KALA SUNDA DALAM TINJAUAN
ASTRONOMIS<http://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/06/22/kala-sunda-dalam-tinjauan-astronomis/>
Posted on 22 Juni 2010 by tdjamaluddin
Dr. T. Djamaluddin, Peneliti Astronomi dan Astrofisika, LAPAN Bandung
<http://tdjamaluddin.files.wordpress.com/2010/06/kalendersunda090110.jpg>
SEBUAH perayaan Tahun Baru Kala Sunda yang bertepatan tanggal 28 Desember
2006, yakni pada Respati, 1 Kartika, Saka 1929, akan menjadi momen penting
bagi masyarakat Sunda. Demikian awal berita PR 27/12/2006 tentang ”Nalika
Kala Sunda”, Penyadaran Warisan Leluhur. Pencantuman tahun Saka 1929 mungkin
keliru, seharusnya 1940, tetapi ada aspek lain yang harus diluruskan.
Sebelum terlanjur terlalu jauh melangkah melestarikan budaya Sunda dengan
kalender yang kontroversial, alangkah baiknya Kala Sunda dikaji ulang dari
berbagai segi. Tulisan ini akan meninjaunya dari segi astronomis.
Saya mengenal Kala Sunda pertama kali saat kolokium Ali Sastramijaya di
Observatoarium Bosscha ITB di Lembang, pada 5 Desember 1987 dengan topik
“Kalangider” (sebut saja “Sumber 1”). Sampai saat ini Kala Sunda yang
dipopulerkan kembali kepada publik pada awal 2005 oleh Ali Sastramijaya
masih membawa persoalan. Tulisan Edi S. Ekadjati “Kala Sunda dan
Rekonstruksi Sejarah” (PR, 22/2/2005, “Sumber 2”) merupakan kritik pertama
yang dijawab dengan tulisan Ali Sastramijaya “Revisi Tahun Masehi tentang
Sejarah Jawa Dwipa” (PR, 5/4/2005, “Sumber 3”). Kemudian kritik tajam
disampaikan Irfan Anshory dalam tulisan “Mengenal Kalender Hijriah” (PR,
28/1/2006) yang kemudian ditanggapi tak kalah tajamnya sekaligus dengan dua
tulisan, “Kala Sunda dan Orang Awam” (Nandang Rusnadar, “Sumber 4”) dan
“Matematika Dalam Kala Sunda” (Roza Rahmadjasa Mintaredja, “Sumber 5”) (PR,
2/2/2006).
Persoalan pokok yang harus dijawab terlebih dahulu oleh Tim Kala Sunda
adalah mengapa awal bulan dimulai dari bulan separuh (kira-kira tanggal 7
atau 8 qamariyah – berdasarkan bulan) dan peristiwa apa yang dijadikan
rujukan awal tahunnya. Tahun baru Kala Sunda 1941 jatuh pada 18 Januari 2005
(7 Dzulhijjah 1425 H), tahun baru Kala Sunda 1942 jatuh pada 8 Januari 2006
(8 Dzulhijjah 1426 H), dan tahun baru Kala Sunda 1943 jatuh pada 28 Desember
2006 (7 Dzulhijjah 1427 H). Secara astronomis penentuan awal bulan pada saat
bulan separuh memang janggal, tidak lazim dalam sistem kalender qamariyah.
Pada sistem kalender qamariyah, umumnya awal bulan ditandai dengan bulan
baru atau hilal (sabit pertama) atau bulan mati (saat sama sekali tidak ada
cahaya pada bulan).
Tulisan ini mencoba untuk mengkaji Kala Sunda secara astronomis, sebagai
pelengkap tinjauan rekonstruksi sejarah tersebut di atas. Bagaimana pun hal
prinsip yang harus dikaji oleh peneliti kalender adalah konsistensi
astronomis dan historis. Bila kedua hal tersebut terbukti, sistem kalender
tersebut dapat dianggap andal untuk rekonstruksi sejarah atau untuk
keperluan keseharian terkait dengan kegiatan atau ritual tertentu dalam
masyarakatnya. Kala Surya (syamsiah, berbasis matahari) umumnya digunakan
untuk kegiatan yang terkait musim, seperti pertanian, migrasi, dan
penangkapan ikan. Kala Candra (qamariyah, berbasis bulan) yang perubahan
tanggalnya mudah dikenali dari bentuk-bentuk bulan dari sabit – purnama –
sabit kembali umumnya digunakan untuk kegiatan ritual keagamaan yang
memerlukan ketepatan tanggal.
Dalam analisis ini sumber utama kajian Kala Sunda hanya dari Ali
Sastramijaya yang dinyatakan merujuk pada kakek beliau pada tahun 1950-an
sebelum meninggal pada 1965. Memang ada kelemahannya, kita tidak bisa
membedakan aturan kalender yang asli Kala Sunda dan aturan hasil
intrepretasi dan pengembangan Ali Sastramijaya sendiri. Budaya tutur yang
lebih dominan daripada budaya tulis dalam masyarakat kita juga tidak
memungkinkan lengkapnya alih pengetahuan yang bersifat matematis. Ungkapan
kakek beliau, “…*engke oge kapendak ku anjeun*” (“Sumber 3”) menunjukkan
tidak lengkapnya alih pengetahuan Kala Sunda. Sehingga patut diduga sebagian
besar aturan Kala Sunda berasal dari interpretasi dan pengembangan Ali
Sastramijaya.
*TIDAK LAZIM*
Tidak dapat dibantah bahwa adanya lingga, tonggak batu panjang, menunjukkan
bahwa masyarakat Sunda dahulu mempunyai cara memperhatikan posisi matahari
yang berkaitan dengan pembuatan kalender matahari (Kala Surya). Mirip dengan
Stonehenge di Inggris, tonggak batu itu berfungsi untuk mengamati perubahan
posisi matahari dari arah bayangan matahari. Dari siklus posisi matahari
dapat didefinisikan satu tahun matahari. Awal tahun menurut Kala Surya Saka
Sunda, menurut Ali Sastramijaya, adalah saat matahari paling selatan pada 23
Desember yang dapat diketahui dari posisi bayangan lingga. Ini mudah di
mengerti karena titik awal tahun mudah dikenali dari alam, tidak seperti
kalender Masehi yang menetapkan 1 Januari sebagai awal tahun tanpa ada tanda
di alam.
Tiga bulan pertama (menurut “Sumber 1”) pada Kala Surya Saka Sunda (Kaso,
Karo, dan Latiga) masing-masing berumur 30 hari. Kemudian lima bulan
berikutnya (Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, dan Kawalu) masing-masing berumur
31 hari. Selanjutnya tiga bulan berikutnya (Kasanga, Kadasa, dan Desta)
kembali berumur 30 hari. Bulan terakhir (Sada) berumur 30 hari untuk tahun
pendek dan 31 hari untuk tahun panjang (kabisat). Tetapi menurut artikel Ali
Sastramijaya yang dipublikasi di internet, aturannya kini berselang-seling
30 dan 31, Kaso 30, Karo 31, dan seterusnya, kecuali untuk Sada berumur 30
hari untuk tahun pendek dan 31 hari untuk tahun panjang (kabisat). Perubahan
ini menunjukkan bahwa aturannya bukan digali dari dokumen asli Kala Sunda,
tetapi hasil pemikiran Ali Sastramijaya sendiri.
Aturan tahun kabisat Kala Surya Saka Sunda sama dengan aturan Julian, angka
tahun yang habis dibagi 4 menjadi tahun kabisat, tetapi ada kekecualiannya
yaitu tahun yang habis dibagi 128 tidak boleh kabisat walau habis dibagi 4.
Artinya, setiap 128 dihilangkan satu tahun kabisat. Ini berbeda dari aturan
kalender Gregorian yang menyatakan setiap 400 tahun dihilangkan 3 tahun
kabisat dengan cara tahun ratusan yang tidak habis dibagi 400 (misalnya,
1700, 1800, dan 1900) menjadi tahun pendek walau angkanya habis dibagi 4.
Perbedaan aturan tersebut akan menyebabkan perbedaan akurasinya.
Di samping Kala Surya, Saka Sunda juga menggunakan Kala Candra (qamariyah,
berbasis bulan) yang disebut Kala Candra Caka Sunda. “Caka” digunakan untuk
membedakan dengan “Saka” yang digunakan pada Kala Surya. Satu tahun pada
Kala Candra berumur 354 hari (tahun pendek) atau 355 hari (tahun panjang).
Umur masing-masing bulan berselang-seling antara 30 dan 29, seperti umumnya
hisab urfi pada kalender Hijriyah. Dua belas bulan tersebut adalah Kartika
(30 hari), Margasira (29), Posya (30), Maga (29), Palguna (30), Setra (29),
Wesaka (30), Yesta (29), Asada (30), Srawana (29), Badra (30), dan Asuji (29
hari untuk tahun pendek atau 30 hari untuk tahun panjang). Satu bulan dibagi
dalam dua bagian: Suklapaksa (1 – 15) dan Kresnapaksa (1 – 14 atau 15).
Namun ada yang tidak lazim pada Kala Candra Caka Sunda, Suklapaksa
didefinisikan sebagai “*parocaang*” atau bulan separuh terang, dari bulan
setengah lingkaran sekitar tanggal 7 atau 8 qamariyah sampai 15 hari
kemudian, dengan melewati masa terang purnama. Dan selanjutnya Kresnapaksa
yang didedifisikan bulan gelap selama 14 atau 15 hari yang melewati bulan
mati atau bulan baru. Bagaimana pun, terminologi Suklapaksa dan Kresnapaksa
tidak terlepas dari tradisi Hindu. Suklapaksa (dari Bahasa Sansekerta, sukla
= terang, paksha = setengah bulan) dalam tradisi Hindu bermakna rentang 15
hari pertama saat bulan makin terang, sejak bulan baru sampai bulan purnama.
Sedangkan Kresnapaksa adalah setengah bulan berikutnya saat bulan makin
gelap, dari purnama sampai bulan mati. Terminologi Suklapaksa (Shuklapaksha)
dan Kresnapaksa (Krishnapaksha) kini masih digunakan pada kalender Hindu di
India yang disebut Pachang.
Informasi adanya beda pasaran Jawa dan Sunda yang ada di buku peninggalan
kakek beliau (“Sumber 3”) tampaknya menjadi awal ketidaklaziman penafsiran
Suklapaksa dan Kresnapaksa. Urutan pasaran menurut Sunda: Manis, Pahing,
Pon, Wage, Kaliwon dipadankan dengan pasaran menurut Jawa: Wage, Kliwon,
Manis/Legi, Pahing, Pon. Pada “Sumber 3” diungkapkan padanan tanggal
peresmian keraton Mataram yang menjadi awal Kala Saka Jawa, yang menurut
Kala Candra Saka Jawa itu terjadi pada Jumat Legi 1 Muharram 1555
bersesuaian dengan 17 Kapitu 1555 Kala Surya Saka Sunda, 8 Juli 1633 Masehi,
Jumat Pon 8 Kresnapaksa Kartika 1558 Kala Candra Caka Sunda. Dari informasi
tersebut ada hal menarik untuk mengungkap kemungkinan sumber
ketidaklazimannya.
Urutan pasaran yang berselisih beberapa hari antara Saka Jawa dan Caka
Sunda, sulit kita bayangkan asal usulnya. Dari kesamaan nama pasaran, dapat
dipastikan baik Saka Jawa maupun Saka Sunda dulunya bersesuaian. Mengapa
terjadi lompatan pasaran? Urutan hari atau urutan pasaran tidak mungkin
melompat. Kalau pun terjadi penyesuaian kalender, hal yang terjadi hanyalah
lompatan tanggal. Misalnya pada kalender Masehi saat reformasi Gregorius,
dari Kamis 4 Oktober 1582 menjadi Jumat 15 Oktober 1582, tanpa mengubah
urutan hari. Demikian juga pada Saka Jawa, pernah terjadi perubahan awal
tahun yang menyimpang dari aturan baku tentang windu, tetapi tanpa mengubah
urutan hari. Misalnya, awal tahun seharusnya Rabu Wage menjadi Selasa Pon
(hari sebelumnya), karena tahun yang segera habis dinyatakan sebagai tahun
pendek, bukan tahun panjang seperti seharusnya.
Penyebab yang mungkin terjadinya lompatan pasaran hanya kesalahan
pencatatan. Karena Saka Jawa adalah kalender yang hidup di masyarakat, tidak
mungkin ada kekhilafan pencatatan urutan pasaran sejak pertama kali
dideklarasikan pada tahun 1555 Saka Jawa sampai saat ini 1940 Saka Jawa,
walau sempat terjadi penyimpangan aturan kalender pada penentuan awal tahun
Saka Jawa. Hal yang mungkin adalah kesalahan pencatatan tentang perbedaan
pasaran Jawa dan Sunda pada sumber Kala Sunda yang tunggal, yaitu buku
peninggalan kakek beliau.
Perbedaan pasaran Jawa dan Sunda tersebut kemudian ditafsirkan menjadi
definisi Suklapaksa dan Kresnapaksa, seperti diungkapkan di “Sumber 3”. Saya
mencoba menganalisis bagaimana hubungan perbedaan pasaran Jawa dan Sunda
bisa berkaitan dengan pengertian Suklapaksa dan Kresnapaksa pada Kala Sunda.
Pertama, urutan pasaran dideretkan sampai delapan hari: Manis, Pahing, Pon,
Wage, Kaliwon, Manis, Pahing, Pon. Kemudian, misalkan tanggal 1 Saka Jawa
jatuh pada pasaran Manis, seperti 1 Muharram (Suro) 1555 yang jatuh pada
Jumat Manis, maka Pon jatuh pada tanggal 3 atau 8 qamariyah. Tanggal 3 tidak
ada fenomena apapun. Tetapi tanggal 8 terkait dengan bulan separuh. Maka
Suklapaksa ditafsirkan sebagai *parocaang *yang dimulai sejak bulan separuh
tersebut. Ini jelas berbeda dengan sistem kalender Hindu yang menjadi
asal-usul terminologi Suklapaksa dan Kresnapaksa.
Selain hal tersebut, ada ketidakakuratan perhitungan pada penentuan konversi
kalender saat peresmian Keraton Mataram. Kalau konsisten bahwa awal tahun
Kala Surya Saka Sunda pada 23 Desember, semestinya 8 Juli 1633 M bersesuaian
dengan 28 Kanem 1555 Kala Surya Saka Sunda, bukan 17 Kapitu 1555. Tampaknya
selisih 9 hari dari 23 Desember ke 1 Januari ditambahkan pada tanggal 8,
sehingga muncul tanggal 17, semestinya dikurangkan menjadi tanggal 28 bulan
sebelumnya (Kanem). Mungkin hanya khilaf dalam perhitungan.
*AKURASI*
Aturan Kala Surya Saka Sunda Kalender dengan menghilangkan satu tahun
kabisat setiap 128 tahun menghasilkan penyimpangan hanya 0.0000022 hari per
tahun atau penyimpangan 1 hari dalam 454.545 tahun. “Hebat bukan?”, menurut
“Sumber 4”. Bandingkan dengan aturan kalender Masehi Gregorian yang
menghilangkan 3 tahun kabisat setiap 400 tahun. Penyimpangan pada kalender
Masehi Gregorian 0.0003 hari per tahun atau penyimpangan 1 hari dalam 3.333
tahun. Sedangkan Kala Candra Caka Sunda dan Kalender Hijriyah berbasis hisab
urfi mempunyai akurasi sampai 2.420 tahun.
Kita tidak bisa berbangga dengan akurasi sekian ribu tahun, karena hal itu
secara astronomis tidak bermakna keunggulan. Kalau mau, kalender Masehi pun
bisa menggunakan koreksi setiap 128 tahun. Saya kira astronom penasihat Paus
Gregorius memahami adanya berbagai alternatif. Secara matematis, mudah
dihitung koreksi berapa tahun yang harus dilakukan untuk mendapatkan tingkat
akurasi tertentu. Apakah angka 128 asli aturan Kala Surya Saka Sunda dari
dokumen sejarah atau hasil hitungan matematika abad 20?
Dalam kajian kalender, hal yang harus diperhatikan juga adalah segi
kemudahan sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan keseharian.. Manakah
yang lebih mudah diingat menghilangkan tiga tahun kabisat setiap 400 tahun
atau menghilangkan satu tahun kabisat setiap 128 tahun? Pada tahun Masehi
tahun kabisat yang harus dihilangkan dari aturan Julian adalah tahun
kelipatan 100 yang tidak habis dibagi 400, misalnya 1700, 1800, dan 1900.
Bandingkan dengan angka tahun kelipatan 128 yang dijadikan bukan tahun
kabisat, seperti 1664, 1792, 1920, dan 2048. Tentunya angka kelipatan 100
lebih mudah diingat daripada angka kelipatan 128 tersebut. Angka akurasi
bukan ukuran keunggulan suatu sistem kalender.
Memang ketika baru mempelajari sistem kalender penyataan akurasi sekian ribu
tahun berkesan mengagumkan, seperti tulisan saya yang pertama ketika masih
mahasiswa astronomi 22 tahun lalu di majalah Kiblat 1984, “Penanggalan Tahun
Hijriyah Mempunyai Ketepatan Tinggi: Hanya berbeda Satu hari Dalam Masa 2419
Tahun”. Khusus untuk kelender qamariyah, termasuk Kala Candra Caka Sunda dan
kalender Hijriyah, angka akurasi tersebut sesungguhnya tidak bermakna
apa-apa bila dibandingkan dengan realitas bulanan yang bisa menyimpang satu
hari dari fenomena bulan separuh atau bulan sabit. Sistem tahun kabisat,
hisab urfi yang berganti 29 dan 30 hari, dan cara koreksi sejenisnya memang
memberikan angka akurasi jangka panjang. Semakin banyak koreksinya akan
semakin akurat, namun perlu dipertanyakan siapa yang berwenang menjaganya
untuk jangka panjang.
Menjaga konsistensi kalender berarti memberikan koreksi yang ditentukan pada
aturan sistem kalender. Kalender Masehi dulu dikoreksi oleh Paus berdasarkan
saran astronom, saat ini dikontrol oleh lembaga-lembaga astronomi. Kalender
Saka Jawa ditentukan oleh Sultan berdasarkan perhitungan para ahli kalender
keraton. Kalender hijriyah dulu dikeluarkan oleh Khalifah, Raja, atau
Sultan, kini banyak ahli hisab dapat membuatnya dengan panduan kriteria yang
disepakati secara internal organisasi Islam, nasional, atau regional.
Kalender hijriyah modern tidak menggunakan aturan hisab urfi,
berselang-seling 29 dan 30 hari, tetapi selalu disesuaikan dengan kriteria
hisab rukyat. Perbedaan yang terjadi bukan disebabkan oleh akurasi yang
rendah, tetapi lebih banyak disebabkan belum diterimanya satu kriteria yang
disepakati.
Kala Sunda yang diklaim mempunyai akurasi sekian ribu tahun pun tidak akan
punya makna apa-apa bila dalam realitasnya tidak ada otoritas yang
menjaganya, seperti memberikan koreksi setiap 128 tahun pada Kala Surya atau
setiap 120 tahun pada Kala Candra. Adanya otoritas yang menjaganya terkait
juga dengan kemanfaatan kalender Sunda pada masyarakatnya. Tanpa ada
manfaatnya, seperti untuk keperluan kegiatan atau ritual tertentu,
masyarakat akan melupakannya.
*SUMBANG SARAN*
Ada hal menarik dari perbedaan tahun 1555 Kala Surya Saka Sunda dan 1558
Kala Candra Caka Sunda pada informasi tanggal peresmian Keraton Mataram.
Tahun Saka Jawa dianggap (dalam “Sumber 3”) diambil dari Kala Surya Saka
Sunda. Karenanya selalu ada perbedaan 3 tahun antara Saka Jawa dan Caka
Sunda. Sekarang Saka Jawa 1940, sedangkan Caka Sunda 1943. Perbedaan antara
Kala Surya Saka Sunda dengan Kala Candra Caka Sunda pada tahun 1555 Kala
Surya Saka Sunda, telah mencapai 1.063 hari. Karena perbedaan antara Kala
Surya dan Kala Candra rata-rata 10,9 hari, maka dapat dihitung bahwa sekitar
98 (dari 1.063/10.9) tahun candra sebelumnya, yaitu sekitar tahun 1460 (dari
1558 – 98) Kala Candra Caka Sunda sama bilangan tahunnya dengan bilangan
tahun Kala Surya Saka Sunda.
Perhitungan bisa dilakukan dengan lebih rinci dengan program konversi
kalender Hijriyah-Masehi yang saya buat. Mengingat selisih Kala Candra Caka
Sunda 1558 dan kalender Hijriyah 1043 adalah 515 tahun dan selisih Kala
Surya Saka Sunda 1555 dan Masehi 1633 adalah –78 tahun, maka dapat dihitung
beberapa kemungkinan sehingga bilangan tahun tahun Kala Candra Caka Sunda
sama dengan bilangan tahun Kala Surya Saka Sunda. Hasilnya, tahun 1441 –
1471 berpeluang bilangan tahun Kala Surya Saka Sunda dan Kala Candra Caka
Sunda sama, yang berarti dalam rentang tahun Masehi 1519 – 1549. Tahun 1441
bila tahun baru Kala Candra jatuh pada bulan Desember dan tahun 1471 bila
tahun baru Kala Candra jatuh pada bulan Januari.
Bila kasus ini sama dengan pengadopsian bilangan tahun Kala Surya Saka
Sunda menjadi bilangan tahun pada Kala Candra Saka Jawa, apakah mungkin
pada rentang tahun 1441 – 1471 Saka (1519 – 1549 M) juga terjadi reformasi
Kalender Sunda, yaitu mulai digunakannya dua sistem kalender. Ada yang
berdasarkan kala surya dan ada yang menjadi kala candra. Bila benar terjadi
reformasi Kala Sunda, pertanyaannya siapa tokohya? Menurut “Sumber 2”, dari
kajian sejarah tafsir mutakhir Prasasti Batutulis terungkap bahwa tahun yang
tertera pada prasasti tersebut menyatakan tahun 1455 Saka = 1533 M. Bisa
jadi ada kaitan peristiwa pembuatan prasasti dengan reformasi kalender
Sunda. Bila memang demikian, Kala Candra Caka Sunda tidaklah berlaku terlalu
jauh mundur ke belakang. Artinya, tidak ada tahun 0 atau 1 seperti halnya
pada tahun Saka Jawa. Analisis hipotetik ini bisa menjadi jawaban atas
pertanyaan peristiwa yang menjadi rujukan awal tahun Kala Candra Caka Sunda.
Mungkinkah Kala Surya Saka Sunda dan Kala Candra Caka Sunda dirunut jauh ke
belakang? Secara hitungan matematis-astronomis mungkin saja dilakukan. Tahun
0 Kala Candra Caka Sunda bersesuaian dengan tahun 44 Kala Surya Saka Sunda
pada tahun 122 Masehi. Tetapi harus dapat dibuktikan adanya suatu peristiwa
besar yang dijadikan titik awal tahun Kala Candra Caka Sunda saat itu. Tanpa
pembuktian itu, semuanya hanya spekulasi yang sulit digunakan untuk
rekonstruksi sejarah.
Fungsi kajian kalender selain untuk rekonstruksi sejarah, juga untuk memberi
bantuan kepada masyarakat untuk mengadakan kegiatan atau ritual menurut
ketentuan waktu tertentu. Kalender yang hidup sampai saat ini hanyalah
kalender yang digunakan oleh masyarakatnya secara luas. Kalender Masehi
terus digunakan dalam kegiatan sehari-hari karena sifat globalnya dan
keterkaitan dengan musim. Kalender Hijriyah terpelihara karena diperlukan
untuk kegiatan ibadah ummat Islam. Sedangkan kalender Saka Jawa
terlestarikan karena terkait dengan ritual tradisi Jawa. Lalu, apa peran
Kala Sunda di masyarakatnya? Sampai saat ini belum ada kegiatan atau ritual
di masyarakat Sunda yang tergantung pada penentuan tanggal menurut Kala
Sunda, sehingga informasi tahun baru Caka Sunda pun menjadi tidak bermakna.
Kalau kita akan menghidupkan kembali Kala Sunda, kita harus menggali
kejadian-kejadian penting dalam sejarah Sunda yang bersifat positif untuk
selalu dirayakan. Ulang tahun kota-kota di Jawa Barat yang terkait dengan
sejarah Sunda sudah selayaknya menggunakan Kala Sunda, seperti yang
dilakukan Cirebon yang merayakan ulang tahun setiap 1 Suro/Muharram, bukan
berdasarkan kalender Masehi. Tetapi untuk menggali sejarah suatu kota,
sistem kalender perlu disempurnakan terlebih dahulu. Konsep Suklapaksa dan
Kresnapaksa pada Kala Sunda saat ini perlu ditinjau ulang karena berbeda
dari definisi aslinya pada tradisi Hindu yang melatarbelakanginya. Selain
itu awal bulan Kala Candra dimulai dari bulan separuh, bukan saat bulan
baru, dianggap tidak lazim menurut analisis kalender astronomis. Tanpa
peninjauan ulang, bahkan cenderung membela secara fanatik buta, tidaklah
mungkin menggalang kesepakatan rekonstruksi sejarah dengan alat analisis
yang masih kontroversial.
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/06/22/kala-sunda-dalam-tinjauan-astronomis/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar