[9/10 15:57] aji rasha:
PERBUATAN,
PASTI
MENIMBULKAN
“RESONANSI”
Demikianlah,
sebab pada dasarnya perilaku hidup itu
ibarat suara yang kita kumandang
akan menimbulkan gema,
artinya
apapun perbuatan kita kepada orang lain,
sejatinya akan berbalik mengenai diri kita sendiri.
Jika perbuatan kita baik pada orang lain,
maka akan menimbulkan “gema”
berupa kebaikan yang lebih besar
yang akan kita dapatkan dari orang lainnya lagi.
Hal ini dapat dipahami sebagaimana
dalam peribahasa; ·
Barang siapa menabur angin, akan menuai badai, Siapa menanam, akan mengetam, ·
Barang siapa gemar menolong,
akan selalu mendapatkan kemudahan, ·
Barang siapa gemar sedekah kepada yang susah, rejekinya akan menjadi lapang. ·
Orang pelit, pailit. ·
Pemurah hati, mukti.
PERILAKU TAPA BRATA
Idealnya,
setiap orang sepanjang hidupnya
dapat melaksanakan “tapa brata”
atau mesubudi,
menahan hawa nafsu,
yg mempunyai kesamaan dengan hakikat puasa
seperti di bawah ini;
1. Tapa/puasanya badan/raga;
harus anrogan;
rendah hati;
gemar berbuat baik.
2. Tapa/puasanya hati;
nerima apa adanya;
qonaah;
tak punya niat/
prasangka buruk,
tidak iri hati.
3. Tapa/puasanya nafsu;
ikhlas dan sabar
dalam menerima musibah,
serta memberi maaf kepada orang lain.
4. Tapa/ puasanya sukma;
jujur.
5. Tapa/puasanya rahsa;
mengerem sembarang kemauan, serta
kuat prihatin dan menderita.
6. Tapa/ puasanya cahya;
eneng-ening;
tirakat atau
bertapa dalam keheningan,
kebeningan, dan kesucian.
7. Tapa/ puasanya hidup (gesang);
eling (selalu sadar makro-mikrokosmos) dan
selalu waspada dari segala perilaku buruk.
Selain itu,
anggota badan (raga) juga memiliki tanggung jawab masing-masing sebagai wujud
dari hakikat puasa atau
tapa brata;
1. Tapa/puasanya netro/mata;
mencegah tidur, dan menutup mata
dari nafsu selalu ingin memiliki/menguasai.
2. Tapa/puasanya karno/telinga;
mencegah hawa nafsu, enggan mendengar. yang tak ada manfaatnya atau
yang buruk-buruk.
3. Tapa/puasanya grono/hidung;
mencegah sikap gemar membau, dan
enggan “ngisap-isap” keburukan orang lain.
4. Tapa/puasanya lisan/mulut;
mencegah makan, dan
tidak menggunjing keburukan orang lain.
5. Tapa/puasanya puruso/kemaluan;
mencegah syahwat,
tidak sembarangan ngentot/ ngewe/
senggama/zina.
6. Tapa/puasanya asto/tangan;
mencegah curi-mencuri, rampok, nyopet,
korupsi, dan tidak suka cengkiling;
jail dan menyakiti orang lain.
7. Tapa/puasanya suku/kaki;
mencegah langkah menuju perbuatan jahat, atau kegiatan negatif, tetapi harus gemar. berjalan sembari “semadi”
yakni berjalan sebari eling lan waspodo.
8.Tapa/maladi hening/mesu budi/
puasa seperti di atas dapat diumpamakan. dalam gaya bahasa personifikasi,
yang memiliki nilai falsafah yang sangat tinggi. dan mendalam sbb;
Katimbang turu, becik tangi.
Katimbang tangi, becik melek.
Katimbang melek, becik lungguh.
Katimbang lungguh, becik ngadeg.
Katimbang ngadeg, becik lumakuo”.
(Daripada tidur lebih baik bangun.
Daripada bangun lebih baik melek.
Daripada melek lebih baik duduk.
Daripada duduk lebih baik berdiri.
Daripada berdiri lebih baik melangkahlah)
Untuk meraih kesempurnaan dalam
melaksanakan tata laku di atas,
hendaknya setiap langkah kita
selalu eling dan waspada.
Agar supaya setelah menjadi manusia pinunjul tidak menjadi sombong dan takabur,
sebaliknya justru harus disembunyikan
semua kelebihan tersebut,
dan tidak kentara oleh orang lain,
sehingga setiap jengkal kelemahan
tidak memancing hinaan orang lain.
Untuk itu manusia pinunjul harus;
1. Solah bawa, harga diri,
perbuatan, harus selalu di jaga.
2. Keluarnya ucapan harus dibuat
yang mendinginkan,menyejukkan, dan
menentramkan lawan bicara.
3. Raut wajah yang manis,
penuh kelembutan dan kasih sayang.
Inilah sejatinya tata krama dalam ajaran Kejawen. Kesempurnaan dalam melaksanakan
langkah-langkah di atas, seyogyanya
menimbang situasi dan kondisi,
menimbang waktu dan tempat secara tepat,
tidak asal-asalan.
Karena sekalipun “isi” nya berkualitas,
tetapi bungkusnya jelek,
maka “isi” nya menjadi tidak berharga.
Dengan kata lain,
jangan mengabaikan (dugo prayoga) duga kira, bagaimana seharusnya yang baik.
Sebab sesempurnaanya manusia
tetap memiliki kekurangan atau kelemahan, sehingga manakala kele-mahan
dan kekurangan tersebut diketahui orang lain
tidak akan menjadi “batu sandungan”.
Seperti dalam ungkapan sebagai berikut;
1. Kusutnya pakaian;
tertutup oleh derajat (harga diri) yang luhur.
[9/10 16:05] aji rasha:
Terpelesetnya lidah,
tertutup oleh manisnya tutur kata.
Kecewanya warna,
tertutup oleh budi pekerti.
Cacadnya raga,
tertutup oleh air muka yang ramah.
Keterbatasan,
tertutup oleh sabar dan bijaksana.
Oleh karena itu,
meraih kesempurnaan dalam konteks ini diartikan kesempurnaan dalam melaksanakan tapa brata.
Kegagalan melaksanakan tapa brata,
dapat membawa manusia kepada zaman
“paniksaning gesang”
tidak lain adalah nerakanya dunia,
seperti di bawah ini;
1. Zamannya kemelaratan,
dimulai dari perilaku boros.
2. Zamannya menderita aib,
dimulai dari watak lupa
terlena, tanpa awas.
3. Zamannya kebodohan,
dimulai dari sikap malas
dan enggan.
4. Zamannya angkara,
dimulai dengan sikap mau
menang sendiri.
5. Zamannya sengsara,
dimulai dari perilaku yang
kacau.
6. Zamannya penyakit,
diawali dari kenyang
makan.
7. Zamannya kecelakaan,
diawali dari perbuatan
mencelakai orang lain.
Sebaliknya,
“ganjaraning gesang”
atau
“surganya dunia”,
lebih dari sekedar
kemuliaan hidup
itu sendiri,
yakni;
1. Zamannya keberuntungan,
awalnya dari sikap hati-hati, tidak ceroboh.
2. Zamannya kabrajan,
awalnya dari budi luhurdan belas kasih.
3. Zamannya keluhuran,
awalnya dari giat andap asor, sopan santun.
4. Zamannya kebijaksanaan,
awalnya dari telaten bibinau.
5. Zamannya kesaktian
(kasekten), awalnya dari puruita dan tapabrata.
6. Zamannya karaharjan
(ketentraman-keselamatan),
awalnya dari eling & waspada.
7. Zamannya kayuswan
(umur panjang),
awalnya sabar, qonaah,narimo, legowo, tapa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar