Sabtu, 23 Oktober 2021

sahadat

[9/10 20:59] aji rasha: SYAHADAT

PENGERTIAN 
FANA DAN BAKA

Ketika seseorang berada dalam tahap puncak pendakian spiritualnya adalah masuk ke 
alam “Fana dan Baka”. 
Dan hal ini dijelaskan oleh Syekh Malaya / 
Sunan Kalijaga. 
Dia memaparkan pengetahuannya : 
Hendaknya waspada pada yang berikut ini. 
Jangan raguragu. 
Lihatlah Tuhan secara jelas! Tapi, bagaimana melihat-Nya? 
Karena Tuhan itu tidak memiliki rupa. 
Tuhan tidak berarah dan 
tidak berwarna. 
Tidak ada wujud-Nya. 
Tidak terikat oleh 
waktu dan tempat. Sebenarnya 
Ada-Nya itu tiada, 
seandainya Dia tidak ada, maka alam raya ini kosong dan tak ada wujudnya. 
Dan tatkala sesorang ber-Dzikir atau ber-Tafakur [dalam salat] sudah sangat khusyu/ intens, 
segala rupa yang muncul harus dilewatinya. 
Semua yang muncul itu hanyalah ilusi. 
Bayangan ke-Diri-an 
akan muncul. 
Seperti munculnya malaikat gunung yang menawarkan diri kepada 
Nabi Muhammad Saw sehabis beliau dianiaya orang-orang Thaif. 
Nabi menolak pertolongannya. 
Justru beliau berdoa agar masyarakat Thaif diberi petunjuk. 
Meskipun seorang mediator sudah bisa melewati berbagai godaan dan gangguan. 
Bisa melewati berbagai pesona. 
Bisa meninggalkan ajakan dari mereka-mereka yang menampakkan diri sebagai sanak saudara dan orang-orang lain yang 
telah meninggal. 
Bisa mengabaikan orang-orang yang tak dikenal dan menawarkan jasa. Tetapi, belum tentu mampu meloloskan diri dari jeratan Artadaya. 
Sang Artadaya ini menutupi Diri Sejati. 
Dia unjuk kekuatan. 
Dia pamer kekuasaan. 
Dia menawarkan kepada sang pendaki spiritual: 
“Apa yang kau minta? 
Apakah kau minta berlian-
sambil menun-jukan berlian dihadapan orang yang berzikir itu bagaikan butiran-butiran jagung? Apakah kau ingin menguasai itu sambil menunjukan daerah kekuasaan? 
Tetapi, 
seorang pezikir yang tawakal, tak tertarik berbagai iming-iming. 
Seorang pe-zikir akan terus melanjutkan pendakiannya. Mendaki sendiri. 
Karena pada akhirnya pengiring kita pun tak mampu. 
Semua malaikat tak mampu mengiringi perjalanan sang pendaki. 
Malaikat Jibril pun tak mampu. 
Semua saudara gaib kita juga tak mampu. 
Hanya Tuhan yang membimbingnya. 
Dengan demikian apa yang diungkapkan Syekh Malaya [Sunan Kalijaga] 
yang meminta sang pe-zikir untuk melihat Tuhan dengan jelas. 
Terang. 
Tanpa samara-samar! 
Harus yakin tanpa keraguan sekecil apapun. 
Dengan cara ini sang pezikir akan sampai di puncak Ma’rifat. 
Bagaimana cara cara melihat-Nya? 
Bukankah Tuhan itu tidak memiliki rupa. 
tidak ada arah dan warna-Nya. 
Bukankah Dia Tidak ada wujud-Nya. 
Tidak terikat oleh waktu dan tempat. 
Lalu, apa yang harus dilihat? Itulah ke-Fana-an! 
Fana bukanlah kesadaran tentang tiada. 
Fana bukanlah perasaan bahwa kita telah sampai di keadaan Fana. 
Fana bukanlah terciptanya konsentrasi / kekhusyuan. Fana bukanlah perasaan bahwa kita merasa hilang. Fana bukanlah kita merasa tidak melihat apa-apa. 
Lalu, apa yang dimaksud Fana oleh orang-orang Sufi itu? 
Dalam serat Syekh Malaya tersebut diungkapkannya bahwa jika Dia tidak ada maka kosonglah semesta raya ini. 
Apa yang disebut dalam 
serat itu merupakan bagian dari pembahasan para Wali tentang Ma’rifat. 
Tentunya itu bukan kalimat biasa. 
Dalam bahasa kata, pengetahuan tingkat tinggi itu tidak berbeda dengan pengetahuan orang awam. Itulah keterbatasan kata! Amat sulit mengungkapkan pengalaman spiritual dengan kata-kata. 
Karena melibatkan pengalaman batin. 

Tak ada kata buat mendefinisikan kata Fana. Tak ada kata untuk batasan bagi Fana. 
Secara kata, 
Fana itu artinya lenyap. Hilang. 
Siapa yang hilang disitu? 
Apa kita menjadi hilang sehingga tak bisa dilihat orang lain ketika ber-zikir? Atau ada perasaan bahwa kita ini hilang tatkala ber-zikir? 
Jawabannya bukan seperti itu. 
Kita tetap bisa dilihat orang ketika ber-zikir. 
Kita pun ada dalam kesadaran. 
Pada saat kita mengalami Fana, kita tidak tidur. 
Kita tidak mengantuk. Sehingga zikir kita tetap teguh, tidak berubah. 
Pada saat Fana itu, kita seperti orang yang tidur nyenyak, tapi nyatanya tidak tidur. 
Seperti tidur nyenyak yang tidak merasakan apa-apa. Tidak ada mimpi meski sekelebatan. 
Tidak ada kilatan apa-apa. Tidak ada kesadaran maupun ketidak sadaran. 
Keadaannya blanko Kosong, tiada goresan. 
Tidak ada perasaan bahwa saya ini hamba dan yang dihadapi itu Tuhan. 
Itulah Fana! 
Ya, memang seperti orang tidur pulas tanpa sebuah impian. 
Jadi yang membedakan antara orang yang ber-zikir [khusyu] dan orang yang tidur pulas itu keadaannya. 
Jika orang tidur, meski posisi awalnya duduk, badannya akan roboh ketika tertidur atau terkantuk. 
Kalau ia terlentang, maka dengus nafasnya ya sama dengan orang tidur. Dengusnya kasar. 
Bunyi napas orang tidur itu kasar. 
Sedangkan bunyi napas orang yang ber-zikir itu tidak terdengar. 
Seolah-olah tidak bernapas. Seorang ahli ma’rifat mereka berujar : 
KULLU NAFSIN ARIFIN KHOIRUN MIN IBADATI SAB’I’YAN SANATAN MIN KHOIRI AARIFIN 
(Artinya : 
Setiap nafas seorang yang ‘Arif Billah, lebih berharga dari 70 tahun ibadat orang yang bukan ‘Arif [awam]. Yang berarti 
Nafas seorang yang mengerti dan sadar terhadap diri dan kediriannya (khuluk), 
nafas yang memanfaatkan hidup dan kehidupannya untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan serta alam lingkungan (khalaq), 
nafas cinta kasih yang tenggelam dan sirna (Fana) dalam buaian cinta kasih Allah Yang Maha Pengasih (kholik), 
bukan seperti 
nafasnya seorang yang hanya untuk dirinya sendiri dan karena dirinya sendiri yang penuh kesombongan diri, melibatkan diri dalam kebohongan dunia, meskipun ibadatnya 70 tahun. 
Pada saat Fana 
dalam berzikir, 
bisa terjadi apa yang dinamakan “Majdzub”. 
Pada saat majdzub, 
hilang kesadaran manusiawinya, 
dan keadaan Fana ini bukan hanya terjadi pada saat duduk berzikir. 
Tidak demikian! 
Fana bisa terjadi ketika lagi berjalan, atau beraktivitas. Dengan tidak disadarinya, muncul ucapan 
“Subhani”, 
Mahasuci Aku. 
Ana Al-Haqq, 
Saya adalah 
Yang Mahabenar. 
Dan, berbagai ucapan lainnya, yang sepatutnya itu ucapan Tuhan. 
Itu, memang ucapan Tuhan. Orang yang majdzub itu hanyalah alat bagi Tuhan yang hendak memuji diri-Nya. “Dalam arti hakiki, hilang sirnalah (Fana) segala Af’al hamba dan seluruh makhluk ini. 
Yang tampak dan jelas adalah Af’al Allah swt”. Kesimpulan itu adalah 
suara batin dengan penuh kejujuran. 
Bukan karena ujaran guru dan Kitab, 
bukan pula karena kata si ‘Arif atau Waliulloh’. 
Semua guru, 
kitab-kitab dan ucapan-ucapan para ‘Arif hanyalah penuntun dan penunjuk jalan ke arah itu. ‘FAMINHU KHOIRU WASSYARU WANNAF’U WADDHURRU WAL’IMANU WAL’KUFRU’ 
[Maka dari Dialah (Allah); kebaikan dan keburukan, manfaat dan mudarat, 
iman dan kufur]. 
(Imam Al-Ghazali : ‘Minhajul ‘Abidin). 
Didalam hadist qudsi di sebutkan : 
“Ma ataqarraba ilayyal mutaqarribuna bimistli ada’i maftaradltu’alaihim, wala yazalul’abdu yataqarrabu ilayya bin nawafil, hatta uhibbahu, fa idza ahbabtuhu kuntu sam’ahulladzi yasma’u bihi wabasharahul ladzi yubshiru bihi wa lisanuhul ladzi yanthiqu bihi wayadahul lati yabthisyu biha wa rijlahul lati yamsyi biha wa qalbahul ladzi yadlmiru bihi” 
Artinya : 
Orang-orang yang merasa dekat kepada-KU, 
tidak hanya melaksanakan apa yang aku fardhukan kepada mereka, 
malah si hamba itu merasa dekat kepadaku dengan melaksanakan amal-amal Nawafil (tambahan) hingga akupun mencintainya. Apabila AKU sudah mencintainya, 
Aku-lah menjadi pendengarannya yang dengan itulah dia mendengar, Akulah yang menjadi matanya untuk melihat, Aku-lah yang menjadi tangannya untuk menggenggam, 
Aku-lah yang menjadi kakinya untuk berjalan, dan 
Aku pulalah yang menjadi hatinya yang dengan itu ia dapat berfikir dan bercita-cita. 
(Riwayat Imam Bukhari).

Dengan penjelasan dalil diatas benar-benar sang hamba tersebut menjadi alat. Nama-nya saja 
“alat”, 
ya tergantung yang menggunakannya. 
Cuma alat yang berbentuk manusia. 
Dalam Injil Yohanes 5 : 19, disebutkan bahwa Nabi Isa (Yesus) bersabda: 
“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari dirinya sendiri, jikalau ia tidak melihat Bapa mengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan anak”. 
Pada ayat 5 : 30 juga disebutkan, 
“Aku tidak bisa berbuat apa-apa dari diriku sendiri, Aku menghakimi sesuai dengan apa yang aku dengar, dan penghakimanku adil, sebab aku tidak menuruti kehendak (Nafsuku) sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus aku”. Didalam Al-Qur’an : Wayanthiqu anil hawa inhuwa ila wahyun yuha 
(q.s. an-najm : 2-3), 
Artinya: 
Dan temanmu (Muhammad) itu, tidaklah sesat apalagi keliru. Apa yang diucapkannya itu berasal dari Tuhan-Nya, bukan kehendak (nafsu-nya) sendiri. 
Dari Syekh Sayidina A Abi Abdullah Muhammad bin Sulaeman Aliazli r.a. dikatakannya : 
Wallahu kholaqokum 
wamaa ya’maluna 
wa la yashduru min ahadin min a’biydihi qowlun 
wa harakatun wasyukunun illa qod syabaqo fi i’lmihi wa qodhoo i’hi wa qodarihi Artinya : 
Dan Allah yang telah menciptakan kamu, dan menciptakan apa yang kamu lakukan, tak ada seorangpun diantara hamba-hambaNya yang melahirkan ucapan, perbuatan, gerak ataupun diam, melainkan sudah ada lebih dahulu pada ilmu-Nya Qodho dan Qodar-Nya. 
Orang yang tidak mengerti Ma’rifat biasanya menolak kejadian madjzub. 
Mereka tidak mau tahu adanya hadist atau dalil-dalil tersebut. 
Mereka tidak tahu bahwa Nabi Muhammad pun sering mengalami madjzub di depan istri-istri beliau. 
Misalnya, dihadapan Siti Aisyah. Nabi pun pernah bersabda 
“Ana Ahmad Bi La Mim”, (Saya Ahmad tanpa mim). Artinya apa? 
Ahad! 
Dalam bahasa awam, itu berarti Nabi menyebut dirinya Tuhan. 
Tapi, karena para sahabat termasuk istri-istri beliau sudah di didik tentang hal-hal yang sifatnya spiritual, makanya tidak timbul kekacauan pandangan di tengah masyarakat. 
Atau juga seperti yang telah diperbuat oleh Maulana Ibnu Ar-Arabi, dimana dia berujar “Ana Arrabi bi la ain”, 
“Saya Arrabi tanpa huruf Ain”, artinya apa ? 
Rabbi! Dalam bahasa awam, itu
[10/10 12:33] aji rasha: berarti Ibnu Arrabi telah menyebut dirinya Tuhan. Dalam Injil Yohanes Pasal 14 ayat 6, Nabi Isa (Yesus) berkata kepada muridnya-- Thomas, “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa (Tuhan), kalau tidak melalui aku”. 
Bagi mereka yang sudah memahami makrifat, tidak akan heran terhadap sabda Kanjeng Nabi Isa tersebut. Tak ada orang makrifat menyebut orang lain Tuhan.

Bahkan Syekh Siti Jenar pun tidak pernah menyuruh orang lain menyebut dirinya Tuhan. Mengapa? 
Karena tingkat makrifat setiap orang bisa menjadi manifestasi Tuhan. 
Jadi, sebutan 
“ingsun Allah”, 
“saya ini Allah”, 
tidak berarti memper-Tuhan-dirinya, 
atau menyuruh orang lain menyebut dirinya sebagai Tuhan. 
Itulah kesadaran orang yang lagi majdzub. 
Itulah sebabnya Kanjeng 
Nabi Isa pun mengatakan itu di depan muridnya [Thomas]. Bukan sebagai deklarasi tentang ketuhanan beliau di depan orang banyak. 
Setelah tahap Fana tercapai, maka dirinya akan terserap oleh Tuhan. 
Masuk ke dalam wilayah ketuhanan. 
Secara otomatis memasuki keadaan Baqa alias baka. Yaitu, memasuki alam kekekalan. 
Di alam ini pengalaman orang satu dengan yang lainnya akan sama. 
Itulah sebabnya semua nabi merasa melihat sesuatu yang sama. 
Mereka melihat kebenaran yang sama. 
Makanya, tidak ada nabi yang satu konflik dengan nabi lainnya. 
Masing masing menerima kodrat kenabiannya. 
Tanpa melakukan klaim bahwa dirinyalah Nabi yang benar sedang nabi lainnya salah. 
Lihatlah, Kanjeng Nabi Musa tidak pernah menyalahkan nabi yang lain setelah dia mencapai tahap baka, yaitu setelah bertemu Nabi Hidir. Tak ada seorang nabi pun yang di cela oleh Kanjeng Nabi Isa di dalam Injil. Kanjeng Nabi Muhammad pun tak akan mencela nabi dan rasul lainnya. 
Tak pernah menyalahkan ajaran para nabi lainnya. Termasuk tidak menyalahkan Musailamah. 
Justru Musailamah yang merasa tersaingi kenabiannya oleh Nabi Muhammad. 
Ya, siapa saja yang mengaku sebagai nabi tapi masih menyalahkan nabi-nabi lainnya, jelas dia bukan nabi. Wali sejati pun tidak pernah menyalahkan wali lainnya. Tidak mengusik ajaran yang disampaikan oleh wali lainnya. 
Mengapa? Karena dia menyadari bahwa kebenaran itu datangnya dari Tuhan yang sama 
[AL-HAQU MIRABBIKUM]. 
Lha, masa ajaran wali lain diprotes. 
Bukankah wali sejati sudah sampai tahap baka? 
Orang yang sudah sampai pada tahap ini tidak ada lagi perasaan dengki. 
Karena kedengkian itu perbuatan setan. 
Wali sejati itu wahananya Tuhan. 
Disebutkan di dalam Al-Qur’an bahwa para wali Allah, karena keimanan dan ketakwaan mereka, maka mereka tak tersentuh ketakutan dan penderitaan dalam hidupnya. 
[Inna Awliyaa A’llahi Laa Khaufun A’laiyhim Wa Lahum Yahzanun Q.S. 10 : 62]. Keimanan bukan semata-mata karena kepercayaan. 
Tetapi buah dari Ma’rifatnya. Sedangkan ketakwaan bukan hanya di bibir. 
Tapi, benar-benar wujud dari zikirnya kepada Tuhan yang di amalkan setiap saat. Tahap Fana sudah dilalui. Tahap baka dimasukinya. Akhirnya dia melihat hakikatnya sesuatu. 
Jika sudah demikian apanya yang perlu ditakutkan? Apanya yang perlu dikhawatirkan? 
Semua penderitaan lenyap, karena Tuhan sendiri yang menjaganya. 
Ia bisa hidup tanpa tergantung pada orang lain, karena Tuhan sendiri yang menjadi gantungannya. 
Ia bisa memecahkan persoalan hidup ini karena Tuhan sendiri yang mengajarinya. 
Intinya setelah seseorang bisa mencapai tahap Fana dan Baka, 

maka sebenarnya dia telah menemukan pusat dirinya. Dia sudah menemukan Kabah/ Mekah sejatinya. 
Dia sudah mengenal Dirinya. Dia sudah sampai pada Al-Haqq. 
Tahap akhir sepiritualnya! Tak secuil pun pikiran ikut mempengaruhi perilakunya. Tak ada rekayasa yang timbul dari hawa nafsunya. Semua perilakunya adalah manifestasi Tuhan.
[10/10 12:57] aji rasha: SYAHADAT 
NUR MUHAMMAD

Ketika Anda mengucapkan syahadat, itu berarti Anda melakukan persaksian. Tetapi jika Anda berani menjadi saksi tanpa menyaksikan sendiri sesuatu yang Anda saksikan, berarti kesaksian Anda palsu belaka. Oleh karenanya, 
sebuah kesaksian yang sejati tentunya berasal dari 
Dzat Tuhan itu sendiri, dan kita yang tidak menyaksikan sendiri apa yang dipersaksikan, 
hanya wajib mengikuti saja kesaksian dari Dzat Tuhan. Kita tidak tahu apapun, hanya Dzat Tuhan yang maha tahu. Lantas bagaimana bersyahadah yang benar? Untuk dapat memahami syahadah ini, 
baiklah saya akan bercerita pada peristiwa saat 
Bom Bali. 
Ada seorang ibu menjadi saksi kehebatan Bom Bali tersebut, padahal ibu tsb tidak menyaksikan meledaknya bom tsb, tetapi kenapa bisa menjadi saksi…? Ceritanya ibu tsb sdg menidurkan anaknya, tiba-tiba ranjangnya bergetar hebat sampai anaknya kaget terbangun dan menangis, padahal jarak rumahnya dengan tempat bom meledak jaraknya 2 km. 
Hal ini menunjukkan betapa hebatnya ledakan tsb. 
Cerita ke-dua adalah seorang buta dapat berjalan puluhan kilometer tanpa tersandung karena menggunakan tongkat sebagai penunjuk rasa. 
Saya katakan RASA, 
karena panca indera matanya tidak berfungsi. 
Demikian juga, jika Anda sudah pernah meminum kopi, Anda sudah dapat membedakan mana kopi dan mana yang bukan dengan meminumnya meskipun Anda tidak melihat. 
Ini semua adalah yang berkerja adalah 
RASA. 
Demikianlah dengan syahadah, 
meskipun Anda belum melihat atau menyakasikan Allah dan Rasulullah Saw, Anda dapat dikatakan bersyahadah dengan benar jika sudah bisa merasakan

sifat-sifat Allah dan sifat-sifat Rasulullah Saw.

Untuk merasakan sifat-sifatnya tersebut 
yaitu dengan cara 
melakukan 
atau 
menjalankan 
sifat-sifat tersebut. 
Karena hanya dengan demikianlah kita dapat mengenalnya, 
meskipun tanpa melihat. Seperti kita akan tahu rasa kopi karena pernah meminum kopi tersebut. 
Jadi jika Anda masih belum memiliki perbuatan yang bersikronasi (sesuai getarannya) 
dengan sifat-sifat tersebut, Anda masih dikatakan bersyahadah palsu. Syahadah merupakan 
pintu gerbang berhubungan dengan 
Allah 
dengan 
Rasullullah Saw, 
dengan ilmu-ilmu semuanya termasuk dengan 
alam semesta. 
Itulah sebabnya tanpa membaca syahadah, 
maka seluruhnya masih terhijab. 
Jika seluruh pelajaran tersebut di atas sudah Anda pahami, Anda lantas bisa mengucapkan 
syahadat Sejati 
di dalam batin. 
Syahadat Sejati 
adalah 
persaksian 
Dzat Tuhan 
kepada 
Dzat-Nya sendiri. 
Syahadat Sejati 
adalah 
persaksian 
Dzat Tuhan 
atas 
Nur Muhammad, 
Cahaya Terpuji, 
kepada 
Dzat-Nya sendiri. 
Syahadat Sejati sebaiknya dibaca dalam batin saja, seyogyanya 
tidak terucap dari lisan Anda. 

1. Api, berwarna merah, 
    itulah Nur, 
    pujiannya: Asyhadu alla
    ilaha illallah, 
    aku bersaksi tiada Tuhan
    selain Allah. 
2. Bumi, berwarna hitam,
    itulah Wujud, 
    pujiannya: Wa asyhadu
    anna Muhammadar
    Rasulullah, dan 
    aku bersaksi Muhammad
    Utusan Allah. 
3. Air, berwarna putih, 
    itulah Syuhud, 
    pujiannya: Syahidna ala
    anfusina wa tsabbit
   ‘indahu innahu la ilaha illa
    huwa, 
    Kami bersaksi pada diri
    kami sendiri dan
    tetapkanlah kami
    bersama-Nya;
    sesungguhnya Dia, 
    tiada Tuhan selain Dia. 
4. Angin, berwarna kuning,
    itulah Ngelmu, 
    pujiannya: La syarika lahu
    la ilaha illa ana, 
    tiada sekutu bagi-Nya;
    tiada tuhan selain Aku.
   
Sebagai rangkuman dari anasir manusia tersebut 
agar tidak menjadi 
hijab Roh Idhafi, 
maka harus dizikirkan 313x selama 7 hari, 
selanjutnya 
cukup di dawamkan 
dibaca 3x ba’da sholat. Syahadat ini disebut 
sahadat sejati manusia: Asyhadu alla ilaha illallah 
wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. Syahidna ala anfusina 
wa tsabbit ‘indahu innahu 
la ilaha illa huwa; 
La syarika lahu 
la ilaha illa ana. 
Artinya: 
Aku bersaksi 
tiada Tuhan selain Allah 
dan aku bersaksi 
Muhammad Utusan Allah. Kami bersaksi 
pada diri kami sendiri 
dan tetapkanlah kami bersama-Nya; 
Sesungguhnya Dia, 
tiada Tuhan selain Dia. 
Tiada sekutu bagi-Nya; 
tiada tuhan selain Aku.

Dilanjutkan membaca afirmasi di bawah ini dengan penuh penghayatan: 
"AL IZZATUL LILLAHI BI'ISMILLAHIRRAHMANNIRRAHIM" 
jiwaku adalah 
kebenaran Allah, 
KUN SHOLLI ALA MUHAMMAD 
KUNI MUHAMADAN"
wujud

Ini adalah bagian dari 
kalimat yg disembunyikan kaum makrifat ygmengetahui inti membangun kekuatan NUR Muhamad. 
Ilmu ini telah dibuktikan berulang kali dan 
benar benar tajrib, 
adalah contoh nya 
ada seorang sahabat yg telah habis juta'an dana hanya untuk membuat toko nya laris, 
tapi apa lacur dana habis oleh jimat-jimat dan amalan amalan yg bermahar tinggi, tapi buktinya belum bisa dirasakan secara signifikan, toko tersebut tetap aja sepi. Setelah mengamalkan dengan ilmu ini, dalam waktu kurang dari satu bulan 
toko nya rame dengan 
para pembeli, 
beliau bereksperimen dengan mengisinya pada air 
agar laris manis. 
Selain yang tersebut 
di atas,
manfaat syahadat ini 
antara lain: 
- Untuk menguasai hampir semua 
ilmu pengobatan diri sendiri dan juga orang lain - Penyempurnaan dari 
segala energi kaji diri yang selama bertahun tahun di amalkan 
- Membuka gerbang pengetahuan ilmu makrifat serta ilmu kebatinan semula jadi. 
- Dan masih banyak lagi.
[10/10 13:53] aji rasha: SYAHADAT SEJATI LENGKAP:

Ingsun anekseni 
ing Datingsun dhewe, satuhune ora ono Pangeran anging Ingsun, 
lan anekseni satuhune Muhammad iku utusan ingsun. 
Iya sajatine kang aran Allah iku Badaningsun, 
Rasul iku Rahsa ningsun, Muhammad iku Cahayaningsun. 
(Dilakukan selama 41 hari sebanyak 99X ulangan)

Dalam wejangan ini jelas sekali bahwa 
Dzat Tuhan telah menyatakan adanya kesatuan tunggal 
dari tiga hal: 
1. Allah; 
2. Muhammad ; 
3. Rasul (orang terpilih/
    Mustafa) 
   Allah diakui sebagai
   Badan-Nya, 
   Muhammad diakui sebagai
   Cahaya-Nya, 
   dan Rasul (Utusan) diakui
   sebagai Rahsa Sejati yang
   Rahasia atau Rahsa-Nya.
   Allah adalah 
   Badan Sejati dari 
   Dzat (Dzatullah).
   Muhammad adalah Cahaya
   Terpuji (Nur Muhammad)
   dari Dzat (Nurullah), dan
   Rasul adalah Rahsa Sejati
   Yang Rahasia dari 
   Dzat (Sirullah). 
Allah, Muhammad, dan Rasul adalah tunggal.
 
Di dalam badan manusia, Allah telah meliputi Hayyu
(hidup) atau Roh Manusia.

Muhammad telah meliputi Nur (cahaya) manusia dan

Rasul telah meliputi Kaca (cermin) atau Rahsa/Sir manusia. 

Jika yang diwejang sudah memahami Syahadat Sejati, ia bisa berlanjut dengan melafalkan 
SYAHADAT SEJATI KUBRO yang diucapkan 
di dalam batin. 
Disebut 
kesaksian puncak 
karena sudah meliputi syahadah 
syariat, 
hakikat dan 
makrifat. 
Isi seperti ini: 
Ingsun anekseni ing Datingsun dhewe, 
satuhune ora ono Pangeran anging Ingsun, 
lan anekseni satuhune Muhammad iku utusaningsun. 
Iya sajatine kang aran Allah iku Badaningsun, 
Rasul iku Rahsa ningsun, Muhammad iku Cahayaningsun. 
Iya Ingsun Kang Urip 
ora keno pati; 
iya Ingsun Kang Eling 
ora keno ing lali; 
Iya Ingsun Kang Langgeng ora keno owah gingsir ing Kahanan Jati; 
iya Ingsun kang Waskitha 
ora kasamaran ing sawijiwiji; iya Ingsun Kang Amurba Amisesa Kang Kawasa Wicaksana ora kekurangan ing Pangerti; 
Byar sampurna padhang terawangan, 
ora karasa apa-apa, 
ora ana katon apaapa, mung Ingsun kang anglimputi ing alam kabeh 
kalawan kodratingsun.

Setelah 41 hari membaca Syahadat Sejati, 
amalkan amalan di atas ini 3X saja setiap hari: 
Namun dalam wejangan sebelumnya 
Muhammad juga diakui sebagai utusan-Nya. 
Oleh karena itu kedudukannya menjadi seperti ini: 
1. Muhammad 
    diakui sebagai Cahaya-Nya
    sekaligus utusannya. 
2. Rasul 
    diakui sebagai Rasa Sejati
    Yang Rahasia/Rahsa/Sir
  ,  sekaligus utusannya.

Pengertian Muhammad 
disini jelas bukan 
Kanjeng Nabi Muhammad. Rasul di sini jelas 
bukan seorang manusia 
yang diutus untuk menyampaikan risalah. Muhammad 
di sini adalah 
Cahaya Yang Elok, 
Cahaya Terpuji, 
Nur Muhammad. 
Dan Rasul 
disini adalah 
Rasa Sejati Yang Rahasia, Rahsa, 
Sir. 
Pertanda nyata bahwa 
hidup kita adalah 
Tajalli dari 
Dzat Yang Maha Suci, 
dapat dilihat bahwa 
hidup kita memiliki suatu kesadaran 
kuasa dan 
kehendak, 
yaitu suatu kesadaran 
yang juga dimiliki oleh 
Dzat Yang Maha Suci 
dengan 
kodrat dan iradat-Nya. Sesungguhnya 
kodrat dan iradat hidup kita ini berasal dari 
Kodrat dan Iradat 
Dzat Yang Maha Suci 
yang 
bersifat hidup. 
Itulah mengapa 
keberadaan manusia 
terdiri dari 
tujuh tingkatan yang dipakai sebagai 
Warana Dzat, 
menjadi tempat 
Sifat, 
Asma, 
Af’al 
Dzat. 
Tujuh tingkatan tersebut adalah sebagai berikut:

Hayyu 
berarti Urip (hidup), 
berada di luar Dzat. 

Nur 
berarti Cahaya, 
berada di luar Hayyu. 

Sir 
bearti Rahsa / rasa sejati yang rahasia, 
berada di luar Nur. 

Roh Idlafi 
bearti Roh yang telah bersandar, 
disebut Sukma, 
berada di luar Sir. 

Nafsu 
bearti kepribadian 
berada di luar Roh Idlafi. 

Budi 
berarti kesadaran Jaga, berada di luar Nafsu. 

Jasad, 
berarti Badan Fisik, 
berada di luar Budi.

Hayyu atau Hidup 
mendapat 
wewenang Dzat 
untuk menghidupi keberadaan 
Nur, 
Sir, 
Roh Idlafi, 
Nafsu, 
Budi, 
Jasad. 

Merata tanpa satupun 
yang terlewati. 
Adapun yang 
tampak dan bisa kita raba dari keberadaan Hayyu, 
satu persatu penjelasannya adalah sebagai berikut: 

1. Ketika Hayyu 
    menghidupi Nur, 
    ia meresap pada 
    mata batin kita. 
    Oleh karenanya kita
    memiliki kesadaran
    kepahaman (awareness).
   Jika kita memiliki
   kesadaran kepahaman, 
   itu berarti 
   Penglihatan Dzat 
   memakai mata batin kita. 

2. Ketika Hayyu 
    menghidupi Sir, 
    ia meresap kepada 
    hidung batin kita. 
    Oleh karenanya kita
    memiliki perasaan. 
   Jika kita mampu merasa,
    itu berarti Penciuman Dzat
    memakai hidung batin kita.

3. Ketika Hayyu 
    menghidupi Roh Idlafi, 
    ia meresap kepada lidah
    batin kita. 
    Oleh karenanya kita
    mampu berinteraksi. 
   Jika kita mampu
    berinteraksi, itu berarti
    Pengucapan Dzat memakai
    Lidah batin kita. 

4. Ketika Hayyu 
    menghidupi nafsu, 
    ia merata pada telinga
    batin kita. 
   Oleh karenanya kita mampu
   menerima segala sensasi
   dari dunia luar. 
  Jika kita mampu menerima
  segala sensasi dari dunia
  luar, itu berarti 
  Pendengaran Dzat memakai 
  telinga batin kita. 

5. Ketika Hayyu 
    menghidupi Budi, 
    ia merata pada otak dan
    jantung. 
   Oleh karenanya kita
   memiliki kesadaran Jaga
   (Conciousness), itu berarti
   Kesadaran Jaga Dzat
   memakai Otak dan Jantung
   kita. 

6. Ketika Hayyu 
    menghidupi jasad, 
    merata pada Darah. 
    Oleh karenanya seluruh
    jasad bisa hidup. 
   Jika kita memiliki
    kehidupan, itu berarti 
    hidup Dzat memakai jasad
    kita. 

Tidak beda 
ketika 
Dzat menghidupi 
seluruh isi alam; 
Matahari, 
Bulan, 
Bintang, 
dsb nya. 
Untuk semakin memantapkan keyakinan, kita bisa buktikan sendiri dengan 
menjalani laku PRIHATIN, memohon petunjuk kehendak Dzat Yang Maha Kuasa. 
Yang sudah sering berlaku, jika kita berkenan menjalani lelaku, dapat dipastikan akan muncul MAUNAH 
yang keluar dari 
badan kita sendiri. 
Maunah tersebut dapat terlihat jelas dalam batin. Jika Maunah sudah menampak nyata, 
maka apapun yang kita inginkan akan terlaksana.

Apapun yang kita kehendaki akan datang, 
apapun yang kita harapkan akan ada, 
atas kehendak 
Dzat Yang Maha Kuasa. 
Di bawah ini salah satu petunjuk menjalani 
laku prihatin, 
wasiat dari 
Kanjeng Panembahan Senopati Ing Ngalaga Ing Mataram: 
1. Mulailah mengurangi
    makan, minum, tidur,
   senggama, untuk beberapa
   hari. 

2. Jika sudah mantap,
    mulailah melakukan puasa,
    berarti tidak makan, tidak
    minum selama 24 jam. 
    Dan ini dilakukan selama
    tiga hari tiga malam. 
    Itu berarti, Anda harus
    memulai puasa pada jam 
    6 sore dengan 
   diawali mandi keramas, lalu
   makan dan minum. 
   Selama 24 jam 
   kemudian Anda tidak
  diperkenankan makan dan
  minum hingga jam 6 sore
  lagi. 
  Demikian berturut-turut
  hingga tiga hari tiga malam.

3. Pada hari terakhir 
   Anda tidak diperkenankan
   tidur. 

4. Tepat jam 12 malam pada
     hari terakhir, 
    Anda harus mandi
    keramas, kemudian
    memakai busana yang
    serba suci dan memakai
    wewangian. 

5. Bakarlah Kemenyan
    dengan menghadap ke
    Timur atau Barat, 
   berfokus pada Kiblat Sejati,
   yaitu Dada kita sendiri. 

6. Mulailah tidur telentang,
    diam, menutup segala
    panca indra. 
   Tata caranya adalah
   sebagai berikut: · 
   Tetap membuka mata ·
   Jempol kaki kiri dan kanan
   disejajarkan · 
   Mata kaki kiri dan kanan
   dipertemukan · 
   Lutut kaki kiri dan kanan
   disejajarkan · 
   Kemaluan dan kantong
   kemaluan jangan sampai
   terjepit · 
   Kedua tangan
   dipertemukan di depan
   dada. 
  Jemari saling dipertemukan,
   posisi jari dimasukkan ke
   sela-sela jari yang lain. ·
   Kedua jempol dipertemukan
   ujungnya · 
   Lidah ditekuk ke atas
   langit-langit · 
   Mulut tertutup rapat. 

7. Tarik nafas perlahan,
     bayangkan udara masuk
    dari lubang hidung kiri,
    dibawa menuju pusar,
    tahan untuk beberapa
    lama, 
    keluarkan sambil
    membayangkan nafas
    keluar dari lubang hidung
    kanan. 

8. Tenangkan nafas 

9. Setelah tenang, 
    tarik nafas perlahan, 
    bayangkan udara masuk
    dari lubang hidung kanan,
   dibawa menuju pusar, 
   tahan untuk beberapa lama,
   keluarkan sambil
   membayangkan nafas
   keluar dari lubang hidung
   kiri. 

10. Lakukan penarikan ini
      sebanyak tiga kali, 
      artinya tariklah nafas 
     dari lubang hidung kiri 3X,
     dan dari lubang hidung
      kanan 3X, 
      berselang seling. 
      Setiap satu kali penarikan
     dan pengeluaran nafas
      harus diberi waktu jeda
      beberapa saat untuk
      menenangkan nafas. 

11. Setelah enam kali
      putaran, 
      tarik nafas dan
      bayangkan nafas masuk
     dari lubang hidung kiri, 
     langsung keluarkan dari
     lubang hidung kanan.
     Terik nafas dan
     bayangkan nafas masuk
     dari lubang hidung kakan
     langsung keluar dari 
     lubang hidung kiri. 
    Tarik nafas dari kedua
     lubang hidung 
     kumpulkan di pusar.
     Bayangkan udara naik 
     ke dada. 
     Untuk sejenak diamkan
     nafas di dada, lantas
     bayangkan udara naik ke
     kepala dan baca mantera
     ini: 
Ingsun tajalining 
Dat Kang Amaha Suci, 
Kang Amurba Amisesa, 
Kang Kawasa Angandika 
Kun Payakun. 
Dadi Saciptaningsun, 
ana sasedyaningsun, 
teka sakarsaningsun, 
anu metu saka 
ing kodratingsun. 

12. Lantas telapak tangan
      kanan diselipkan ke
      ketiak kiri dan 
      telapak tangan kiri
     diselipkan ke ketiak
     kanan. 
Pejamkan mata. 
Dalam kondisi ini, 
tetaplah tahan napas. Biasanya akan tampak dalam batin pemandangan gaib atau maunah. 
Jika sudah terlihat, 
keluarkan nafas 
dari lubang hidung secara perlahan. 
Berpasrahlah kepada Dzat. Jika telah mendapat anugerah melihat pemandangan gaib, 
maka Anda harus mengadakan selamatan, sebelumnya mengamalkan amalan di atas, 
kirim tawasul yang 
ditujukan kepada: 

1.Kanjeng Nabi Muhammad
   Saw
 
2.Kanjeng Susushunan ing
   Ngampel Denta Kanjeng
   Susushunan ing Kalijaga

3. Kanjeng Sultan Demak
    ingkang Wekasan Kanjeng
    Sultan Adiwijaya ing
    Pajang 

4.Kanjeng Panembahan
   Senopati ing Ngalaga ing
   Mataram Kanjeng Sinuwun
   Kanjeng Sultan Agung
   Prabu Hanyakra Kusumo
   ing Mataram


Lalu baca 
Doa Rasul, 
Doa Kabul, 
Doa Tulak Bilahi (Nur Buwat), dan 
Doa Selamat. 
(Lihat lampiran pada halaman terakhir buku ini….)

Pagi hari seusai lelaku jangan langsung tidur, 
harus berjalan-jalan 
di sekeliling pekarangan rumah untuk berjaga-jaga manakala mendapat isyarat lagi dari Tuhan. 
Apa yang ditemui nanti benar-benar harus dijadikan petunjuk bagi kita. Sedangkan yang belum mendapat tanda saat lelaku, janganlah berkecil hati. 
Bisa diulangi lagi untuk bulan berikutnya dan tidak usah melakukan selamatan. 
Bagi yang sudah pernah mendapat isyarat gaib biasanya batinnya akan bertambah tajam. 
Jika sewaktu-sewaktu Anda ingin memohon petunjuk, Anda tidak lagi perlu berpuasa. 
Asalkan batin sudah merasakan sebuah tanda, Anda bisa langsung melakukan tafakur, 
menutup semua panca indera sebagaimana dijelaskan di atas. 
Saat-saat ijabah atau saat-saat yang tepat untuk melakukan lelaku adalah sebagai berikut: 
1. Bulam Muharam tanggal 9 dan 10 

2. Bulan Rabiul Awal tanggal 12 

3. Bulan Rajab tanggal 27 

4. Bulan Ruwah tanggal 15 

5. Bulan Ramadhan tanggal 21, 23, 25,27, 29 

6. Bulan Dulhijah tanggal 8 dan 9 65

Tidak ada komentar:

Posting Komentar