[1/12 20:13] aji rasha:
Istilah
"Syari'ah" dan "Thariqah" dalam Al-Qur'an
Ditulis pada: 18 Oktober 2019 | Oleh: Watung Arif Budiman
Istilah "syari'ah"
diambil dari akar kata "sy-r-'(ain)".
Lima kali disebutkan
di dalam Al-Qur'an.
Empat kalinya dalam konteks sebuah penetapan
"aturan agama"
seperti dalam redaksi di ayat berikut:
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ
Dia telah mensyari'atkan
bagi kamu tentang Ad-Diin, apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu
dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa. –
(Q.S. Asy-Syuura [42]: 13)
Satu kalinya adalah
tentang ikan-ikan yang "syurra'an" di Hari Sabat
(Q.S. [7]:163)
dalam kisah Bani Israil — yang diterjemahkan sebagai "bermunculan ke permukaan".
Sementara "thariqah"
diambil dari akar kata
"th-r-q",
dan 11 kali Al-Qur'an menyebutnya melalui
tiga konteks makna.
Pertama,
tentang sebuah
"jalan khusus",
seperti ketika Nabi Musa a.s. dan umatnya menyusuri jalan kering yang membelah
Laut Merah.
وَلَقَدْ أَوْحَيْنَآ إِلَىٰ مُوسَىٰٓ أَنْ أَسْرِ بِعِبَادِى فَٱضْرِبْ لَهُمْ طَرِيقًا فِى ٱلْبَحْرِ يَبَسًا لَّا تَخَٰفُ دَرَكًا وَلَا تَخْشَىٰ
Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa:
"Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku
(Bani Israil) di malam hari, maka buatlah untuk mereka 'thariqan fil-bahryabasan'
(jalan yang kering di laut) itu, kamu tak usah khawatir
akan tersusul dan
tidak usah takut
(akan tenggelam)". –
(Q.S. Thaa-Haa [20]: 77)
kedua,
"thariqatukum",
yang merujuk pada suatu tata cara khusus dari Fir'aun
(Q.S. [20]:63).
ketiga,
dan cukup menarik,
adalah tentang "thariq"
di Surah Ath-Thariq
(QS 86:1-2).
وَٱلسَّمَآءِ وَٱلطَّارِقِ
وَمَآ أَدْرَىٰكَ مَا ٱلطَّارِقُ
Demi langit dan ath-thaariq. Tahukah kamu apa ath-thaariq itu?
(Q.S. Ath-Thaariq [86]: 1 - 2)
Penerjemah Hilali & Khan membiarkan kata "thariq"
apa adanya di surah ini. Sementara para penerjemah lain, termasuk
Kemenag/Depag, mengartikannya sebagai sesuatu
"yang datang di malam hari". Al-Qur'an menjelaskan di ayat selanjutnya, bahwa itu adalah "an-najm tsaqib" —
bintang yang cahayanya menembus.
ٱلنَّجْمُ ٱلثَّاقِبُ
(yaitu) bintang
yang cahayanya menembus. (Q.S. Ath-Thaariq [86]: 3)
[1/12 20:21] aji rasha: Dari beberapa kasus ini,
kita dapat menangkap kesan makna "th-r-q"
yang senada: yakni,
tentang jalan atau
tata cara yang khusus,
jalan yang spesifik
untuk menembus sesuatu, seperti jalan yang melintasi lautan
di kisah Nabi Musa a.s.,
atau
jalan cahaya
yang menembus kegelapan malam
seperti di Surah Ath-Thaariq.
Para perancang sipil
di negeri-negeri Arab juga membedakan 2 jenis jalan ini: "syari'" dan "thariq".
Syari' seperti Syari'ul-Andalus (Andalus Street)
di Saudi Arabia, misalnya, adalah jalan yang ramai dikunjungi publik,
yang di kiri-kanannya
banyak pertokoan dan berbagai aktivitas warga.
Sementara thariq seperti Thariqul Maliki Fahd
(King Fahd Road) adalah sebuah jalan panjang
yang lebih sepi,
yang menembus
padang pasir, bahkan perairan Teluk Bahrain, dan khusus dilalui oleh mereka yang ingin pergi ke Bahrain atau daerah-daerah sekitar.
Syari'ah,
dengan begitu,
lebih bernuansakan
sebuah tata aturan
yang umum,
jalan ramai bagi
banyak orang,
yang jelas tampak
di permukaan (syurra'an): sebuah "public open space", yang semua orang bisa mendatangi dan melaluinya dengan mudah.
Sementara thariqah
bersifat lebih khusus,
untuk mencapai sesuatu.
Pohon Syari'ah
"Syari'ah adalah
batang pohon,
thariqah adalah cabang-cabangnya,
ma'rifah dedaunannya, dan
haqiqah adalah buahnya." — Rasulullah SAW.
Kesan serupa juga
kita rasakan
tatkala membaca sebuah hadits yang dinukil dari
buku Sirrul Asrar.
Beliau SAW mengatakan:
"Syari'ah
adalah batang pohon,
thariqah
adalah cabang-cabangnya,
ma'rifah
dedaunannya,
haqiqah
adalah buahnya.
Sebuah
batang pohon syari'ah
yang besar dan kokoh, membentuk jalan khusus
thariqah yang merentang
ke langit, demi terbentuknya dedaunan
ma'rifah
(pengenalan dan penghadapan yang tulus
ke arah Sang Cahaya), sehingga bisa berfoto-sintesis menghasilkan buah haqiqah.
Dari sini kita mafhum, sebuah pohon tidak berhenti pada batang syari'ahnya,
atau selesai hanya
di cabang thariqah-nya.
Ia melaju terus
membentuk daun, dan menjadi pohon yang utuh dan dinamai orang sebagai mana buahnya.
Buah-buahan segar
yang pada akhirnya dipersembahkannya kepada semesta di bawahnya,
bukan untuk dirinya sendiri. Bukankah begitu?
Wallahu'alam.
[1/12 20:53] aji rasha: Apakah
Tasawuf dan Thariqah itu Bid'ah?
Ditulis pada: 02 Februari 2018 | Oleh: Staf Redaksi
Setelah melalui ulasan
yg panjang tentang tasawuf sejak masa Rasulullah SAW hingga di masa
sufi-sufi besar,
Prof. Dr. Hamka menuliskan di bagian akhir bukunya bahwasanya
"Tasawuf Islam
adalah bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah itu sendiri."
Demikianlah kesimpulan sang ulama ternama,
yang di negeri kita akrab dipanggil Buya Hamka ini, sebagaimana kita baca dalam buku beliau
Tasawuf:
Perkembangan dan Pemurniannya.
Adanya tuduhan bid'ah terhadap tasawuf,
sebagian besar adalah karena kesalah pahaman, atau memang karena adanya beberapa praktik yang menyimpang di suatu majelis atau kelompok tertentu — yang tentu tidak hanya bisa terjadi di tasawuf saja, melainkan juga di berbagai dimensi keislaman lainnya.
Tasawuf
bukanlah sesuatu
yang terpisah dari agama. Tasawuf
adalah dimensi batin
dari agama,
yakni aspek Ihsan
dari tiga aspek besar yang membentuk Diin Al-Islam secara utuh:
Iman (tauhid),
Islam (syariat) dan
Ihsan (tasawuf, atau akhlaq).
Sementara
thariqah sendiri adalah sebuah metode khusus dalam ilmu tasawuf
dan jalan pertaubatan,
jalan kembali kepada
Allah Ta'ala,
melalui penyucian jiwa (tazkiyatun nafs),
penjagaan hati (qalb) dari hal-hal yang mengotorinya, disertai laku suluk yang berbeda-beda di masing-masing thariqah dengan panduan ketat seorang mursyid yang haqq.
Tasawuf
Menurut Para Ulama Syariat
Banyak dari
para ulama syariat atau
ilmu fiqh ternama,
para mufassir, termasuk
para imam dari
empat mazhab Ahlus Sunnah adalah
para pemerhati yang simpatik bahkan pengamal tasawuf.
Imam Syafi'i pernah berkata: "Tiga hal yang aku dibuat senang dengannya, yaitu: tidak berpura-pura, memperlakukan orang lain dengan baik, dan
mengikuti jalan tasawuf" —
sebagaimana tertulis dalam kitab Kasyf Al-Khafa dari Al-'Ajluni.
Demikian pula dengan
Imam Malik
yang bahkan secara lugas mengatakan,
"Barangsiapa bertasawuf tanpa syariat,
maka ia telah zindiq (menampakkan keislaman, tapi menyembunyikan kekafiran).
Dan barangsiapa bersyariat tanpa tasawuf,
maka ia telah fasiq. Barangsiapa yang melakukan keduanya, akan memperoleh kebenaran" —
sebagaimana diriwayatkan oleh beberapa muhadits.
Majmu'a Fatwa
Ibnu Taymiyah, yang dijuluki "Syaikhul Islam",
menulis dalam
Majmu'a Fatwa bahwa: "Istilah tasawuf
ditujukan kepada ilmu-ilmu yang terkait dengan penyucian jiwa
(tazkiyatun nafs) dan Al-Ihsan."
Ibnu Taymiyah,
seorang ulama besar syariat yang dijuluki "Syaikhul Islam", dan termasuk ulama
yang sangat getol dalam memerangi bid'ah
pada jamannya,
pernah menuliskan dalam Majmu'a Fatwa bahwa: "Istilah tasawuf
ditujukan kepada ilmu-ilmu yang terkait dengan penyucian jiwa
(tazkiyatun nafs) dan Al-Ihsan."
Lalu, lanjut beliau pula, "As-sufi huwa fil haqiqa nau'un min as-siddiqin.
Fa huwa as-siddiq alladzi ikhtassa bil zuhadi wal 'ibada," —
Sufi pada hakikatnya adalah termasuk siddiq
(jalan kebenaran), yakni siddiq yang mengkhususkan diri pada zuhud dan ibadah.
Ibnu Taymiyah juga sempat menuliskan sebuah syarh (ulasan, tinjauan)
yang panjang dan
penuh simpatik terhadap buku Futuh Al-Ghaib dari Abdul Qadir Al-Jailani, seorang sufi besar dan mursyid pendiri
Thariqah Qadiriyah.
Syariat
Menurut Para Ulama Tasawuf
Di sisi lain,
bagaimana pandangan para ulama tasawuf
sendiri terhadap syariat?
Junaid al-Baghdadi,
seorang sufi besar yang hidup di abad ke-9 M,
beliau dijuluki
"Sulthanul Thariqah"
karena menjadi
"penghulu" dari banyak
garis thariqah
yang berkembang di
seluruh dunia
(yang diistilahkan sebagai "Tasawuf Baghdadi").
Ketika ditanya tentang sebuah kelompok yang merasa telah melampaui tahapan syariat,
dan masuk ke tingkatan wasil (orang yg sudah mencapai)
sehingga mereka tidak lagi membutuhkan syariat,
beliau menjawab:
"Benar, mereka telah wasil, tapi wasil ke neraka!"
Demikianlah, bagi
seorang sufi besar seperti Junaid:
syariat dan tasawuf
tak mungkin dipisahkan.
Kita juga mengenal tokoh-tokoh sufi seperti Imam Al-Ghazali dan
Ibnu Atha'illah
sebagai ulama
yang tidak hanya menekuni ilmu tasawuf,
melainkan juga
ilmu fiqh.
Ibnu Atha'illah misalnya,
sang penulis Al-Hikam,
Tajul 'Arus,
dan berbagai kitab rujukan yang banyak dikaji di berbagai pesantren kita itu, selain sebagai
mursyid ThariqahSyadziliyah,
adalah juga
seorang ulama syariat dan pengajar ternama
di Masjid Al-Azhar, Mesir.
Dan seperti itu pulalah pandangan para sufi besar lainnya, seperti
Abu Sulaiman al-Darani, Ibrahim bin Adham,
Ma'ruf al-Kharkhi,
Abdul Qadir Al-Jailani, Hammad al-Dabbas,
Abu al-Bayan
dan masih banyak lagi
yang lain —
di mana bahkan
Ibnu Taymiyah sendiri, dalam Majmu'a Fatwa,
menjuluki mereka sebagai "masyaikhul Islam, masyaikhul Kitab
wal Sunnah,
wal a'immatul huda",
yakni para syaikh Islam, syaikh Kitabullah dan Sunnah,
para imam yang memberikan petunjuk dengan benar, bersih lantaran ucapan dan tindakannya tidak pernah bertolak belakang dengan Al-Qur'an dan Sunnah,
serta selaras dengan syariat.
[1/12 20:54] aji rasha: Ini semua hanya
beberapa gelintir bukti
dari suatu "sinergi"
yang tak terpisahkan antara syariat dan tasawuf
dalam penegakan
Diin Al-Islam
yang semurni-murninya
di kalangan
para ulama syariat maupun para ulama tasawuf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar