Sabtu, 23 Oktober 2021

guru sejati

GURU SEJATI

Sering menjadi pertanyaan adalah bagaimana jadinya seandainya kita tidak sempat berjumpa dan berguru kepada guru pembimbing ruhani yang seperti itu ? Untuk itu kita tak perlu khawatir, karena sesungguhnya 
Guru Sejati 
ada 
di dalam diri… 
di dalam SIR 
ada AKU, 
tempat AKU 
menyimpan rahasia… 

Berarti pintu ijtihad masih tetap terbuka… 
Jangan menafsirkan 
hadis Rasulullah Saw 
dengan letterlijk yang menyampaikan kalau belajar ilmu tanpa bimbingan guru maka pembimbingnya adalah syaitan. 
Kuncinya adalah 
yakin dan tetap berpegang teguh kepada Al Qur’an dan Sunah Rosulullah 
insya Allah kita pasti selamat. 
Sekali lagi, 
Guru Sejati ada di dalam diri… Fisik berupa jasad atau raga, sedangkan metafisiknya adalah 
roh,
jiwa (nafs) dan 
akal (aqli). 
Ilmu Jawa melihat bahwa 
roh manusia memiliki pamomong (pembimbing) yang disebut guru sejati. 
Guru Sejati berdiri sendiri menjadi pendamping dan pembimbing roh atau 
sukma. 
Roh atau sukma 
di siram “air suci” oleh 
guru sejati, 
sehingga sukma menjadi sukma sejati. 
Di sini tampak Guru sejati memiliki fungsi sebagai resources atau 
sumber “pelita” kehidupan. Guru Sejati layak dipercaya sebagai “guru” 
karena ia bersifat teguh dan memiliki 
hakekat “sifat-sifat” Tuhan (frekuensi kebaikan) 
yang abadi 
konsisten 
tidak berubah-ubah 
(kang langgeng tan 
owah gingsir). 
Guru Sejati adalah 
proyeksi dari 
rahsa/
rasa/
sirr 
yang merupakan 
rahsa/
sirr 
yang sumbernya adalah kehendak Tuhan; 
terminologi Jawa menyebutnya sebagai 
Rasa Sejati. 
Dengan kata lain 
rasa sejati sebagai proyeksi atas “rahsaning” Tuhan (sirrullah). 
Sehingga tak diragukan lagi bila peranan Guru Sejati akan “mewarnai” energi hidup atau roh menjadi energi suci 
(roh suci/ruhul kuddus). 
Roh kudus/roh al quds/sukma sejati, telah mendapat “petunjuk” Tuhan –
dalam konteks ini 
hakikat rasa sejati– 
maka peranan roh tersebut tidak lain sebagai 
“utusan Tuhan”. 
Jiwa, hawa atau nafs 
yang telah diperkuat dengan sukma sejati atau 
dalam terminologi Arab disebut ruh al quds. 
Disebut juga sebagai 
an-nafs an-natiqah, 
dalam terminologi Arab juga disebut sebagai 
an-nafs al-muthmainah, adalah sebagai 
“penasihat spiritual” 
bagi jiwa/nafs/hawa. 
Jiwa perlu di dampingi 
oleh Guru Sejati 
karena ia dapat dikalahkan oleh nafsu yang berasal dari jasad/raga/organ tubuh manusia. 
Jiwa yang ditundukkan 
oleh nafsu 
hanya akan merubah karakternya menjadi jahat. 

Menurut ngelmu Kejawen, ilmu seseorang dikatakan sudah mencapai puncaknya apabila sudah bisa menemui wujud Guru Sejati. 
Guru Sejati benar-benar 
bisa mewujud dalam bentuk “halus”, 
wujudnya mirip dengan 
diri kita sendiri. 
Mungkin sebagian pembaca yang budiman ada yang secara sengaja atau 
tidak pernah 
menyaksikan, berdialog, atau sekedar melihat diri sendiri tampak menjelma 
menjadi dua, seperti melihat cermin. 
Itulah Guru Sejati anda. 
Atau bagi yang dapat 
meraga sukma, 
maka akan melihat kembarannya yang 
mirip sukma atau 
badan halusnya sendiri. Wujud kembaran 
(berbeda dengan konsep sedulur kembar) 
itu lah entitas Guru Sejati. Karena Guru Sejati 
memiliki sifat hakekat Tuhan, maka segala nasehatnya akan tepat dan benar adanya. Tidak akan menyesat-kan. Oleh sebab itu bagi yang dapat bertemu Guru Sejati, saran dan nasehatnya layak diikuti. 
Bagi yang belum bisa bertemu Guru Sejati, 
anda jangan pesimis, 
sebab Guru Sejati akan selalu mengirim pesanpesan berupa sinyal dan getaran 
melalui Hati Nurani anda. Maka anda dapat mencermati suara hati nurani anda sendiri untuk memperoleh petunjuk penting bagi permasalahan yang anda hadapi. 
Namun permasalahannya, jika kita kurang mengasah ketajaman batin, 
sulit untuk membedakan apakah yang kita rasakan merupakan kehendak hati nurani 
(kareping rahsa) ataukah kemauan hati atau 
hawa nafsu 
(rahsaning karep). 
Artinya, Guru Sejati menggerakkan suara hati nurani 
yang diidentifikasi pula sebagai kareping rahsa atau kehendak rasa 
(petunjuk Tuhan) sedangkan hawa nafsu 
tidak lain merupakan rahsaning karep atau 
rasanya keinginan. 
Sarat utama kita bertemu dengan Guru Sejati kita adalah 
dengan laku prihatin; 
yakni selalu 
mengolah rahsa, 
mesu budi, 
maladihening, 
mengolah batin dengan cara membersihkan hati 
dari hawa nafsu, dan menjaga kesucian jiwa dan raga. 
Sebab orang yang dapat bertemu langsung dengan Guru Sejati nya sendiri, hanyalah orang-orang yang terpilih dan pinilih.
.

MENGOLAH GURU SEJATI

Guru Sejati yakni 
rahsa sejati; 
meretas ke dalam 
sukma sejati, atau 
sukma suci, 
kira-kira sepadan dengan makna 
roh kudus 
(ruhul kudus/ruh al quds). Kita mendayagunakan 
Guru Sejati kita dengan 
cara mengarahkan kekuatan metafisik sedulur papat (dalam lingkup mikrokosmos) 
untuk selalu waspada dan jangan sampai tunduk oleh hawa nafsu. 
Bersamaan menyatukan kekuatan mikrokosmos dengan 
kekuatan makrokosmos yakni 
papat keblat alam semesta yang berupa energi alam 
dari empat arah mata angin, lantas melebur ke dalam kekuatan pancer 
yang bersifat transenden (Tuhan Yang Mahakuasa). Setiap orang bisa bertemu Guru Sejatinya, 
dengan syarat kita dapat menguasai hawa nafsu negatif; 
 
nafsu lauwamah 
(nafsu serakah; makan, minum, kebutuhan ragawi), 

amarah 
(nafsu angkara murka), 

supiyah 
(mengejar kenikmatan duniawi) 
dan 
mengapai nafsu positif dalam sukma sejati 
(al mutmainah). 

Sehingga jasad dan nafs/hawa nafsu lah 
yang harus mengikuti kehendak sukma sejati 
untuk menyamakan frekuensinya 
dengan gelombang 
Yang Maha Suci. 
Sukma menjadi suci 
tatkala sukma kita sesuai dengan karakter dan 
sifat hakekat gelombang Dzat Yang Maha Suci, 
yang telah meretas 
ke dalam 
sifat hakekat Guru Sejati. Yakni 
sifat-sifat Sang Khaliq 
yang (minimal) meliputi 
20 sifat. 
Peleburan ini dalam terminologi Jawa disebut manunggaling kawula-Gusti. Tradisi Jawa mengajarkan tatacara membangun sukma sejati dengan cara ‘manunggaling kawula Gusti’ atau 
penyatuan/
penyamaan sifat hakikat makhluk dengan 
Sang Pencipta 
(wahdatul wujud). Sebagaimana makna warangka manjing curiga; manusia masuk 
kedalam diri “Tuhan”, 
ibarat Arya Sena masuk kedalam tubuh Dewaruci. Atau sebaliknya, 
Tuhan menitis ke dalam 
diri manusia; 
curigo manjing warongko, laksana Dewa Wishnu menitis ke dalam 
diri Prabu Kreshna. 
Sebagai upaya 
manunggaling kawula gusti, segenap upaya awal dapat dilakukan seperti melalui ritual 
mesu budi, 
maladihening, 
tarak brata, 
tapa brata, 
puja brata, 
bangun di dalam tidur, sembahyang di dalam bekerja. 
Tujuannya agar supaya mencapai tataran hakekat yakni dengan meninggalkan nafsul lauwamah, 
amarah, 
supiyah, dan menggapai nafsul mutmainah. 
Kejawen mengajarkan bahwa sepanjang hidup manusia hendaknya laksana berada dalam 
“bulan suci Ramadhan”. Artinya, 
semangat dan kegigihan melakukan kebaikan, membelenggu setan (hawa nafsu) 
hendaknya dilakukan sepanjang hidupnya, 
jangan hanya sebulan dalam setahun. 
Selesai puasa 
lantas lepas kendali lagi. Pencapaian hidup manusia pada tataran tarekat 
dan hakikat 
secara intensif akan mendapat hadiah berupa kesucian ilmu makrifat. Suatu saat nanti, 
jika Tuhan telah menetapkan kehendakNya, 
manusia dapat ‘menyelam’ ke dalam tataran tertinggi yakni makna kodratullah. 
Yakni substansi dari manunggaling kawula gusti sebagai ajaran paling mendasar dalam 
ilmu Kejawen 
khususnya dalam anasir ajaran Syeh Siti Jenar. Manunggling Kawula Gusti = bersatunya Dzat Pencipta ke dalam diri mahluk. 
Pancaran Dzat telah bersemayan menerangi ke dalam Guru Sejati, 
sukma sejati. 
Amalan ini juga disebut BEGALAN GEDE, 
sebab saat akan pulang 
ke Rahmatullah, 
yang dinamakan 
“Makdum Sarpin” atau banyak disebut 
sedulur/saudara manusia tidak mau ketinggalan. 
Harus ikut pulang ke 
alam kelanggengan juga. Sehingga dengan mengamalkan ini maka 
jalan kematian akan mudah dan kehidupan setelah 
alam kematian akan semakin terang. 
Amalan ini oleh sebab itu juga untuk menjawab 
apa dan bagaimana sebenarnya rupa guru sejati atau 
RUH kita sendiri. 

Manfaat lain amalan ini: 
APA SAJA YANG KITA INGINKAN AKAN TERKABUL. Misalnya, 
kita ingin menghilang. 
Atau kita bisa mecah raga seperti dasamuka 
yang memiliki banyak badan wadag dalam waktu yang bersamaan. 

Lakunya puasa mutih 
tujuh hari, 
(berbuka dengan hanya memakan nasi putih dan air putih), 
selanjutnya pati geni 
(tidak menyalakan api dan tidak melihat api, 
kita bertapa di dalam kamar atau gua yang gelap) dan tidak tidur semalaman. 

Mantra dibaca 
saat sore hari dan 
saat pagi hari. 
Mantranya sebagai berikut: 

Bissmillahir Rahmanir Rahim Sang Guru Putih 
Nu Herang 
Nu Lenggang 
Muga Katona Sang Rupa Maya Putih. 
Kun Dzat Kun Aja 
Ngalingi Ing Dzat, 
Suksma Tapa 
Sajroning Wewayangan, Rahsa Suksma 
Angemban Wewayangan, 
Sira Metuwa Ingsun 
Arep Weruh Sejatining Urip. 

Ini mantra 
untuk mengeluarkan 
guru sejati (ruh) 
yang merupakan bayangan manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar