[9/10 20:59] aji rasha: SYAHADAT
PENGERTIAN
FANA DAN BAKA
Ketika seseorang berada dalam tahap puncak pendakian spiritualnya adalah masuk ke
alam “Fana dan Baka”.
Dan hal ini dijelaskan oleh Syekh Malaya /
Sunan Kalijaga.
Dia memaparkan pengetahuannya :
Hendaknya waspada pada yang berikut ini.
Jangan raguragu.
Lihatlah Tuhan secara jelas! Tapi, bagaimana melihat-Nya?
Karena Tuhan itu tidak memiliki rupa.
Tuhan tidak berarah dan
tidak berwarna.
Tidak ada wujud-Nya.
Tidak terikat oleh
waktu dan tempat. Sebenarnya
Ada-Nya itu tiada,
seandainya Dia tidak ada, maka alam raya ini kosong dan tak ada wujudnya.
Dan tatkala sesorang ber-Dzikir atau ber-Tafakur [dalam salat] sudah sangat khusyu/ intens,
segala rupa yang muncul harus dilewatinya.
Semua yang muncul itu hanyalah ilusi.
Bayangan ke-Diri-an
akan muncul.
Seperti munculnya malaikat gunung yang menawarkan diri kepada
Nabi Muhammad Saw sehabis beliau dianiaya orang-orang Thaif.
Nabi menolak pertolongannya.
Justru beliau berdoa agar masyarakat Thaif diberi petunjuk.
Meskipun seorang mediator sudah bisa melewati berbagai godaan dan gangguan.
Bisa melewati berbagai pesona.
Bisa meninggalkan ajakan dari mereka-mereka yang menampakkan diri sebagai sanak saudara dan orang-orang lain yang
telah meninggal.
Bisa mengabaikan orang-orang yang tak dikenal dan menawarkan jasa. Tetapi, belum tentu mampu meloloskan diri dari jeratan Artadaya.
Sang Artadaya ini menutupi Diri Sejati.
Dia unjuk kekuatan.
Dia pamer kekuasaan.
Dia menawarkan kepada sang pendaki spiritual:
“Apa yang kau minta?
Apakah kau minta berlian-
sambil menun-jukan berlian dihadapan orang yang berzikir itu bagaikan butiran-butiran jagung? Apakah kau ingin menguasai itu sambil menunjukan daerah kekuasaan?
Tetapi,
seorang pezikir yang tawakal, tak tertarik berbagai iming-iming.
Seorang pe-zikir akan terus melanjutkan pendakiannya. Mendaki sendiri.
Karena pada akhirnya pengiring kita pun tak mampu.
Semua malaikat tak mampu mengiringi perjalanan sang pendaki.
Malaikat Jibril pun tak mampu.
Semua saudara gaib kita juga tak mampu.
Hanya Tuhan yang membimbingnya.
Dengan demikian apa yang diungkapkan Syekh Malaya [Sunan Kalijaga]
yang meminta sang pe-zikir untuk melihat Tuhan dengan jelas.
Terang.
Tanpa samara-samar!
Harus yakin tanpa keraguan sekecil apapun.
Dengan cara ini sang pezikir akan sampai di puncak Ma’rifat.
Bagaimana cara cara melihat-Nya?
Bukankah Tuhan itu tidak memiliki rupa.
tidak ada arah dan warna-Nya.
Bukankah Dia Tidak ada wujud-Nya.
Tidak terikat oleh waktu dan tempat.
Lalu, apa yang harus dilihat? Itulah ke-Fana-an!
Fana bukanlah kesadaran tentang tiada.
Fana bukanlah perasaan bahwa kita telah sampai di keadaan Fana.
Fana bukanlah terciptanya konsentrasi / kekhusyuan. Fana bukanlah perasaan bahwa kita merasa hilang. Fana bukanlah kita merasa tidak melihat apa-apa.
Lalu, apa yang dimaksud Fana oleh orang-orang Sufi itu?
Dalam serat Syekh Malaya tersebut diungkapkannya bahwa jika Dia tidak ada maka kosonglah semesta raya ini.
Apa yang disebut dalam
serat itu merupakan bagian dari pembahasan para Wali tentang Ma’rifat.
Tentunya itu bukan kalimat biasa.
Dalam bahasa kata, pengetahuan tingkat tinggi itu tidak berbeda dengan pengetahuan orang awam. Itulah keterbatasan kata! Amat sulit mengungkapkan pengalaman spiritual dengan kata-kata.
Karena melibatkan pengalaman batin.
Tak ada kata buat mendefinisikan kata Fana. Tak ada kata untuk batasan bagi Fana.
Secara kata,
Fana itu artinya lenyap. Hilang.
Siapa yang hilang disitu?
Apa kita menjadi hilang sehingga tak bisa dilihat orang lain ketika ber-zikir? Atau ada perasaan bahwa kita ini hilang tatkala ber-zikir?
Jawabannya bukan seperti itu.
Kita tetap bisa dilihat orang ketika ber-zikir.
Kita pun ada dalam kesadaran.
Pada saat kita mengalami Fana, kita tidak tidur.
Kita tidak mengantuk. Sehingga zikir kita tetap teguh, tidak berubah.
Pada saat Fana itu, kita seperti orang yang tidur nyenyak, tapi nyatanya tidak tidur.
Seperti tidur nyenyak yang tidak merasakan apa-apa. Tidak ada mimpi meski sekelebatan.
Tidak ada kilatan apa-apa. Tidak ada kesadaran maupun ketidak sadaran.
Keadaannya blanko Kosong, tiada goresan.
Tidak ada perasaan bahwa saya ini hamba dan yang dihadapi itu Tuhan.
Itulah Fana!
Ya, memang seperti orang tidur pulas tanpa sebuah impian.
Jadi yang membedakan antara orang yang ber-zikir [khusyu] dan orang yang tidur pulas itu keadaannya.
Jika orang tidur, meski posisi awalnya duduk, badannya akan roboh ketika tertidur atau terkantuk.
Kalau ia terlentang, maka dengus nafasnya ya sama dengan orang tidur. Dengusnya kasar.
Bunyi napas orang tidur itu kasar.
Sedangkan bunyi napas orang yang ber-zikir itu tidak terdengar.
Seolah-olah tidak bernapas. Seorang ahli ma’rifat mereka berujar :
KULLU NAFSIN ARIFIN KHOIRUN MIN IBADATI SAB’I’YAN SANATAN MIN KHOIRI AARIFIN
(Artinya :
Setiap nafas seorang yang ‘Arif Billah, lebih berharga dari 70 tahun ibadat orang yang bukan ‘Arif [awam]. Yang berarti
Nafas seorang yang mengerti dan sadar terhadap diri dan kediriannya (khuluk),
nafas yang memanfaatkan hidup dan kehidupannya untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan serta alam lingkungan (khalaq),
nafas cinta kasih yang tenggelam dan sirna (Fana) dalam buaian cinta kasih Allah Yang Maha Pengasih (kholik),
bukan seperti
nafasnya seorang yang hanya untuk dirinya sendiri dan karena dirinya sendiri yang penuh kesombongan diri, melibatkan diri dalam kebohongan dunia, meskipun ibadatnya 70 tahun.
Pada saat Fana
dalam berzikir,
bisa terjadi apa yang dinamakan “Majdzub”.
Pada saat majdzub,
hilang kesadaran manusiawinya,
dan keadaan Fana ini bukan hanya terjadi pada saat duduk berzikir.
Tidak demikian!
Fana bisa terjadi ketika lagi berjalan, atau beraktivitas. Dengan tidak disadarinya, muncul ucapan
“Subhani”,
Mahasuci Aku.
Ana Al-Haqq,
Saya adalah
Yang Mahabenar.
Dan, berbagai ucapan lainnya, yang sepatutnya itu ucapan Tuhan.
Itu, memang ucapan Tuhan. Orang yang majdzub itu hanyalah alat bagi Tuhan yang hendak memuji diri-Nya. “Dalam arti hakiki, hilang sirnalah (Fana) segala Af’al hamba dan seluruh makhluk ini.
Yang tampak dan jelas adalah Af’al Allah swt”. Kesimpulan itu adalah
suara batin dengan penuh kejujuran.
Bukan karena ujaran guru dan Kitab,
bukan pula karena kata si ‘Arif atau Waliulloh’.
Semua guru,
kitab-kitab dan ucapan-ucapan para ‘Arif hanyalah penuntun dan penunjuk jalan ke arah itu. ‘FAMINHU KHOIRU WASSYARU WANNAF’U WADDHURRU WAL’IMANU WAL’KUFRU’
[Maka dari Dialah (Allah); kebaikan dan keburukan, manfaat dan mudarat,
iman dan kufur].
(Imam Al-Ghazali : ‘Minhajul ‘Abidin).
Didalam hadist qudsi di sebutkan :
“Ma ataqarraba ilayyal mutaqarribuna bimistli ada’i maftaradltu’alaihim, wala yazalul’abdu yataqarrabu ilayya bin nawafil, hatta uhibbahu, fa idza ahbabtuhu kuntu sam’ahulladzi yasma’u bihi wabasharahul ladzi yubshiru bihi wa lisanuhul ladzi yanthiqu bihi wayadahul lati yabthisyu biha wa rijlahul lati yamsyi biha wa qalbahul ladzi yadlmiru bihi”
Artinya :
Orang-orang yang merasa dekat kepada-KU,
tidak hanya melaksanakan apa yang aku fardhukan kepada mereka,
malah si hamba itu merasa dekat kepadaku dengan melaksanakan amal-amal Nawafil (tambahan) hingga akupun mencintainya. Apabila AKU sudah mencintainya,
Aku-lah menjadi pendengarannya yang dengan itulah dia mendengar, Akulah yang menjadi matanya untuk melihat, Aku-lah yang menjadi tangannya untuk menggenggam,
Aku-lah yang menjadi kakinya untuk berjalan, dan
Aku pulalah yang menjadi hatinya yang dengan itu ia dapat berfikir dan bercita-cita.
(Riwayat Imam Bukhari).
Dengan penjelasan dalil diatas benar-benar sang hamba tersebut menjadi alat. Nama-nya saja
“alat”,
ya tergantung yang menggunakannya.
Cuma alat yang berbentuk manusia.
Dalam Injil Yohanes 5 : 19, disebutkan bahwa Nabi Isa (Yesus) bersabda:
“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari dirinya sendiri, jikalau ia tidak melihat Bapa mengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan anak”.
Pada ayat 5 : 30 juga disebutkan,
“Aku tidak bisa berbuat apa-apa dari diriku sendiri, Aku menghakimi sesuai dengan apa yang aku dengar, dan penghakimanku adil, sebab aku tidak menuruti kehendak (Nafsuku) sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus aku”. Didalam Al-Qur’an : Wayanthiqu anil hawa inhuwa ila wahyun yuha
(q.s. an-najm : 2-3),
Artinya:
Dan temanmu (Muhammad) itu, tidaklah sesat apalagi keliru. Apa yang diucapkannya itu berasal dari Tuhan-Nya, bukan kehendak (nafsu-nya) sendiri.
Dari Syekh Sayidina A Abi Abdullah Muhammad bin Sulaeman Aliazli r.a. dikatakannya :
Wallahu kholaqokum
wamaa ya’maluna
wa la yashduru min ahadin min a’biydihi qowlun
wa harakatun wasyukunun illa qod syabaqo fi i’lmihi wa qodhoo i’hi wa qodarihi Artinya :
Dan Allah yang telah menciptakan kamu, dan menciptakan apa yang kamu lakukan, tak ada seorangpun diantara hamba-hambaNya yang melahirkan ucapan, perbuatan, gerak ataupun diam, melainkan sudah ada lebih dahulu pada ilmu-Nya Qodho dan Qodar-Nya.
Orang yang tidak mengerti Ma’rifat biasanya menolak kejadian madjzub.
Mereka tidak mau tahu adanya hadist atau dalil-dalil tersebut.
Mereka tidak tahu bahwa Nabi Muhammad pun sering mengalami madjzub di depan istri-istri beliau.
Misalnya, dihadapan Siti Aisyah. Nabi pun pernah bersabda
“Ana Ahmad Bi La Mim”, (Saya Ahmad tanpa mim). Artinya apa?
Ahad!
Dalam bahasa awam, itu berarti Nabi menyebut dirinya Tuhan.
Tapi, karena para sahabat termasuk istri-istri beliau sudah di didik tentang hal-hal yang sifatnya spiritual, makanya tidak timbul kekacauan pandangan di tengah masyarakat.
Atau juga seperti yang telah diperbuat oleh Maulana Ibnu Ar-Arabi, dimana dia berujar “Ana Arrabi bi la ain”,
“Saya Arrabi tanpa huruf Ain”, artinya apa ?
Rabbi! Dalam bahasa awam, itu
[10/10 12:33] aji rasha: berarti Ibnu Arrabi telah menyebut dirinya Tuhan. Dalam Injil Yohanes Pasal 14 ayat 6, Nabi Isa (Yesus) berkata kepada muridnya-- Thomas, “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa (Tuhan), kalau tidak melalui aku”.
Bagi mereka yang sudah memahami makrifat, tidak akan heran terhadap sabda Kanjeng Nabi Isa tersebut. Tak ada orang makrifat menyebut orang lain Tuhan.
Bahkan Syekh Siti Jenar pun tidak pernah menyuruh orang lain menyebut dirinya Tuhan. Mengapa?
Karena tingkat makrifat setiap orang bisa menjadi manifestasi Tuhan.
Jadi, sebutan
“ingsun Allah”,
“saya ini Allah”,
tidak berarti memper-Tuhan-dirinya,
atau menyuruh orang lain menyebut dirinya sebagai Tuhan.
Itulah kesadaran orang yang lagi majdzub.
Itulah sebabnya Kanjeng
Nabi Isa pun mengatakan itu di depan muridnya [Thomas]. Bukan sebagai deklarasi tentang ketuhanan beliau di depan orang banyak.
Setelah tahap Fana tercapai, maka dirinya akan terserap oleh Tuhan.
Masuk ke dalam wilayah ketuhanan.
Secara otomatis memasuki keadaan Baqa alias baka. Yaitu, memasuki alam kekekalan.
Di alam ini pengalaman orang satu dengan yang lainnya akan sama.
Itulah sebabnya semua nabi merasa melihat sesuatu yang sama.
Mereka melihat kebenaran yang sama.
Makanya, tidak ada nabi yang satu konflik dengan nabi lainnya.
Masing masing menerima kodrat kenabiannya.
Tanpa melakukan klaim bahwa dirinyalah Nabi yang benar sedang nabi lainnya salah.
Lihatlah, Kanjeng Nabi Musa tidak pernah menyalahkan nabi yang lain setelah dia mencapai tahap baka, yaitu setelah bertemu Nabi Hidir. Tak ada seorang nabi pun yang di cela oleh Kanjeng Nabi Isa di dalam Injil. Kanjeng Nabi Muhammad pun tak akan mencela nabi dan rasul lainnya.
Tak pernah menyalahkan ajaran para nabi lainnya. Termasuk tidak menyalahkan Musailamah.
Justru Musailamah yang merasa tersaingi kenabiannya oleh Nabi Muhammad.
Ya, siapa saja yang mengaku sebagai nabi tapi masih menyalahkan nabi-nabi lainnya, jelas dia bukan nabi. Wali sejati pun tidak pernah menyalahkan wali lainnya. Tidak mengusik ajaran yang disampaikan oleh wali lainnya.
Mengapa? Karena dia menyadari bahwa kebenaran itu datangnya dari Tuhan yang sama
[AL-HAQU MIRABBIKUM].
Lha, masa ajaran wali lain diprotes.
Bukankah wali sejati sudah sampai tahap baka?
Orang yang sudah sampai pada tahap ini tidak ada lagi perasaan dengki.
Karena kedengkian itu perbuatan setan.
Wali sejati itu wahananya Tuhan.
Disebutkan di dalam Al-Qur’an bahwa para wali Allah, karena keimanan dan ketakwaan mereka, maka mereka tak tersentuh ketakutan dan penderitaan dalam hidupnya.
[Inna Awliyaa A’llahi Laa Khaufun A’laiyhim Wa Lahum Yahzanun Q.S. 10 : 62]. Keimanan bukan semata-mata karena kepercayaan.
Tetapi buah dari Ma’rifatnya. Sedangkan ketakwaan bukan hanya di bibir.
Tapi, benar-benar wujud dari zikirnya kepada Tuhan yang di amalkan setiap saat. Tahap Fana sudah dilalui. Tahap baka dimasukinya. Akhirnya dia melihat hakikatnya sesuatu.
Jika sudah demikian apanya yang perlu ditakutkan? Apanya yang perlu dikhawatirkan?
Semua penderitaan lenyap, karena Tuhan sendiri yang menjaganya.
Ia bisa hidup tanpa tergantung pada orang lain, karena Tuhan sendiri yang menjadi gantungannya.
Ia bisa memecahkan persoalan hidup ini karena Tuhan sendiri yang mengajarinya.
Intinya setelah seseorang bisa mencapai tahap Fana dan Baka,
maka sebenarnya dia telah menemukan pusat dirinya. Dia sudah menemukan Kabah/ Mekah sejatinya.
Dia sudah mengenal Dirinya. Dia sudah sampai pada Al-Haqq.
Tahap akhir sepiritualnya! Tak secuil pun pikiran ikut mempengaruhi perilakunya. Tak ada rekayasa yang timbul dari hawa nafsunya. Semua perilakunya adalah manifestasi Tuhan.
[10/10 12:57] aji rasha: SYAHADAT
NUR MUHAMMAD
Ketika Anda mengucapkan syahadat, itu berarti Anda melakukan persaksian. Tetapi jika Anda berani menjadi saksi tanpa menyaksikan sendiri sesuatu yang Anda saksikan, berarti kesaksian Anda palsu belaka. Oleh karenanya,
sebuah kesaksian yang sejati tentunya berasal dari
Dzat Tuhan itu sendiri, dan kita yang tidak menyaksikan sendiri apa yang dipersaksikan,
hanya wajib mengikuti saja kesaksian dari Dzat Tuhan. Kita tidak tahu apapun, hanya Dzat Tuhan yang maha tahu. Lantas bagaimana bersyahadah yang benar? Untuk dapat memahami syahadah ini,
baiklah saya akan bercerita pada peristiwa saat
Bom Bali.
Ada seorang ibu menjadi saksi kehebatan Bom Bali tersebut, padahal ibu tsb tidak menyaksikan meledaknya bom tsb, tetapi kenapa bisa menjadi saksi…? Ceritanya ibu tsb sdg menidurkan anaknya, tiba-tiba ranjangnya bergetar hebat sampai anaknya kaget terbangun dan menangis, padahal jarak rumahnya dengan tempat bom meledak jaraknya 2 km.
Hal ini menunjukkan betapa hebatnya ledakan tsb.
Cerita ke-dua adalah seorang buta dapat berjalan puluhan kilometer tanpa tersandung karena menggunakan tongkat sebagai penunjuk rasa.
Saya katakan RASA,
karena panca indera matanya tidak berfungsi.
Demikian juga, jika Anda sudah pernah meminum kopi, Anda sudah dapat membedakan mana kopi dan mana yang bukan dengan meminumnya meskipun Anda tidak melihat.
Ini semua adalah yang berkerja adalah
RASA.
Demikianlah dengan syahadah,
meskipun Anda belum melihat atau menyakasikan Allah dan Rasulullah Saw, Anda dapat dikatakan bersyahadah dengan benar jika sudah bisa merasakan
sifat-sifat Allah dan sifat-sifat Rasulullah Saw.
Untuk merasakan sifat-sifatnya tersebut
yaitu dengan cara
melakukan
atau
menjalankan
sifat-sifat tersebut.
Karena hanya dengan demikianlah kita dapat mengenalnya,
meskipun tanpa melihat. Seperti kita akan tahu rasa kopi karena pernah meminum kopi tersebut.
Jadi jika Anda masih belum memiliki perbuatan yang bersikronasi (sesuai getarannya)
dengan sifat-sifat tersebut, Anda masih dikatakan bersyahadah palsu. Syahadah merupakan
pintu gerbang berhubungan dengan
Allah
dengan
Rasullullah Saw,
dengan ilmu-ilmu semuanya termasuk dengan
alam semesta.
Itulah sebabnya tanpa membaca syahadah,
maka seluruhnya masih terhijab.
Jika seluruh pelajaran tersebut di atas sudah Anda pahami, Anda lantas bisa mengucapkan
syahadat Sejati
di dalam batin.
Syahadat Sejati
adalah
persaksian
Dzat Tuhan
kepada
Dzat-Nya sendiri.
Syahadat Sejati
adalah
persaksian
Dzat Tuhan
atas
Nur Muhammad,
Cahaya Terpuji,
kepada
Dzat-Nya sendiri.
Syahadat Sejati sebaiknya dibaca dalam batin saja, seyogyanya
tidak terucap dari lisan Anda.
1. Api, berwarna merah,
itulah Nur,
pujiannya: Asyhadu alla
ilaha illallah,
aku bersaksi tiada Tuhan
selain Allah.
2. Bumi, berwarna hitam,
itulah Wujud,
pujiannya: Wa asyhadu
anna Muhammadar
Rasulullah, dan
aku bersaksi Muhammad
Utusan Allah.
3. Air, berwarna putih,
itulah Syuhud,
pujiannya: Syahidna ala
anfusina wa tsabbit
‘indahu innahu la ilaha illa
huwa,
Kami bersaksi pada diri
kami sendiri dan
tetapkanlah kami
bersama-Nya;
sesungguhnya Dia,
tiada Tuhan selain Dia.
4. Angin, berwarna kuning,
itulah Ngelmu,
pujiannya: La syarika lahu
la ilaha illa ana,
tiada sekutu bagi-Nya;
tiada tuhan selain Aku.
Sebagai rangkuman dari anasir manusia tersebut
agar tidak menjadi
hijab Roh Idhafi,
maka harus dizikirkan 313x selama 7 hari,
selanjutnya
cukup di dawamkan
dibaca 3x ba’da sholat. Syahadat ini disebut
sahadat sejati manusia: Asyhadu alla ilaha illallah
wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. Syahidna ala anfusina
wa tsabbit ‘indahu innahu
la ilaha illa huwa;
La syarika lahu
la ilaha illa ana.
Artinya:
Aku bersaksi
tiada Tuhan selain Allah
dan aku bersaksi
Muhammad Utusan Allah. Kami bersaksi
pada diri kami sendiri
dan tetapkanlah kami bersama-Nya;
Sesungguhnya Dia,
tiada Tuhan selain Dia.
Tiada sekutu bagi-Nya;
tiada tuhan selain Aku.
Dilanjutkan membaca afirmasi di bawah ini dengan penuh penghayatan:
"AL IZZATUL LILLAHI BI'ISMILLAHIRRAHMANNIRRAHIM"
jiwaku adalah
kebenaran Allah,
KUN SHOLLI ALA MUHAMMAD
KUNI MUHAMADAN"
wujud
Ini adalah bagian dari
kalimat yg disembunyikan kaum makrifat ygmengetahui inti membangun kekuatan NUR Muhamad.
Ilmu ini telah dibuktikan berulang kali dan
benar benar tajrib,
adalah contoh nya
ada seorang sahabat yg telah habis juta'an dana hanya untuk membuat toko nya laris,
tapi apa lacur dana habis oleh jimat-jimat dan amalan amalan yg bermahar tinggi, tapi buktinya belum bisa dirasakan secara signifikan, toko tersebut tetap aja sepi. Setelah mengamalkan dengan ilmu ini, dalam waktu kurang dari satu bulan
toko nya rame dengan
para pembeli,
beliau bereksperimen dengan mengisinya pada air
agar laris manis.
Selain yang tersebut
di atas,
manfaat syahadat ini
antara lain:
- Untuk menguasai hampir semua
ilmu pengobatan diri sendiri dan juga orang lain - Penyempurnaan dari
segala energi kaji diri yang selama bertahun tahun di amalkan
- Membuka gerbang pengetahuan ilmu makrifat serta ilmu kebatinan semula jadi.
- Dan masih banyak lagi.
[10/10 13:53] aji rasha: SYAHADAT SEJATI LENGKAP:
Ingsun anekseni
ing Datingsun dhewe, satuhune ora ono Pangeran anging Ingsun,
lan anekseni satuhune Muhammad iku utusan ingsun.
Iya sajatine kang aran Allah iku Badaningsun,
Rasul iku Rahsa ningsun, Muhammad iku Cahayaningsun.
(Dilakukan selama 41 hari sebanyak 99X ulangan)
Dalam wejangan ini jelas sekali bahwa
Dzat Tuhan telah menyatakan adanya kesatuan tunggal
dari tiga hal:
1. Allah;
2. Muhammad ;
3. Rasul (orang terpilih/
Mustafa)
Allah diakui sebagai
Badan-Nya,
Muhammad diakui sebagai
Cahaya-Nya,
dan Rasul (Utusan) diakui
sebagai Rahsa Sejati yang
Rahasia atau Rahsa-Nya.
Allah adalah
Badan Sejati dari
Dzat (Dzatullah).
Muhammad adalah Cahaya
Terpuji (Nur Muhammad)
dari Dzat (Nurullah), dan
Rasul adalah Rahsa Sejati
Yang Rahasia dari
Dzat (Sirullah).
Allah, Muhammad, dan Rasul adalah tunggal.
Di dalam badan manusia, Allah telah meliputi Hayyu
(hidup) atau Roh Manusia.
Muhammad telah meliputi Nur (cahaya) manusia dan
Rasul telah meliputi Kaca (cermin) atau Rahsa/Sir manusia.
Jika yang diwejang sudah memahami Syahadat Sejati, ia bisa berlanjut dengan melafalkan
SYAHADAT SEJATI KUBRO yang diucapkan
di dalam batin.
Disebut
kesaksian puncak
karena sudah meliputi syahadah
syariat,
hakikat dan
makrifat.
Isi seperti ini:
Ingsun anekseni ing Datingsun dhewe,
satuhune ora ono Pangeran anging Ingsun,
lan anekseni satuhune Muhammad iku utusaningsun.
Iya sajatine kang aran Allah iku Badaningsun,
Rasul iku Rahsa ningsun, Muhammad iku Cahayaningsun.
Iya Ingsun Kang Urip
ora keno pati;
iya Ingsun Kang Eling
ora keno ing lali;
Iya Ingsun Kang Langgeng ora keno owah gingsir ing Kahanan Jati;
iya Ingsun kang Waskitha
ora kasamaran ing sawijiwiji; iya Ingsun Kang Amurba Amisesa Kang Kawasa Wicaksana ora kekurangan ing Pangerti;
Byar sampurna padhang terawangan,
ora karasa apa-apa,
ora ana katon apaapa, mung Ingsun kang anglimputi ing alam kabeh
kalawan kodratingsun.
Setelah 41 hari membaca Syahadat Sejati,
amalkan amalan di atas ini 3X saja setiap hari:
Namun dalam wejangan sebelumnya
Muhammad juga diakui sebagai utusan-Nya.
Oleh karena itu kedudukannya menjadi seperti ini:
1. Muhammad
diakui sebagai Cahaya-Nya
sekaligus utusannya.
2. Rasul
diakui sebagai Rasa Sejati
Yang Rahasia/Rahsa/Sir
, sekaligus utusannya.
Pengertian Muhammad
disini jelas bukan
Kanjeng Nabi Muhammad. Rasul di sini jelas
bukan seorang manusia
yang diutus untuk menyampaikan risalah. Muhammad
di sini adalah
Cahaya Yang Elok,
Cahaya Terpuji,
Nur Muhammad.
Dan Rasul
disini adalah
Rasa Sejati Yang Rahasia, Rahsa,
Sir.
Pertanda nyata bahwa
hidup kita adalah
Tajalli dari
Dzat Yang Maha Suci,
dapat dilihat bahwa
hidup kita memiliki suatu kesadaran
kuasa dan
kehendak,
yaitu suatu kesadaran
yang juga dimiliki oleh
Dzat Yang Maha Suci
dengan
kodrat dan iradat-Nya. Sesungguhnya
kodrat dan iradat hidup kita ini berasal dari
Kodrat dan Iradat
Dzat Yang Maha Suci
yang
bersifat hidup.
Itulah mengapa
keberadaan manusia
terdiri dari
tujuh tingkatan yang dipakai sebagai
Warana Dzat,
menjadi tempat
Sifat,
Asma,
Af’al
Dzat.
Tujuh tingkatan tersebut adalah sebagai berikut:
Hayyu
berarti Urip (hidup),
berada di luar Dzat.
Nur
berarti Cahaya,
berada di luar Hayyu.
Sir
bearti Rahsa / rasa sejati yang rahasia,
berada di luar Nur.
Roh Idlafi
bearti Roh yang telah bersandar,
disebut Sukma,
berada di luar Sir.
Nafsu
bearti kepribadian
berada di luar Roh Idlafi.
Budi
berarti kesadaran Jaga, berada di luar Nafsu.
Jasad,
berarti Badan Fisik,
berada di luar Budi.
Hayyu atau Hidup
mendapat
wewenang Dzat
untuk menghidupi keberadaan
Nur,
Sir,
Roh Idlafi,
Nafsu,
Budi,
Jasad.
Merata tanpa satupun
yang terlewati.
Adapun yang
tampak dan bisa kita raba dari keberadaan Hayyu,
satu persatu penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Ketika Hayyu
menghidupi Nur,
ia meresap pada
mata batin kita.
Oleh karenanya kita
memiliki kesadaran
kepahaman (awareness).
Jika kita memiliki
kesadaran kepahaman,
itu berarti
Penglihatan Dzat
memakai mata batin kita.
2. Ketika Hayyu
menghidupi Sir,
ia meresap kepada
hidung batin kita.
Oleh karenanya kita
memiliki perasaan.
Jika kita mampu merasa,
itu berarti Penciuman Dzat
memakai hidung batin kita.
3. Ketika Hayyu
menghidupi Roh Idlafi,
ia meresap kepada lidah
batin kita.
Oleh karenanya kita
mampu berinteraksi.
Jika kita mampu
berinteraksi, itu berarti
Pengucapan Dzat memakai
Lidah batin kita.
4. Ketika Hayyu
menghidupi nafsu,
ia merata pada telinga
batin kita.
Oleh karenanya kita mampu
menerima segala sensasi
dari dunia luar.
Jika kita mampu menerima
segala sensasi dari dunia
luar, itu berarti
Pendengaran Dzat memakai
telinga batin kita.
5. Ketika Hayyu
menghidupi Budi,
ia merata pada otak dan
jantung.
Oleh karenanya kita
memiliki kesadaran Jaga
(Conciousness), itu berarti
Kesadaran Jaga Dzat
memakai Otak dan Jantung
kita.
6. Ketika Hayyu
menghidupi jasad,
merata pada Darah.
Oleh karenanya seluruh
jasad bisa hidup.
Jika kita memiliki
kehidupan, itu berarti
hidup Dzat memakai jasad
kita.
Tidak beda
ketika
Dzat menghidupi
seluruh isi alam;
Matahari,
Bulan,
Bintang,
dsb nya.
Untuk semakin memantapkan keyakinan, kita bisa buktikan sendiri dengan
menjalani laku PRIHATIN, memohon petunjuk kehendak Dzat Yang Maha Kuasa.
Yang sudah sering berlaku, jika kita berkenan menjalani lelaku, dapat dipastikan akan muncul MAUNAH
yang keluar dari
badan kita sendiri.
Maunah tersebut dapat terlihat jelas dalam batin. Jika Maunah sudah menampak nyata,
maka apapun yang kita inginkan akan terlaksana.
Apapun yang kita kehendaki akan datang,
apapun yang kita harapkan akan ada,
atas kehendak
Dzat Yang Maha Kuasa.
Di bawah ini salah satu petunjuk menjalani
laku prihatin,
wasiat dari
Kanjeng Panembahan Senopati Ing Ngalaga Ing Mataram:
1. Mulailah mengurangi
makan, minum, tidur,
senggama, untuk beberapa
hari.
2. Jika sudah mantap,
mulailah melakukan puasa,
berarti tidak makan, tidak
minum selama 24 jam.
Dan ini dilakukan selama
tiga hari tiga malam.
Itu berarti, Anda harus
memulai puasa pada jam
6 sore dengan
diawali mandi keramas, lalu
makan dan minum.
Selama 24 jam
kemudian Anda tidak
diperkenankan makan dan
minum hingga jam 6 sore
lagi.
Demikian berturut-turut
hingga tiga hari tiga malam.
3. Pada hari terakhir
Anda tidak diperkenankan
tidur.
4. Tepat jam 12 malam pada
hari terakhir,
Anda harus mandi
keramas, kemudian
memakai busana yang
serba suci dan memakai
wewangian.
5. Bakarlah Kemenyan
dengan menghadap ke
Timur atau Barat,
berfokus pada Kiblat Sejati,
yaitu Dada kita sendiri.
6. Mulailah tidur telentang,
diam, menutup segala
panca indra.
Tata caranya adalah
sebagai berikut: ·
Tetap membuka mata ·
Jempol kaki kiri dan kanan
disejajarkan ·
Mata kaki kiri dan kanan
dipertemukan ·
Lutut kaki kiri dan kanan
disejajarkan ·
Kemaluan dan kantong
kemaluan jangan sampai
terjepit ·
Kedua tangan
dipertemukan di depan
dada.
Jemari saling dipertemukan,
posisi jari dimasukkan ke
sela-sela jari yang lain. ·
Kedua jempol dipertemukan
ujungnya ·
Lidah ditekuk ke atas
langit-langit ·
Mulut tertutup rapat.
7. Tarik nafas perlahan,
bayangkan udara masuk
dari lubang hidung kiri,
dibawa menuju pusar,
tahan untuk beberapa
lama,
keluarkan sambil
membayangkan nafas
keluar dari lubang hidung
kanan.
8. Tenangkan nafas
9. Setelah tenang,
tarik nafas perlahan,
bayangkan udara masuk
dari lubang hidung kanan,
dibawa menuju pusar,
tahan untuk beberapa lama,
keluarkan sambil
membayangkan nafas
keluar dari lubang hidung
kiri.
10. Lakukan penarikan ini
sebanyak tiga kali,
artinya tariklah nafas
dari lubang hidung kiri 3X,
dan dari lubang hidung
kanan 3X,
berselang seling.
Setiap satu kali penarikan
dan pengeluaran nafas
harus diberi waktu jeda
beberapa saat untuk
menenangkan nafas.
11. Setelah enam kali
putaran,
tarik nafas dan
bayangkan nafas masuk
dari lubang hidung kiri,
langsung keluarkan dari
lubang hidung kanan.
Terik nafas dan
bayangkan nafas masuk
dari lubang hidung kakan
langsung keluar dari
lubang hidung kiri.
Tarik nafas dari kedua
lubang hidung
kumpulkan di pusar.
Bayangkan udara naik
ke dada.
Untuk sejenak diamkan
nafas di dada, lantas
bayangkan udara naik ke
kepala dan baca mantera
ini:
Ingsun tajalining
Dat Kang Amaha Suci,
Kang Amurba Amisesa,
Kang Kawasa Angandika
Kun Payakun.
Dadi Saciptaningsun,
ana sasedyaningsun,
teka sakarsaningsun,
anu metu saka
ing kodratingsun.
12. Lantas telapak tangan
kanan diselipkan ke
ketiak kiri dan
telapak tangan kiri
diselipkan ke ketiak
kanan.
Pejamkan mata.
Dalam kondisi ini,
tetaplah tahan napas. Biasanya akan tampak dalam batin pemandangan gaib atau maunah.
Jika sudah terlihat,
keluarkan nafas
dari lubang hidung secara perlahan.
Berpasrahlah kepada Dzat. Jika telah mendapat anugerah melihat pemandangan gaib,
maka Anda harus mengadakan selamatan, sebelumnya mengamalkan amalan di atas,
kirim tawasul yang
ditujukan kepada:
1.Kanjeng Nabi Muhammad
Saw
2.Kanjeng Susushunan ing
Ngampel Denta Kanjeng
Susushunan ing Kalijaga
3. Kanjeng Sultan Demak
ingkang Wekasan Kanjeng
Sultan Adiwijaya ing
Pajang
4.Kanjeng Panembahan
Senopati ing Ngalaga ing
Mataram Kanjeng Sinuwun
Kanjeng Sultan Agung
Prabu Hanyakra Kusumo
ing Mataram
Lalu baca
Doa Rasul,
Doa Kabul,
Doa Tulak Bilahi (Nur Buwat), dan
Doa Selamat.
(Lihat lampiran pada halaman terakhir buku ini….)
Pagi hari seusai lelaku jangan langsung tidur,
harus berjalan-jalan
di sekeliling pekarangan rumah untuk berjaga-jaga manakala mendapat isyarat lagi dari Tuhan.
Apa yang ditemui nanti benar-benar harus dijadikan petunjuk bagi kita. Sedangkan yang belum mendapat tanda saat lelaku, janganlah berkecil hati.
Bisa diulangi lagi untuk bulan berikutnya dan tidak usah melakukan selamatan.
Bagi yang sudah pernah mendapat isyarat gaib biasanya batinnya akan bertambah tajam.
Jika sewaktu-sewaktu Anda ingin memohon petunjuk, Anda tidak lagi perlu berpuasa.
Asalkan batin sudah merasakan sebuah tanda, Anda bisa langsung melakukan tafakur,
menutup semua panca indera sebagaimana dijelaskan di atas.
Saat-saat ijabah atau saat-saat yang tepat untuk melakukan lelaku adalah sebagai berikut:
1. Bulam Muharam tanggal 9 dan 10
2. Bulan Rabiul Awal tanggal 12
3. Bulan Rajab tanggal 27
4. Bulan Ruwah tanggal 15
5. Bulan Ramadhan tanggal 21, 23, 25,27, 29
6. Bulan Dulhijah tanggal 8 dan 9 65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar