Senin, 04 Oktober 2021

sang pendekar

------
Part 2
------

Masa Perjuangan
Sejak kecil ia sudah menyenangi kesenian daerah dan
bahkan pernah belajar tari sunda, termasuk belajar
pencak silat hanya tidak sungguh-sungguh dan tidak
mendalaminya, cukup asal bisa saja. Setelah menginjak
remaja malah senang belajar dansa yaitu sejenis tarian
yang suka diperagakan oleh remaja-remaja dari Barat
(orang asing). Walaupun demikian, ayahnya tidak
melarang mempelajari dansa, apalagi sampai mempunyai
murid mahasiswa, karena kebetulan waktu itu banyak
mahasiswa-mahasiswa yang mengontrak (indekos) di
rumah, sehingga kesenangan pada dansa semakin kuat.

Puteri pasangan Abah Aleh (pendiri Panglipur) dan Ma
Uki, yang dilahirkan di Gg. Durman Bandung pada
tanggal 17 Agustus 1915 ini, dalam usia 12 tahun sudah
menikah. Mungkin Abah Aleh merasa khawatir mengingat
situasi waktu itu kurang aman. Pertama dia menikah
dengan seorang pemuda bernama Nandung, punya anak satu
bernama Etty Sumartini dan mempunyai cucu 12 (dua
belas), tinggal di Jakarta. Abah Aleh mengharapkan ia
menjadi seorang istri yang mandiri, sehingga Abah Aleh
mengijinkannya untuk melanjutkan sekolah. Setelah
tamat dari Zending School diteruskan ke Darul Mualim 6
tahun, sekitar tahun 1946 keluar dari sana sempat
menjadi Guru Agama di bawah pimpinan Ajengan Toha dan
Rachmat Sulaeman, mengajar di Madrasah Al Balah dan di
Madrasatul Choeriah di Gg Affandi Braga Bandung. Tidak
lama setelah itu suami tercinta meninggal dunia. Lalu
menikah dengan Lurah Cimahi, tidak lama meninggal
dunia juga. Kemudian menikah lagi dengan seorang
pejuang kemerdekaan bernama Bunjali, kebetulan ia
seorang tokoh silat sehingga Abah Aleh sangat senang
kepadanya, mungkin karena nasib, tidak lama setelah
itu Bunjali ditangkap oleh Belanda ketika sedang
pengajian (mengajar membaca Al Qur’an). Ibu Enny
sempat mencari sang suami mudah-mudahan bisa bertemu
lagi, lalu ikut menggabungkan diri sebagai wanita
pejuang dengan pasukan pangeran papak di Wanaraja
Garut, di bawah pimpinan Mayor Kosasih. Nama
Sekarningrat juga diberi oleh Laskar Pangeran Papak.
Berkat kesabaran dan ketabahan hati, akhirnya ia
bertemu juga dengan suami tercinta, sehingga waktu itu
bisa bersama-sama berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Tidak lama setelah itu masing-masing mendapat tugas,
ia ditugaskan ke Ciniru dan suaminya ditugaskan ke
Cipakem Kuningan "Ternyata setelah kembali dari tugas,
suami saya meninggal dunia saat berjuang. Hati saya
begitu sedih, mungkin sudah nasib dan saya menyadari
bahwa ini merupakan takdir Allah SWT," tuturnya.

Pada tahun 1947, ibu Enny bergabung dengan pasukan
yang dipimpin oleh Letkol Abimanyu dan Mayor U. Rukman
sampai hijrah ke Yogya dan di sana bertemu dengan
seorang perwira TNI bernama Tabrani, ketika itu ia
masih berpangkat kapten, lalu kembali ke Jawa Barat
dan berhenti sebagai pejuang, dan akhirnya kembali ke
masyarakat. Tahun 1950, pengembaraan di hutan
belantara berakhir dengan turunnya para pengungsi ke
kota Bandung, yang sebelumnya berjuang memakai
senjata, namun sekarang perjuangan itu dilakukan dalam
bentuk lain. Kemudian saya menikah dengan Kapten
Tabrani dan mempunyai anak laki-laki bernama Djadja
Widjayakusumah. Waktu itu pimpinan Panglipur oleh Abah
Aleh dipercayakan kepada kakak ibu Enny, Letnan AURI
Udi. Lalu untuk mengenang masa perjuangan, ia mencoba
membuat drama pencak silat yang menceritakan
perjuangannya dengan suami dari mulai awal pertemuan
sampai selesai. Penulisan naskah, skenario, dan
sutradara diatur oleh ibu Enny. "Waktu sedang latihan,
saya berusaha untuk tegar dan kuat tetapi ternyata
dalam pelaksanaannya saya tidak kuasa menahan rasa
sedih dan merasa tidak kuat sampai saya jatuh
pingsan," tuturnya.

Kira-kira tahun lima puluhan, Letnan AURI Udi yang
dipercaya oleh Abah Aleh untuk mengurus perguruan
pencak silat Panglipur, meninggal dunia. Kemudian Abah
Aleh memanggilnya dan berkata, "Eneng, sabada Kang Udi
pupus, taya deui nu katoong ku Abah pikeun neruskeun
jadi sesepuh paguron teh iwal ti Eneng," saurna lemah
lembut. ("Neng, setelah Kak Udi meninggal dunia, tidak
ada lagi yang terlihat oleh Abah yang mampu meneruskan
menjadi pemimpin perguruan pencak silat panglipur,
hanya Enny," katanya serius). "Ketika mendengar ucapan
seperti itu, hati saya merasa kaget bercampur
bingung," tuturnya, "karena saya merasa belum
mendalami sungguh-sungguh tentang masalah pencak
silat, dan putra-putri Abah Aleh itu ada empat orang
termasuk saya, Kak Udi, Kak Eyon, dan Kak Dati. Saya
tidak mengerti mengapa Abah Aleh memilih saya untuk
menggantikannya. Setelah berpikir panjang timbul
perasaan dalam hati saya, mungkin Abah Aleh merasa
yakin bahwa saya mempunyai kemampuan untuk
menjalankannya, sehingga saya tidak bisa menolaknya,"
tuturnya tegas. Ternyata ibu berparas cantik ini
dulunya tergolong anak yang taat dan patuh kepada
orang tua, rasa hormat kepada kedua orang tua sudah
tertanam sejak ia masih kecil, jangankan menolak
keinginan orang tua, dimarahi dengan tidak merasa
bersalahpun saya tidak berani membantahnya apalagi
sampai melawan pada orang tua. Akhirnya tawaran itu
dia terima dengan lapang dada.

(BERSAMBUNG) bag 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar