Rabu, 01 Desember 2021

Istilah "Syari'ah" dan "Thariqah" dalam Al-Qur'an

[1/12 20:13] aji rasha: 

Istilah 
"Syari'ah" dan "Thariqah" dalam Al-Qur'an

Ditulis pada: 18 Oktober 2019 | Oleh: Watung Arif Budiman

Istilah "syari'ah" 
diambil dari akar kata "sy-r-'(ain)". 
Lima kali disebutkan 
di dalam Al-Qur'an. 
Empat kalinya dalam konteks sebuah penetapan 
"aturan agama" 
seperti dalam redaksi di ayat berikut:

شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ

Dia telah mensyari'atkan 
bagi kamu tentang Ad-Diin, apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu 
dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa. – 
(Q.S. Asy-Syuura [42]: 13)

Satu kalinya adalah 
tentang ikan-ikan yang "syurra'an" di Hari Sabat 
(Q.S. [7]:163) 
dalam kisah Bani Israil — yang diterjemahkan sebagai "bermunculan ke permukaan".

Sementara "thariqah" 
diambil dari akar kata 
"th-r-q", 
dan 11 kali Al-Qur'an menyebutnya melalui 
tiga konteks makna. 

Pertama, 
tentang sebuah 
"jalan khusus", 
seperti ketika Nabi Musa a.s. dan umatnya menyusuri jalan kering yang membelah 
Laut Merah.

وَلَقَدْ أَوْحَيْنَآ إِلَىٰ مُوسَىٰٓ أَنْ أَسْرِ بِعِبَادِى فَٱضْرِبْ لَهُمْ طَرِيقًا فِى ٱلْبَحْرِ يَبَسًا لَّا تَخَٰفُ دَرَكًا وَلَا تَخْشَىٰ

Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: 
"Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku 
(Bani Israil) di malam hari, maka buatlah untuk mereka 'thariqan fil-bahryabasan' 
(jalan yang kering di laut) itu, kamu tak usah khawatir 
akan tersusul dan 
tidak usah takut 
(akan tenggelam)". – 
(Q.S. Thaa-Haa [20]: 77)

kedua, 
"thariqatukum", 
yang merujuk pada suatu tata cara khusus dari Fir'aun 
(Q.S. [20]:63). 

ketiga, 
dan cukup menarik, 
adalah tentang "thariq" 
di Surah Ath-Thariq 
(QS 86:1-2).

وَٱلسَّمَآءِ وَٱلطَّارِقِ

وَمَآ أَدْرَىٰكَ مَا ٱلطَّارِقُ

Demi langit dan ath-thaariq. Tahukah kamu apa ath-thaariq itu? 
(Q.S. Ath-Thaariq [86]: 1 - 2)

Penerjemah Hilali & Khan membiarkan kata "thariq" 
apa adanya di surah ini. Sementara para penerjemah lain, termasuk 
Kemenag/Depag, mengartikannya sebagai sesuatu 
"yang datang di malam hari". Al-Qur'an menjelaskan di ayat selanjutnya, bahwa itu adalah "an-najm tsaqib" — 
bintang yang cahayanya menembus.

ٱلنَّجْمُ ٱلثَّاقِبُ

(yaitu) bintang 
yang cahayanya menembus. (Q.S. Ath-Thaariq [86]: 3)
[1/12 20:21] aji rasha: Dari beberapa kasus ini, 
kita dapat menangkap kesan makna "th-r-q" 
yang senada: yakni, 
tentang jalan atau 
tata cara yang khusus, 
jalan yang spesifik 
untuk menembus sesuatu, seperti jalan yang melintasi lautan 
di kisah Nabi Musa a.s., 
atau 
jalan cahaya 
yang menembus kegelapan malam 
seperti di Surah Ath-Thaariq.

Para perancang sipil 
di negeri-negeri Arab juga membedakan 2 jenis jalan ini: "syari'" dan "thariq". 

Syari' seperti Syari'ul-Andalus (Andalus Street) 
di Saudi Arabia, misalnya, adalah jalan yang ramai dikunjungi publik, 
yang di kiri-kanannya 
banyak pertokoan dan berbagai aktivitas warga. 

Sementara thariq seperti Thariqul Maliki Fahd 
(King Fahd Road) adalah sebuah jalan panjang 
yang lebih sepi, 
yang menembus 
padang pasir, bahkan perairan Teluk Bahrain, dan khusus dilalui oleh mereka yang ingin pergi ke Bahrain atau daerah-daerah sekitar.

Syari'ah, 
dengan begitu, 
lebih bernuansakan 
sebuah tata aturan 
yang umum, 
jalan ramai bagi 
banyak orang, 
yang jelas tampak 
di permukaan (syurra'an): sebuah "public open space", yang semua orang bisa mendatangi dan melaluinya dengan mudah.

Sementara thariqah 
bersifat lebih khusus, 
untuk mencapai sesuatu.

Pohon Syari'ah
"Syari'ah adalah 
batang pohon, 

thariqah adalah cabang-cabangnya, 

ma'rifah dedaunannya, dan 

haqiqah adalah buahnya." — Rasulullah SAW.

Kesan serupa juga 
kita rasakan 
tatkala membaca sebuah hadits yang dinukil dari 
buku Sirrul Asrar. 
Beliau SAW mengatakan: 

"Syari'ah 
adalah batang pohon, 

thariqah 
adalah cabang-cabangnya, 

ma'rifah 
dedaunannya, 

haqiqah 
adalah buahnya.

Sebuah 
batang pohon syari'ah 
yang besar dan kokoh, membentuk jalan khusus 

thariqah yang merentang 
ke langit, demi terbentuknya dedaunan 

ma'rifah 
(pengenalan dan penghadapan yang tulus 
ke arah Sang Cahaya), sehingga bisa berfoto-sintesis menghasilkan buah haqiqah.

Dari sini kita mafhum, sebuah pohon tidak berhenti pada batang syari'ahnya, 
atau selesai hanya 
di cabang thariqah-nya. 
Ia melaju terus 
membentuk daun, dan menjadi pohon yang utuh dan dinamai orang sebagai mana buahnya.

Buah-buahan segar 
yang pada akhirnya dipersembahkannya kepada semesta di bawahnya, 
bukan untuk dirinya sendiri. Bukankah begitu?

Wallahu'alam.
[1/12 20:53] aji rasha: Apakah 
Tasawuf dan Thariqah itu Bid'ah?

Ditulis pada: 02 Februari 2018 | Oleh: Staf Redaksi

Setelah melalui ulasan 
yg panjang tentang tasawuf sejak masa Rasulullah SAW hingga di masa 
sufi-sufi besar, 
Prof. Dr. Hamka menuliskan di bagian akhir bukunya bahwasanya 
"Tasawuf Islam 
adalah bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah itu sendiri." 

Demikianlah kesimpulan sang ulama ternama, 
yang di negeri kita akrab dipanggil Buya Hamka ini, sebagaimana kita baca dalam buku beliau 

Tasawuf: 
Perkembangan dan Pemurniannya.

Adanya tuduhan bid'ah terhadap tasawuf, 
sebagian besar adalah karena kesalah pahaman, atau memang karena adanya beberapa praktik yang menyimpang di suatu majelis atau kelompok tertentu — yang tentu tidak hanya bisa terjadi di tasawuf saja, melainkan juga di berbagai dimensi keislaman lainnya.

Tasawuf 
bukanlah sesuatu 
yang terpisah dari agama. Tasawuf 
adalah dimensi batin 
dari agama, 
yakni aspek Ihsan 
dari tiga aspek besar yang membentuk Diin Al-Islam secara utuh: 
Iman (tauhid), 
Islam (syariat) dan 
Ihsan (tasawuf, atau akhlaq).

Sementara 
thariqah sendiri adalah sebuah metode khusus dalam ilmu tasawuf 
dan jalan pertaubatan, 
jalan kembali kepada 
Allah Ta'ala, 
melalui penyucian jiwa (tazkiyatun nafs), 
penjagaan hati (qalb) dari hal-hal yang mengotorinya, disertai laku suluk yang berbeda-beda di masing-masing thariqah dengan panduan ketat seorang mursyid yang haqq.

Tasawuf 
Menurut Para Ulama Syariat
Banyak dari 
para ulama syariat atau 
ilmu fiqh ternama, 
para mufassir, termasuk 
para imam dari 
empat mazhab Ahlus Sunnah adalah 
para pemerhati yang simpatik bahkan pengamal tasawuf. 

Imam Syafi'i pernah berkata: "Tiga hal yang aku dibuat senang dengannya, yaitu: tidak berpura-pura, memperlakukan orang lain dengan baik, dan 
mengikuti jalan tasawuf" — 

sebagaimana tertulis dalam kitab Kasyf Al-Khafa dari Al-'Ajluni. 

Demikian pula dengan 
Imam Malik 
yang bahkan secara lugas mengatakan, 
"Barangsiapa bertasawuf tanpa syariat, 
maka ia telah zindiq (menampakkan keislaman, tapi menyembunyikan kekafiran). 
Dan barangsiapa bersyariat tanpa tasawuf, 
maka ia telah fasiq. Barangsiapa yang melakukan keduanya, akan memperoleh kebenaran" — 
sebagaimana diriwayatkan oleh beberapa muhadits.

Majmu'a Fatwa
Ibnu Taymiyah, yang dijuluki "Syaikhul Islam", 
menulis dalam 
Majmu'a Fatwa bahwa: "Istilah tasawuf 
ditujukan kepada ilmu-ilmu yang terkait dengan penyucian jiwa 
(tazkiyatun nafs) dan Al-Ihsan."

Ibnu Taymiyah, 
seorang ulama besar syariat yang dijuluki "Syaikhul Islam", dan termasuk ulama 
yang sangat getol dalam memerangi bid'ah 
pada jamannya, 
pernah menuliskan dalam Majmu'a Fatwa bahwa: "Istilah tasawuf 
ditujukan kepada ilmu-ilmu yang terkait dengan penyucian jiwa 
(tazkiyatun nafs) dan Al-Ihsan." 

Lalu, lanjut beliau pula, "As-sufi huwa fil haqiqa nau'un min as-siddiqin. 
Fa huwa as-siddiq alladzi ikhtassa bil zuhadi wal 'ibada," — 
Sufi pada hakikatnya adalah termasuk siddiq 
(jalan kebenaran), yakni siddiq yang mengkhususkan diri pada zuhud dan ibadah. 

Ibnu Taymiyah juga sempat menuliskan sebuah syarh (ulasan, tinjauan) 
yang panjang dan 
penuh simpatik terhadap buku Futuh Al-Ghaib dari Abdul Qadir Al-Jailani, seorang sufi besar dan mursyid pendiri 
Thariqah Qadiriyah.

Syariat 
Menurut Para Ulama Tasawuf
Di sisi lain, 
bagaimana pandangan para ulama tasawuf 
sendiri terhadap syariat?

Junaid al-Baghdadi, 
seorang sufi besar yang hidup di abad ke-9 M, 
beliau dijuluki 
"Sulthanul Thariqah" 
karena menjadi 
"penghulu" dari banyak 
garis thariqah 
yang berkembang di 
seluruh dunia 
(yang diistilahkan sebagai "Tasawuf Baghdadi"). 

Ketika ditanya tentang sebuah kelompok yang merasa telah melampaui tahapan syariat, 
dan masuk ke tingkatan wasil (orang yg sudah mencapai) 
sehingga mereka tidak lagi membutuhkan syariat, 
beliau menjawab: 
"Benar, mereka telah wasil, tapi wasil ke neraka!"

Demikianlah, bagi 
seorang sufi besar seperti Junaid: 
syariat dan tasawuf 
tak mungkin dipisahkan.

Kita juga mengenal tokoh-tokoh sufi seperti Imam Al-Ghazali dan 
Ibnu Atha'illah 
sebagai ulama 
yang tidak hanya menekuni ilmu tasawuf, 
melainkan juga 
ilmu fiqh. 

Ibnu Atha'illah misalnya, 
sang penulis Al-Hikam, 
Tajul 'Arus, 
dan berbagai kitab rujukan yang banyak dikaji di berbagai pesantren kita itu, selain sebagai 
mursyid ThariqahSyadziliyah, 
adalah juga 
seorang ulama syariat dan pengajar ternama 
di Masjid Al-Azhar, Mesir.

Dan seperti itu pulalah pandangan para sufi besar lainnya, seperti 
Abu Sulaiman al-Darani, Ibrahim bin Adham, 
Ma'ruf al-Kharkhi, 
Abdul Qadir Al-Jailani, Hammad al-Dabbas, 
Abu al-Bayan 
dan masih banyak lagi 
yang lain — 

di mana bahkan 
Ibnu Taymiyah sendiri, dalam Majmu'a Fatwa, 
menjuluki mereka sebagai "masyaikhul Islam, masyaikhul Kitab 
wal Sunnah, 
wal a'immatul huda", 

yakni para syaikh Islam, syaikh Kitabullah dan Sunnah, 
para imam yang memberikan petunjuk dengan benar, bersih lantaran ucapan dan tindakannya tidak pernah bertolak belakang dengan Al-Qur'an dan Sunnah, 
serta selaras dengan syariat.
[1/12 20:54] aji rasha: Ini semua hanya 
beberapa gelintir bukti 
dari suatu "sinergi" 
yang tak terpisahkan antara syariat dan tasawuf 
dalam penegakan 
Diin Al-Islam 
yang semurni-murninya 
di kalangan 
para ulama syariat maupun para ulama tasawuf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar