tidak ada ilah
(tuhan yang disembah) selain Allah,
dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah,
engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat,
puasa Ramadhan, dan
pergi haji jika mampu", kemudian dia berkata: "Engkau benar."
Kami semua heran,
dia yang bertanya namun dia pula yang membenarkan.
Kemudian orang itu bertanya lagi:
"Beritahukan aku tentang Iman".
Lalu Beliau SAW bersabda: "Engkau beriman
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan
hari akhir dan
engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk",
kemudian dia berkata: "Engkau benar."
Kemudian dia berkata lagi: "Beritahukan aku tentang Ihsan."
Lalu Beliau SAW bersabda: "Ihsan adalah
engkau beribadah
kepada Allah
seakan-akan engkau melihatnya,
jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau."
Kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian Rasulullah SAW bertanya:
"Tahukah engkau siapa
yang bertanya?"
Aku berkata:
"Allah dan Rasul-Nya
lebih mengetahui." Beliau SAW bersabda:
"Dia adalah Jibril
yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan Agama kalian“.
– H.R. Muslim
2. Dari sekian banyak rujukan para ulama, salah satunya bisa disebutkan yakni dari Ibnu Taymiyyah,
seorang ulama fiqh yang terkenal, di buku
Majmu'a Fatawa Ibn Taymiyya al-Kubra
bab mengenai "At-Tasawwuf", dimana beliau menyebutkan bahwasanya,
"(Tasawuf) ini adalah
istilah yang diberikan kepada mereka yang mempelajari ilmu tentang penyucian diri (tazkiyyat an-nafs) dan Al-Ihsan."
Resume
Bagi seorang salikQudusiyah, seorang muslim sejati
akan mencerminkan
ketiga dimensi Ad-Diin secara utuh dalam kehidupannya, yaitu
Islam (Syariat),
Iman (Cahaya), dan
Ihsan (Tasawuf, Syariat Batin).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar