SHALAT/SEMBAHYANG DAIM
Selain dipaparkan di atas, sejalan dengan bertambahnya usia, seyogyanya hidup itu
sembari mencari cipta sasmita,
“tuah” atau petunjuk yang tumbuh jiwa yang matang dan dari dalam lubuk budi yang suci.
Pada dasarnya, tumbuhnya budi pekerti
(akhlak/ bebuden) yang luhur,
berasal dari tumbuhnya rasa eling,
tumbuhnya kebiasaan tapa,
tumbuhnya sikap hati-hati,
tumbuhnya “tidak punya rasa punya”,
tumbuhnya kesentausaan,
tumbuhnya kesadaran diri pribadi,
tumbuhnya “lapang dada”,
tumbuhnya ketenangan batin,
tumbuhnya sikap manembah (tawadhu’).
Pertumbuhan itu berkorelasi positif
atau sejalan dengan usia seseorang.
Akan tetapi, jika semakin lanjut usia seseorang akan tetapi perkembangannya
berbanding terbalik,
mempunyai korelasi negatif, yakni justru
memiliki tabiat dan karakter seperti anak kecil,
ia merupakan produk topobroto yang gagal.
Untuk mencegahnya tidak lain
harus selalu mencegah hawa nafsu,
serta mengupayakan dengan sungguh-sungguh untuk meraih kesempurnaan ilmu.
Begitu pentingnya hingga adalah “wewarah”
yang juga merupakan nasehat yang hiperbolis, sbb;
“Ageng-agenging dosa punika tiyang ulah
ilmu makripat ingkang magel.
Awit saking dereng kabuko ing pambudi,
dados boten superep ing sura osipun
” Bagi yang sudah lulus, dapat menerima
semua ilmu, tentu akan menemui kemuliaan
“sangkan paran ing dumadi” atau
“innalillahi wa innaillaihi rooji’un”.
Jadi tidak semuanya kita bisa mengucapkan
innalillahi wa innaillaihi rooji’un
kepada sembarang orang, karena belum tentu arwah orang tersebut akan kembali
kepada Allah ta’ala.
Siapa yang sunguh-sungguh
mengetahui Tuhannya,
sesungguhnya dapat mengetahui
di dalam badanya sendiri.
Siapa yang sungguh-sungguh
mengetahui badannya sendiri
sesungguhnya mengetahui Tuhannya.
Artinya
siapa yang mengetahuiTuhannya,
ia lah yang mengetahui semua ilmu kajaten (makrifat).
Siapa yang sunguh-sungguh
mengetahui sejatinya badannya sendiri,
ia lah yang dapat mengetahui akan
hidup jiwa raganya sendiri.
Kita harus selalu ingat bahwa
hidup ini tidak akan menemui sejatinya “ajal”,
sebab
kematian hanyalah terkelupasnya isi dari kulit.
“Isi” badan melepas “kulit” yang telah rusak,
kemudian “isi” bertugas melanjutkan perjalanan ke alam keabadian.
Hanya raga yang suci
yang tidak akan rusak dan mampu menyertai perjalanan “isi”.
Sebab raga yang suci,
berada dalam gelombang Dzat Illahi
yang Maha Abadi.
Maka dari itu,
jangan terputus dalam lautan “manembah” kepada
Gusti Pangeran Ingkang Sinembah.
Agar supaya menggapai “peleburan” tertinggi,
lebur dening pangastuti; yakni raga dan jiwa melebur ke dalam Cahaya yang Suci;
di sanalah manusia dan Dzat menyatu
dalam irama yang sama; yakni
manunggaling kawulo gusti.
Dengan sarana selalu mengosongkan
panca indra, serta menyeiramakan diri
pada Sariraning Bathara,
Dzat Yang Maha Agung,
yang disebut sebagai
“PANGABEKTI INGKANG LANGGENG”
(shalat dhaim) sujud,
manembah (shalat)
tanpa kenal waktu, sambung-menyambung
dalam irama nafas,
selalu eling dan
menyebut Dzat Yang serba Maha.
Adalah ungkapan;
“salat ngiras nyambut damel,
lenggah sinambi lumampah,
lumajeng salebeting kendel,
ambisu kaliyan wicanten,
kesahan kaliyan tilem,
tilem kaliyan melek”.
(sembahyang sambil bekerja,
duduk sambil berjalan,
berjalan di dalam diam,
membisu dengan bicara,
bepergian dengan tidur,
tidur sembari melek).
Jika ajaran ini dilaksanakan
secara sungguh-sungguh,
berkat Tuhan Yang Maha Wisesa,
setiap orang dapat meraih
kesempurnaan Waluyo Jati,
Paworing Kawulo Gusti,
TIDAK TERGANTUNG APA AGAMANYA.
Adapun doa iftitahnya adalah sebagai berikut:
Niyat Ingsun Salat Daim,
kanggo ing salawase uripingsun.
Adege iku iya uripingsun;
rukuke iya paningalingsun;
iktidale iya pamiyarsaningsun;
sujude iya pangambungingsun;
wawacaning ayat iya pangucapingsun;
lungguhe iya tetepe imaningsun;
tahiyate iya mantepe tauhid ingsun;
salame iya makrifat Islamingsun;
Pepujianing iya panjing wetune napasingsun;
dikire iya awas elingingsun;
keblate iya madhep marang eneng eningingsun.
Perlu nglakoni wajib saka kodrat iradatingsun dhewe.
Niyat Ingsun salat Daim,
untuk selama-lamanya hidup Ingsun.
Berdirinya itu ya hidup ingsun;
Rukunya ya penglihatan Ingsun;
I’tidalnya ya pendengaran Ingsun;
Sujudnya ya penciuman Ingsun;
Bacaan ayatnya ya ucapa Ingsun;
Duduknya ya tetapnya Iman Ingsun;
Atahiyatnya ya mantabnya tauhid Ingsun;
Salamnya ya makrifat Islam Ingsun;
Doanya ya masuk-keluarnya nafas Ingsun;
Dzikirnya ya kesadaran Ingsun;
Kiblatnya ya menghadap kepada diam
dan hening Ingsun.
Perlu menjalani kewajiban oleh kare-na
Qudrat dan Iradat Ingsun sendiri.
Setiap bangun tidur bagi yang sudah mampu mengheningkan batinnya,
seyogyanya membaca iftitah
seperti tersebut di atas dalam batin.
Usai mengucapkan iftitah
berpasrahlah kepada Dzat
dengan sebenar-benarnya pasrah
dan senantiasa mengamati gejolak batin Anda
di manapun Anda berada.
Jika Anda sudah mampu mengheningkan batin dalam kondisi apapun,
sekaligus mampu mengamati dan menyadari dengan benar seluruh gejolak pikiran Anda sendiri, itu berarti
Anda telah menjalani Salat Daim,
inilah sejatinya salat.
Salat yang tidak dibatasi oleh waktu.
Tidak menghitung rakaat,
hanya senantiasa sadar akan gejolak
batinnya sendiri.
Salat sembari bekerja.
Menjalani pekerjaan sembari salat.
Duduk atau berjalan, berjalan dan berjongkok.
Berlari atau dalam diam.
Membisu serta berkata-kata.
Pergi serta tidur.
Tidur ataupun terjaga.
Bagi seorang pelaku spiritual
yang sudah mahir melakukan shalat Daim,
pada titik tertentu dia akan mampu menggapai daya kekuatan Dzat Yang Maha Suci.
Istilah yang kerap dipakai oleh penganut Kejawen adalah
angampil wewenanging Dat
(meminjam wewenang Dzat).
Apa yang hendak dipinjam?
Tak lain Daya kekuatan wewenang-Nya.
Jika daya ini mampu diperoleh,
maka hidupnya akan membuahkan
ketentraman, kewaskitaan, kebijaksanaan,
serta akan ditakuti oleh seluruh mahkluk halus.
Daya dari Dzat ini,
termasuk daya yang sangat luhur,
karena hanya bertujuan untuk keselamatan semata.
Tanda-tanda daya ini akan berhasil diraih adalah:
Jika bermeditasi duduk,
kesadaran mendadak masuk ke dalam
liyep layaping ngalayut yaitu
kondisi kesadaran yang mencecap pengalaman mirip sesorang lesatan mimpi dalam kondisi terjaga.
Dengan kata lain mirip kondisi orang yang tidur pulas tetapi tetap terjaga.
Dalam kondisi seperti ini,
kesadaran kita akan terasa meliuk
seperti ayunan pendulum.
Itulah saat yang sangat dinanti-nantikan.
Jangan kaget dan jangan takut.
Ikuti saja liukan kesadaran tersebut
karena sudah tiba waktunya wahyu turun.
Liukan itu adalah pertanda akan
bergantinya alam.
Jika kita memang mendapat anugerah,
segera saja akan tampak cahaya
berwarna biru muda
dan kita akan bertemu dengan
Ingsun kita sendiri,
yaitu Sang Dewa Ruci.
Sang Dewa Ruci tak lain adalah
Urip kita,
Hidup kita,
Roh Kudus kita,
Hayyu kita,
Sajaratul Yaqin kita,
Atma kita,
Diri Sejati kita sendiri.
Jika sudah mendapat anugerah bertemu
dengan Diri sejati,
maka buah ketentraman dan kebijaksanaan
akan kita dapatkan.
Bahkan kemampuan-kemampuan
adi kodrati akan bisa kita peroleh begitu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar