Senin, 04 Oktober 2021

maenpo syahbandar karimadi

Hatur nuhun Kang Wahyudi.
Mangga baraya, nu kagungan rujukan bacaeun perkara Silat Sunda, geura
buka tutungkusanana.
salam,
mh

On Sun, Sep 14, 2008 at 3:10 AM, Wahyudi <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> Sahbandar
>
> Maenpo Sahbandar akan sedikit saya uraikan dari segi usik lahir, sedangkan
> untuk usik bathin sepertinya Kisawung lebih tepat. Walaupun begitu, saya
> sangat membutuhkan informasi-informasi lainnya mengenai Mama Kosim dan
> Sahbandar, jujur saja... informasi yang saya miliki mengenai Sahbandar cukup
> terbatas.
>
> Sejarah
> Maenpo Sahbandar (Syahbandar/Sabandar) pertama kali diperkenalkan oleh
> Muhammad Kosim (lebih dikenal sebagai Mama Kosim, Mama adalah panggilan
> hormat untuk ulama besar atau guru besar. (bahasa sunda - Red)). Seperti
> juga tokoh dari aliran lainnya, asal dari Mama Kosim sendiri dan Maenpo yang
> diajarkan memiliki banyak versi. Meskipun begitu, semua versi menyebutkan
> bahwa beliau adalah keturunan keluarga terkemuka dari Sumatra Barat, cuma
> masih dipertentangkan apakah berasal dari Solok, pesisir Padang, Pagaruyung
> atau Bukit Tinggi.
>
> Disamping itu tentu saja banyak pertanyaan mengenai asal dari Maenpo yang
> diajarkan oleh Mama Kosim. Ini berkaitan perbedaan jumlah jurus dari
> beberapa pewaris Maenpo aliran Sahbandar ini, pendapat ini akhirnya sampai
> pada kesimpulan tentang kemurnian Maenpo yang diajarkan oleh Mama Kosim
> didasarkan kepada aliran asalnya.
>
> Tetapi, kali ini saya tidak akan menuliskan versi-versi cerita yang beredar
> mengenai Mama Kosim, tetapi akan langsung menuliskan apa yang sering
> diceritakan di lingkungan keluarga kami secara turun temurun.
>
> Keberadaan Mama Kosim mulai ramai diperbincangkan ketika secara tidak
> sengaja salah satu murid dari Maenpo Cikalong menjadi muridnya. Saat itu
> diceritakan bahwa Mama Kosim tinggal di Kampung Sahbandar – Karang Tengah –
> Cianjur dan beliau merupakan santri dari Ajengan Cirata. Beliau belajar
> Tarekat Nasbandaqiyah di bawah bimbingan Ajengan Cirata. Sejak diangkatnya
> menjadi murid salah seorang murid Maenpo Cikalong oleh Mama Kosim, dan juga
> sejak pertemuan Mama Kosim dengan Rd. H. Ibrahim, nama Mama Kosim mulai
> dikenal secara luas di kalangan bangsawan-bangsawan Sunda dan santri-santri
> di daerah Jawa Barat. Mulai saat itulah orang-orang mengenal apa yang
> dinamakan sebagai Maenpo Sahbandar dan mulai saat itu juga cukup banyak yang
> berguru ke Mama Kosim, termasuk santri-santri di pesantrennya Ajengan
> Cirata, bahkan Ajengan Cirata sendiri merupakan murid Maenpo nya Mama Kosim.
> Meskipun begitu, latihannya sendiri saat itu masih tertutup untuk umum. Jadi
> hanya murid-murid dari Maenpo Cikalong dan kalangan santri dari Pesantren
> Ajengan Cirata. (Catatan: Ajengan adalah bahasa Sunda yang harfiahnya hampir
> sama seperti Gus di Jawa Tengah atau Timur).
>
> Mama Kosim sendiri digambarkan sebagai orang yang sangat teguh pendirian,
> sabar dan lembut. Keteguhan hatinya digambarkan ketika beliau mengikuti
> kepindahan Ajengan Cirata ke Sindang Kasih di Purwakarta. Kesabaran dan
> kelembutannya bisa dilihat dari Maenpo yang diajarkannya. Setelah istrinya
> meninggal di Sindang Kasih, Mama Kosim memutuskan untuk pindah dan menetap
> di Wanayasa. Wanayasa terletak masih di daerah Purwakarta. Alasan
> kepindahannya bukan hanya karena kesedihan ditinggal istri, tetapi juga
> tujuan dakwah. Saat itu Wanayasa dikenal sebagai kota baru yang dinamis.
> Mama Kosim mengajar ilmu agama di Mesjid Agung Wanayasa dan juga
> mengembangkan lebih jauh Maenponya di sana. Di kota kecil ini juga beliau
> menikah kembali dengan kerabat Menak dari Cianjur (Menak = bangsawan), ini
> semakin mempererat hubungan antara Mama Kosim dan keluarga besar Maenpo
> Cikalong. Beliau mengajar ilmu agama dan Maenpo Sahbandar di Wanayasa sampai
> meninggal di tahun 1880.
>
> Pengaruh Ajengan Cirata.
> Salah satu sebab keberagaman (perbedaan jumlah jurus) dari Sahbandar menurut
> para sesepuh adalah pengaruh dari Ajengan Cirata. Karena itulah ada
> kepercayaan, Sahbandar dengan jumlah jurus yang banyak (Jurus 21 seperti
> Devnull, Jurus 25 di Sukabumi) adalah Sahbandar yang diajarkan khusus untuk
> Santri-santri, dengan tujuan... meskipun jumlah jurus banyak... tetapi lebih
> mudah dimengerti. Sedangkan Sahbandar dengan jurus yang sedikit (Jurus Lima
> seperti yang dipelajari Kisawung, Jurus Tujuh seperti yang diajarkan Mama
> Musthofa di Gobras – Tasikmalaya, Jurus Sebelas di daerah Garut) dipercaya
> sebagai jurus-jurus awal (Jurus Lima dan Jurus Tujuh) dan jurus akhir (Jurus
> Sebelas). Jurus awal maksudnya adalah jurus ketika pertama dikenalnya Mama
> Kosim, sehingga yang menguasai jurus ini kebanyakan dari kalangan Maenpo
> Cikalong (meskipun begitu cukup banyak juga komunitas Maenpo Cikalong yang
> menguasai jurus dengan jumlah banyak). Dan jurus akhir adalah jurus yang
> diajarkan ketika beliau mau meninggalkan Sindang Kasih dan menetap di
> Wanayasa. Perlu untuk dicatat: Jurus 21, Jurus Lima, Jurus Tujuh dan Jurus
> Sebelas mengandung makna filosofis. InsyaAllah saya mengundang Kisawung
> untuk menjelaskannya.
>
> Penelusuran Pak Rais (Bpk. Adung Rais)
> Pak Rais pernah melakukan suatu penelusuran kecil ke daerah Pagaruyung dan
> Solok, dengan tujuan melacak asal dari Maenpo Sahbandar. Ternyata,
> bentuk-bentuk jurus yang sekarang diajarkan di sana dan diduga sebagai asal
> Maenpo Sahbandar sudah berbeda sekali dengan Maenpo Sahbandar yang diajarkan
> di daerah Jawa Barat. Ini mungkin disebabkan karena Mama Kosim sendiri terus
> mengembangkan Maenpo nya, dipengaruhi oleh Tarekat Nasbandaqiyah, dan juga
> persahabatannya dengan tokoh-tokoh silat di Betawi dan tanah Pasundan saat
> itu (Mama Kosim bersahabat sangat akrab dengan Bang Madi, Bang Kari dan Rd.
> H. Ibrahim. Kisawung juga pernah menyebutkan bahwa Mama Kosim mempunyai
> hubungan yang erat dengan Abah Khaer). Pengembangan Maenpo nya inilah yang
> menyebabkan Mama Kosim menyebut Maenpo nya sebagai Maenpo Sahbandar
> (informasi K.H. Musthofa dan Mama Hisbulloh
>
>
>
> peragaan jurus2 pecahan-jurus lima yang sudah digabungkan dengan Kari-Madi
> (Syahbandar Kari Mahdi)
>
>
>
> gambaran jurus SKM dari Abah Syarif
>
>
>
> Tangtungan Alif
>
>
>
> gambaran 17 jurus SKM dari Abah Ujang alm
>
>
>
> Tangtungan Alifnya Abah Ujang alm
>
>
>
> gambaran "rahasia" yg dengannya untuk mengetahui dan menghayati serta
> aplikasi
> dari permainan "RASA" gambaran ini adalah lukisan tangan R.H.Kartadimadja
> pendekar Sahbandar generasi ke 6
>
>
>
> "Ngagupay lawan", a basic concept of Sahbandar style
>
> Ngagupay lawan yang dalam bahasa Indonesia berarti "menarik lawan" atau
> "mengajak lawan" adalah suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan dasar
> dari gerak Sahbandar. Seperti lazimnya orang yang mengajak, gerakan
> "mengajak" dilakukan secara lembut seakan-akan tanpa tenaga sehingga lawan
> tertarik untuk masuk ke daerah serang kita, gerakan juga dilakukan dengan
> halus dan melambai, seperti kain sutra tertiup angin, akan tetapi di balik
> kelembutan itu tersembunyi suatu kekuatan yang diibaratkan seperti batu
> karang. Gerakan Sahbandar juga dimisalkan seperti gerakan Cambuk... melambai
> cepat dan lentur tetapi meledak dan keras di ujung. Untuk mendapatkan
> pengertian yang lebih mendalam ada baiknya dibahas dulu apa itu Tangtungan
> Leuleus (Jurus Alif) dan Tiga pembagian tenaga (Prinsip Keseimbangan)
>
> Tangtungan Leuleus
> Setelah saya melihat gambar-gambar yang di post oleh Kisawung, ternyata apa
> yang oleh Kisawung disebutkan sebagai Tangtungan Alif berlainan dengan apa
> yang dipahami oleh saya sebagai Tangtungan Leuleus (Jurus Alif). Awalnya,
> ketika Kisawung menceritakan soal Tangtungan Alif, saya berpikir bahwa kita
> membahas hal yang sama, tetapi ternyata berbeda.
>
> Jadi untuk selanjutnya saya akan memakai istilah Tangtungan Leuleus
> (Tangtungan = postur, leuleus = lemas. Tangtungan Leuleus = postur lemas)
> sebagai ganti Jurus Alif. Takutnya apabila saya tetap memakai nama Jurus
> Alif untuk Tangtungan Leuleus, apa yang saya bahas tertukar dengan
> Tangtungan Alif yang Kisawung bahas. Tangtungan Leuleus sendiri dilatih awal
> sekali untuk merasakan sensitifitas tubuh. Kenapa dinamakan Tangtungan
> Leuleus? Karena kita harus mengalahkan "ego" badan kita untuk memakai tenaga
> kasar. Lalu kenapa disebut juga Jurus Alif? Karena dilakukan dengan
> melakukan gerakan berdiri tegak seperti hurup Alif yang lama dan intens
> dengan penuh konsentrasi dan dalam keadaan lemas.
>
> Ini langkah-langkah untuk melakukan Tangtungan Leuleus:
> 1. Berdiri tegak dengan kedua tumit rapat dan bagian depan telapak kaki
> terbuka sekitar 30 derajat. Tangan diletakan samping badan, keadaan lemas,
> pundak juga lemas, tidak tegak dan tidak diangkat, leher tegak, tetapi
> kepala tidak berarti ditarik terlalu jauh ke belakang, dan kepala lemas juga
> tidak berarti menunduk. Pandangan lurus ke depan, penuh konsentrasi dan
> tajam tetapi tidak menjadi tegang. Napas dilakukan dengan halus. Ingat, ini
> Tangtungan Leuleus. Abah yang ngajarin ini bilang, kalau ini ngga bisa...
> maka jurus-jurus berikutnya juga akan terlewatkan begitu saja.. digambarkan
> dengan kata-kata: "dilakukan tetapi tidak mendapat maknanya".
>
> 2. Gerakan kedua dilakukan apabila tubuh sudah bisa merasakan denyut-denyut
> di setiap simpul nadi. Gerakan kedua adalah mengangkat kedua tangan
> dikepalkan di depan dada dengan sangat perlahan. Ujung-ujung sikut tetap
> menempel ke badan. Badan secara keseluruhan juga tetap lemas, konsentrasi
> tetap terjaga, ritme napas tetap sama.
>
> 3. Gerakan ketiga adalah mengangkat salah satu tangan (anggap kali ini
> tangan kanan, sehingga di gerakan keempat yang bergerak adalah kaki kiri)
> tegak lurus ke atas dengan jari-jari terbuka lebar, telapak menghadap ke
> depan (Untuk yang tahu Xing-Yi, tangan terbuka itu seperti Xing-Yi). Keadaan
> yang lainnya tidak berubah.
>
> 4. Gerakan keempat, kaki kiri dijinjit secara perlahan, sehingga semua berat
> tubuh ada di kaki kanan. Di sini mulai diterapkan Prinsip Keseimbangan (Tiga
> Pembagian Tenaga yang akan dijelaskan selanjutnya) Ingat: konsentrasi jangan
> buyar.
>
> 5. Gerakan penutup yaitu pukulan serentak ke depan dengan cara menghentakkan
> kaki yang jingjit ke samping kiri depan. Tangan digerakan memakai prinsif
> "halus-keras". Halus ketika bergerak dan keras diujung gerakan. Dilakukan
> dari atas ke bawah membentuk lintasan melengkung. (Bukan gerakan menonjok
> atau menusuk, tetapi memukul dari atas ke bawah). Meletup seperti cambuk.
>
> 6. Penutup. Kaki kanan ditarik, sehingga kembali ke posisi 2.
>
> Tangtungan Leuleus sendiri adalah suatu bentuk latihan conditioning untuk
> melatih konsentrasi dan kepekaan dasar, sehingga nantinya timbul apa yang
> disebut "rasa". Ini penting dilakukan sebelum kita melangkah ke jurus
> sesungguhnya, atau ke hal-hal aplikatip seperti tempelan atau banbanan.
>
>
>
> -Melatih Rasa-
>
> Di beberapa aliran cikalong cara melatih rasa adalah dengan usik, yang
> pernah saya lihat adalah dengan berlatih jurus susun yang dilakukan secara
> berpasangan dengan saling mendorong untuk mengetahui kapan tenaga lawan
> kosong dan isi.
>
> cara ini cukup efektif untuk mengetahui kapan harus membendung tenaga lawan
> (menggunakan Kari) atau menyalurkan tenaga lawan (menggunakan syahbandar)
> atau menyerang balik ketika tenaga lawan habis (nungtung atau tenaga ujung
> untuk kemudian menyerang menggunakan kari).
>
> teknik berlatih susun ini juga memungkinkan kita mengasah rasa dekat
> (deukeut) atau rasa nempel kita.
>
> Meski pada akhirnya tingkatan rasa akan sangat menentukan, tetapi dengan
> melatih Jurus susun ini akan secara tidak langsung menularkan rasa dari
> pesilat yang sudah tinggi tingkatan rasanya pada pasangannya.
>
> ciri bahwa rasanya sudah tinggi adalah kontrol tenaganya yang sudah
> sempurna. contoh yang paling gampang kalo di banting tidak terasa namun
> jatuhnya enak maka yang membanting tingkatan rasanya sudah tinggi. kalo
> masih ngadurugdug, alias engak mulus biasanya tingkatannya belum terlalu
> tinggi.
>
> makanya dalam maenpo ada tiga hal penting yang harus dijadikan patokan dalam
> menguasai jurus penca silat yaitu: Kecepatan, Ketepatan dan Rasa
>
>
>
>
>
> 2008/9/14 Wahyudi <[EMAIL PROTECTED]>
>>
>> Sampurasun, assalamu alaikum
>> pami teu lepat kirang langkung sababaraha taun katukang mangsa simkuring
>> masih keneh sok babrengan jeung adi-adi nonoman mahasiswa Sunda STTTelkom
>> (SWS : Swara Waditra Sunda), harita kungsi bareng ngayakeun panalungtikeun
>> budaya-budaya anu ampir punah salah sawiosna Silat Sunda. Riset budaya ieu
>> diluluguan ku Disbudpar anu harita dicepeng ku Kang Memet HAmdan Gawe
>> Reujeung sareng Lembaga Panalungtikan UNPAD (LPKM ???) anu di pimpin ku Kang
>> Ganjar Kurnia (samemeh ka Prancis anu ayeuna janten Rektor).
>> Manawi Kang Ganjar tiasa ngagujubarkeun hasil panalungtikan lengkepna.
>> Mung ieu aya sababaraha artikel (duka timana wae ... da harita teh
>> kukurilinga, aya anu ti Internet aya anu kapangan/ka Cianjur, aya anu tina
>> majalah Duel, oge ka para tokoh Silat nu tiasa di tepungan).
>>
>> 1. Cimande
>> 2. Cikalong
>> 3. Syahbandar (Sahbandar)
>> 4. Maenpo Peupeuhan "Adung Rais"
>> 5. Maenpo H. Marzuk
>>
>> (Bral geura guar budaya urang sunda!)
>>
>>
>>
>> Terminology
>>
>> Silat sunda dalam bahasa aslinya disebut Maenpo. Dan tiap perguruan
>> mengartikan Maenpo itu lain-lain. Ini yang saya tahu:
>> 1. Maenpo berasal dari kata Maen dan Peupeuh (Peu = Po) atau Maen dan Po,
>> yang berarti "maen pukulan". Peupeuh = Pukulan. Untuk kata Po sendiri ada
>> yang menduga kata ini berasal dari kosa kata china.
>> 2. Maenpo berasal dari kata "Maen anu tara mere tempo". Artinya, permainan
>> yang tidak memberi tempo kepada lawan, sehingga lawan tidak bisa
>> mengembangkan jurusnya.
>> 3. Maenpo berasal dari kata "Maen Poho". Poho dalam bahasa Indonesia
>> berarti lupa. Jadi Maenpo diartikan maen sampai kita lupa bagaimana bentuk
>> jurus itu. Maksudnya, badan kita digerakan bukan lagi oleh kemauan, tetapi
>> oleh badan itu sendiri (refleks dan rileks).
>>
>> Perkembangannya sendiri meliputi daerah Jawa Barat bagian tengah dan
>> priangan timur. (Dari Bogor dan Cianjur menyebar ke Purwakarta, lalu
>> Sukabumi-Bandung-Garut-tasikmalaya, dst). Di banten sendiri, istilah Maenpo
>> ini kurang dikenal, oleh karena itulah Terumbu disebut Terumbu, bukan Maenpo
>> Terumbu. Lain dengan misalnya kalau orang menyebut Maenpo Cikaret, Maenpo
>> Cimande, Maenpo Cikalong... tetapi sekarang orang-orang juga lebih sering
>> menyebut langsung saja. (Cikaret, Cimande, Cikalong, dsb).
>>
>> Maenpo juga sering disebut beserta nama orang yang mengembangkannya,
>> contoh Maenpo Peupeuhan Adung Rais, Maenpo H. Marzuk, Maenpo Ki Abu, dsb.
>>
>>
>>
>> Cimande (Sejarah)
>>
>> Semua komunitas Maenpo Cimande sepakat tentang siapa penemu Maenpo
>> Cimande, semua mengarah kepada Abah Khaer (penulisan ada yang: Kaher, Kahir,
>> Kair, Kaer dsb. Abah dalam bahasa Indonesia berarti Eyang, atau dalam bahasa
>> Inggris Great Grandfather). Tetapi yang sering diperdebatkan adalah dari
>> mana Abah Khaer itu berasal dan darimana dia belajar Maenpo. Ada 3 versi
>> utama yang sering diperdebatkan, yaitu:
>>
>> 1. Versi Pertama
>> Ini adalah versi yang berkembang di daerah Priangan Timur (terutama
>> meliputi daerah Garut dan Tasikmalaya) dan juga Cianjur selatan. Berdasarkan
>> versi yang ini, Abah Khaer belajar Silat dari istrinya. Abah Khaer
>> diceritakan sebagai seorang pedagang (dari Bogor sekitar abad 17-abad 18)
>> yang sering melakukan perjalanan antara Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung,
>> Sumedang, dsb. Dan dalam perjalanan tersebut beliau sering dirampok, itu
>> terjadi sampai istrinya menemukan sesuatu yang berharga.
>>
>> Suatu waktu, ketika Abah Khaer pulang dari berdagang, beliau tidak
>> menemukan istrinya ada di rumah... padahal saat itu sudah menjelang sore
>> hari, dan ini bukan kebiasaan istrinya meninggalkan rumah sampai sore.
>> Beliau menunggu dan menunggu... sampai merasa jengkel dan khawatir...
>> jengkel karena perut lapar belum diisi dan khawatir karena sampai menjelang
>> tengah malam istrinya belum datang juga. Akhirnya tak lama kemudian istrinya
>> datang juga, hilang rasa khawatir... yang ada tinggal jengkel dan marah.
>> Abah Khaer bertanya kepada istrinya... "ti mana maneh?" (Dari mana kamu?)
>> tetapi tidak menunggu istrinya menjawab, melainkan langsung mau menempeleng
>> istrinya. Tetapi istrinya malah bisa menghindar dengan indahnya, dan membuat
>> Abah Khaer kehilangan keseimbangan. Ini membuat Abah Khaer semakin marah dan
>> mencoba terus memukul... tetapi semakin mencoba memukul dengan amarah,
>> semakin mudah juga istrinya menghindar. Ini terjadi terus sampai Abah Khaer
>> jatuh kecapean dan menyadari kekhilafannya... dan bertanya kembali ke
>> istrinya dengan halus "ti mana anjeun teh Nyi? Tuluy ti iraha anjeun bisa
>> Ulin?" (Dari mana kamu? Lalu dari mana kamu bisa "Main"?).
>>
>> Akhirnya istrinya menjelaskan bahwa ketika tadi pagi ia pergi ke sungai
>> untuk mencuci dan mengambil air, ia melihat Harimau berkelahi dengan 2 ekor
>> monyet. (Salah satu monyet memegang ranting pohon.) Saking indahnya
>> perkelahian itu sampai-sampai ia terkesima, dan memutuskan akan menonton
>> sampai beres. Ia mencoba mengingat semua gerakan baik itu dari Harimau
>> maupun dari Monyet, untungnya baik Harimau maupun Monyet banyak
>> mengulang-ngulang gerakan yang sama, dan itu mempermudah ia mengingat semua
>> gerakan. Pertarungan antara Harimau dan Monyet sendiri baru berakhir
>> menjelang malam.
>>
>> Setelah pertarungan itu selesai, ia masih terkesima dan dibuat takjub oleh
>> apa yang ditunjukan Harimau dan Monyet tersebut. Akhirnya ia pun berlatih
>> sendirian di pinggir sungai sampai betul-betul menguasai semuanya (Hapal),
>> dan itu menjelang tengah malam.
>>
>> Apa yang ia pakai ketika menghindar dari serangan Abah Khaer, adalah apa
>> yang ia dapat dari melihat pertarungan antara Harimau dan Monyet itu. Saat
>> itu juga, Abah Khaer meminta istrinya mengajarkan beliau. Ia berpikir, 2
>> kepala yang mengingat lebih baik daripada satu kepala. Ia takut apa yang
>> istrinya ingat akan lupa. Beliau berhenti berdagang dalam suatu waktu, untuk
>> melatih semua gerakan itu, dan baru berdagang kembali setelah merasa mahir.
>> Diceritakan bahwa beliau bisa mengalahkan semua perampok yang mencegatnya,
>> dan mulailah beliau membangun reputasinya di dunia persilatan.
>>
>> Jurus yang dilatih:
>> 1. Jurus Harimau/Pamacan (Pamacan, tetapi mohon dibedakan pamacan yang
>> "black magic" dengan jurus pamacan. Pamacan black magic biasanya kuku
>> menjadi panjang, mengeluarkan suara-suara aneh, mata merah dll. Silakan
>> guyur aja dengan air kalau ketemu yang kaya gini. ).
>> 2. Jurus Monyet/Pamonyet (Sekarang sudah sangat jarang sekali yang
>> mengajarkan jurus ini, dianggap punah. Saya sendiri sempat melihatnya di
>> Tasikmalaya, semoga beliau diberi umur panjang, kesehatan dan murid yang
>> berbakti sehingga jurus ini tidak benar-benar punah).
>> 3. Jurus Pepedangan (ini diambil dari monyet satunya lagi yang memegang
>> ranting).
>>
>> Cerita di atas sebenarnya lebih cenderung mitos, tidak bisa dibuktikan
>> kebenarannya, walaupun jurus-jurusnya ada. Maenpo Cimande sendiri dibawa ke
>> daerah Priangan Timur dan Cianjur selatan oleh pekerja-pekerja perkebunan
>> teh. Hal yang menarik adalah beberapa perguruan tua di daerah itu kalau
>> ditanya darimana belajar Maenpo Cimande selalu menjawab "ti indung" (dari
>> ibu), karena memang mitos itu mempengaruhi budaya setempat, jadi jangan
>> heran kalau di daerah itu perempuan pun betul-betul mempelajari Maenpo
>> Cimande dan mengajarkannya kepada anak-anak atau cucu-cucunya, seperti
>> halnya istrinya Abah Khaer mengajarkan kepada Abah Khaer.
>>
>> Perkembangannya Maenpo Cimande sendiri sekarang di daerah tersebut sudah
>> diajarkan bersama dengan aliran lain (Cikalong, Madi, Kari, Sahbandar, dll).
>> Beberapa tokoh yang sangat disegani adalah K.H. Yusuf Todziri (sekitar akhir
>> 1800 - awal 1900), Kiai Papak (perang kemerdekaan, komandannya Mamih Enny),
>> Kiai Aji (pendiri Gadjah Putih Mega Paksi Pusaka, perang kemerdekaan), Kiai
>> Marzuk (Maenpo H. Marzuk, jaman penjajahan Belanda), dll.
>>
>>
>>
>> Cimande (Sejarah)
>>
>> 2. Versi Kedua
>> Menurut versi kedua, Abah Khaer adalah seorang ahli maenpo dari Kampung
>> Badui. Beliau dipercayai sebagai keturunan Abah Bugis (Bugis di sini tidak
>> merujuk kepada nama suku atau daerah di Indonesia Tengah). Abah Bugis
>> sendiri adalah salah seorang Guru ilmu perang khusus dan kanuragaan untuk
>> prajurit pilihan di Kerajaan Padjadjaran dahulu kala. Kembali ke Badui,
>> keberadaan Abah Khaer di Kampung Badui mengkhawatirkan sesepuh-sesepuh
>> Kampung Badui, karena saat itu banyak sekali pendekar-pendekar dari daerah
>> lain yang datang dan hendak mengadu jurus dengan Abah Khaer, dan semuanya
>> berakhir dengan kematian. Kematian karena pertarungan di tanah Badui adalah
>> merupakan "pengotoran" akan kesucian tanah Badui.
>>
>> Karena itu, pimpinan Badui (biasa dipanggil Pu'un) meminta Abah Khaer
>> untuk meninggalkan Kampung Badui, dengan berat hati... Abah Khaer pun pergi
>> meninggalkan Kampung Badui dan bermukim di desa Cimande-Bogor. Tetapi, untuk
>> menjaga rahasia-rahasia Kampung Badui (terutama Badui dalam), Abah Khaer
>> diminta untuk membantah kalau dikatakan dia berasal dari Badui, dan orang
>> Badui (Badui dalam) pun semenjak itu diharamkan melatih Maenpo mereka ke
>> orang luar, jangankan melatih... menunjukan pun tidak boleh. Satu hal lagi,
>> Abah Khaer pun berjanji untuk "menghaluskan" Maenpo nya, sehingga tidak ada
>> lagi yang terbunuh dalam pertarungan, dan juga beliau berjanji hanya akan
>> memakai dan memanfaatkannya untuk kemanusiaan. Oleh karena itu, dahulu
>> beberapa Guru-guru Cimande tua tidak akan menerima bayaran dari muridnya
>> yang berupa uang, lain halnya kalau mereka memberi barang... misal beras,
>> ayam, gula merah atau tembakau sebagai wujud bakti murid terhadap Guru.
>> Barang-barang itupun, oleh Guru tidak boleh dijual kembali untuk diuangkan.
>>
>> Versi kedua ini banyak diadopsi oleh komunitas Maenpo dari daerah Jawa
>> Barat bagian barat (Banten, Serang, Sukabumi, Tangerang, dsb). Mereka juga
>> mempercayai beberapa aliran tua di sana awalnya dari Abah Khaer, misalnya
>> Sera. Penca Sera berasal dari Uwak Sera yang dikatakan sebagai salah seorang
>> murid Abah Khaer (ada yang mengatakan anak, tetapi paham ini bertentangan
>> dengan paham lain yang lebih tertulis). Penca Sera sendiri sayangnya
>> sekarang diakui dan dipatenkan di US oleh orang Indo-Belanda sebagai
>> beladiri keluarga mereka.
>>
>>
>>
>> Cimande (Sejarah)
>>
>> 3. Versi Ketiga
>> Versi ketiga inilah yang "sedikit" ada bukti-bukti tertulis dan tempat
>> yang lebih jelas. Versi ini pulalah yang dipakai oleh keturunan beliau di
>> Kampung Tarik Kolot - Cimande (Bogor). Meskipun begitu, versi ini tidak
>> menjawab tuntas beberapa pertanyaan, misal: Siapa genius yang menciptakan
>> aliran Maenpo ini yang kelak disebut Maenpo Cimande.
>>
>> Abah Khaer diceritakan sebagai murid dari Abah Buyut, masalahnya dalam
>> budaya Sunda istilah Buyut dipakai sebagaimana "leluhur" dalam bahasa
>> Indonesia. Jadi Abah Buyut sendiri merupakan sebuah misteri terpisah,
>> darimana beliau belajar Maenpo ini... apakah hasil perenungan sendiri atau
>> ada yang mengajari? Yang pasti, di desa tersebut... tepatnya di Tanah Sareal
>> terletak makam leluhur Maenpo Cimande ini... Abah Buyut, Abah Rangga, Abah
>> Khaer, dll.
>>
>> Abah Khaer awalnya berprofesi sebagai pedagang (kuda dan lainnya),
>> sehingga sering bepergian ke beberapa daerah, terutama Batavia. Saat itu
>> perjalanan Bogor-Batavia tidak semudah sekarang, bukan hanya perampok...
>> tetapi juga Harimau, Macan Tutul dan Macan Kumbang. Tantangan alam seperti
>> itulah yang turut membentuk beladiri yang dikuasai Abah Khaer ini. Disamping
>> itu, di Batavia Abah Khaer berkawan dan saling bertukar jurus dengan
>> beberapa pendekar dari China dan juga dari Sumatra. Dengan kualitas basic
>> beladirinya yang matang dari Guru yang benar (Abah Buyut), juga tempaan dari
>> tantangan alam dan keterbukaan menerima kelebihan dan masukan orang lain,
>> secara tidak sadar Abah Khaer sudah membentuk sebuah aliran yang dasyat dan
>> juga mengangkat namanya.
>>
>> Saat itu (sekitar 1700-1800) di Cianjur berkuasa Bupati Rd. Aria
>> Wiratanudatar VI (1776-1813, dikenal juga dengan nama Dalem Enoh). Sang
>> Bupati mendengar kehebatan Abah Khaer, dan memintanya untuk tinggal di
>> Cianjur dan bekerja sebagai "pamuk" (pamuk=guru beladiri) di lingkungan
>> Kabupatian dan keluarga bupati. Bupati Aria Wiratanudatar VI memiliki 3
>> orang anak, yaitu: Rd. Aria Wiranagara (Aria Cikalong), Rd. Aria Natanagara
>> (Rd.Haji Muhammad Tobri) dan Aom Abas (ketika dewasa menjadi Bupati di
>> Limbangan-Garut). Satu nama yang patut dicatat di sini adalah Aria
>> Wiranagara (Aria Cikalong), karena beliaulah yang merupakan salah satu murid
>> terbaik Abah Khaer dan nantinya memiliki cucu yang "menciptakan" aliran baru
>> yang tak kalah dasyat.
>>
>> Sepeninggal Bupati Aria Wiratanudatar VI (tahun 1813), Abah Khaer pergi
>> dari Cianjur mengikuti Rd. Aria Natanagara yang menjadi Bupati di Bogor.
>> Mulai saat itulah beliau tinggal di Kampung Tarik Kolot - Cimande sampai
>> wafat (Tahun 1825, usia tidak tercatat). Abah Khaer sendiri memiliki 5 orang
>> anak, seperti yang dapat dilihat di bawah ini. Mereka inilah dan
>> murid-muridnya sewaktu beliau bekerja di kabupaten yang menyebarkan Maenpo
>> Cimande ke seluruh Jawa Barat.
>>
>>
>> Dan ini adalah gambaran dari salah seorang anak Rd. Aria Wiratanudatar VI,
>> yaitu Aom Abas, yang setelah menjadi Bupati di Limbangan Garut juga bergelar
>> Rd. Aria Wiratanudatar.
>>
>>
>> Sayangnya image tentang Abah Khaer sendiri tidak ada, cuma digambarkan
>> bahwa beliau: "selalu berpakain kampret dan celana pangsi warna hitam. Dan
>> juga beliau selalu memakai ikat kepala warna merah, digambarkan bahwa ketika
>> beliau "ibing" di atas panggung penampilannya sangat expressif, dengan badan
>> yang tidak besar tetapi otot-otot yang berisi dan terlatih baik, ketika
>> "ibing" (menari) seperti tidak mengenal lelah. Terlihat bahwa dia sangat
>> menikmati tariannya tetapi tidak kehilangan kewaspadaannya, langkahnya
>> ringan bagaikan tidak menapak panggung, gerakannya selaras dengan kendang
>> ("Nincak kana kendang" - istilah sunda). Penampilannya betul-betul tidak
>> bisa dilupakan dan terus diperbincangkan." (dari cerita/buku Pangeran
>> Kornel, legenda dari Sumedang, dalam salah satu bagian yang menceritakan
>> kedatangan Abah Khaer ke Sumedang, aslinya dalam bahasa Sunda, pengarang Rd
>> Memed Sastradiprawira).
>>
>>
>>
>> Jurus-jurus Cimande
>>
>> Secara garis besar jurus-jurus Maenpo Cimande dibagi menjadi 3, yaitu:
>> 1. Jurus Kelid Cimande (33 Jurus)
>> 2. Jurus Pepedangan
>> 3. Tepak Selancar ("Ibing" khas Cimande)
>>
>> 1. Jurus Kelid Cimande
>> Jurus Kelid Cimande dibagi menjadi 33 Jurus yang dilatih secara tunggal
>> dan berulang-ulang. Latihan diawali dengan posisi duduk dan biasanya
>> berpasang-pasangan. Latihan posisi duduk dimaksudkan agar murid konsentrasi
>> terlebih dahulu kepada gerakan tangan, dan tidak memikirkan dahulu langkah
>> kaki atau kuda-kuda. Nantinya, ketika murid sudah memiliki "rasa", baru
>> latihan dilanjutkan dengan berdiri.
>>
>> Kuda-kuda Cimande termasuk salah satu kuda-kuda rendah, ini katanya
>> disebabkan karena awalnya Cimande dikembangkan di tanah yang licin, sehingga
>> diperlukan kuda-kuda yang rendah dengan langkah yang sangat berhati-hati
>> sekali, beberapa malah memakai langkah "seser". Walaupun begitu, hal ini
>> tidak mengurangi "mobilitas" dan kecepatan gerak dari pesilat. Perputaran
>> tumpuan kaki di jurus Cimande tidak terpaku ke tumit atau kaki bagian depan,
>> tetapi saling mengimbangi.
>>
>> Ada yang menganggap bahwa aliran Cimande "cukup keras mengadu tangan"
>> ketika menangkis, padahal kalau digali lebih jauh sebenarnya tidak. Salah
>> satu ciri khas Cimande ketika menangkis adalah posisi tangan yang dirapatkan
>> ke dada (menempel ke ketiak, dari siku ke pergelangan melindungi dada,
>> dengan telapak tangan saling berhadapan, jari-jari mengarah ke luar).
>> Tangkisan ini dilakukan tidak semata-mata "membenturkan" badan/tangan dengan
>> serangan lawan. Tetapi dilakukan berbarengan dengan perputaran kuda-kuda,
>> dilanjutkan perputaran bagian tubuh dari pinggang ke atas, lalu perputaran
>> dari siku tangan sampai pergelangan (sehingga timbul gesekan antara ketiak
>> dan lengan bagian atas), perputaran telapak tangan dan diakhiri
>> tekanan/dorongan ke luar atau ke bawah (dalam hitungan detik). Efek yang
>> dirasakan adalah "seakan-akan" tidak ada benturan antara serangan lawan dan
>> tangkisan kita, malah lawan tertarik dan kehilangan keseimbangan. Ini saya
>> rasakan sendiri ketika bertamu ke guru di Tasikmalaya, waktu itu saya sampai
>> jatuh berguling-guling dan merasa sangat malu sekali, tetapi hal itu selalu
>> membuat saya ingat dan bersyukur. (Nuhun Pak...)
>>
>> Berikut ini nama ke-33 Jurus Kelid Cimande:
>> 1. Tonjok Bareng.
>> 2. Tonjok Sabeulah.
>> 3. Kelid Selup.
>> 4. Timpah Sabeulah.
>> 5. Timpah Serong.
>> 6. Timpah Duakali.
>> 7. Bateukan.
>> 8. Teke Tampa.
>> 9. Teke Purilit.
>> 10. Geuweukan.
>> 11. Kedutan.
>> 12. Guaran.
>> 13. Kedut Guar.
>> 14. Kelid Dibeulah.
>> 15. Selup Dibeulah.
>> 16. Kelid Tonjok.
>> 17. Selup Tonjok.
>> 18. Kelid Tilu.
>> 19. Selup Tilu.
>> 20. Kelid Lima.
>> 21. Selup Lima.
>> 22. Peuncitan.
>> 23. Timpah Bohong.
>> 24. Serong Panggul.
>> 25. Serong Gawil.
>> 26. Serong Guar.
>> 27. Singgul Serong.
>> 28. Singgul Sabeulah.
>> 29. Sabet Pedang.
>> 30. Beulit Kacang.
>> 31. Beulit Jalak Pengkor.
>> 32. Pakala Leutik.
>> 33. Pakala Gede.
>>
>> Beberapa perguruan, terutama yang mengajarkan juga aliran lain, sudah
>> tidak mengajarkan ke-33 jurus itu secara asli, tetapi dicampurkan dengan
>> jurus-jurus lainnya, maka jangan heran apabila ada perguruan Cimande yang
>> mengajarkan Jurus Cimande hanya 18 atau 28. Tetapi juga tidak sedikit
>> perguruan yang masih mengajarkan ke-33 Jurus itu secara original.
>>
>> 2. Jurus Pepedangan
>> Untuk bagian ini saya tidak akan banyak menjelaskan, karena memang belum
>> belajar (hanya sempat melihat). Saya hanya akan sedikit menceritakan bahwa
>> ada anggapan bahwa jurus ini terinspirasi oleh monyet yang memegang ranting
>> dalam Sejarah Cimande Versi 1. Dan perputaran yang saya jelaskan di atas
>> (soal tangkisan) tetap diaplikasikan. Untuk Jurus Pepedangan ini saya sangat
>> mengharapkan Master-master Cimande di Forum ini untuk menjelaskan lebih
>> jauh.
>>
>> 3. Tepak Selancar
>> Tepak Selancar adalah "Ibing Penca" khas Cimande. Mungkin bagi sebagian
>> orang Ibingan ini dianggap sepele, begitu juga saya ketika pertama kali
>> belajar, tetapi ternyata manfaat yang didapat sangat bernilai sekali.
>> Ibingan Cimande (dan juga dalam Maenpo lainnya) bukan hanya sekedar tarian
>> untuk hiburan, tetapi merupakan rangkaian jurus yang sudah disatukan secara
>> terpadu dan dipikirkan matang-matang. Bagi beberapa pesilat, ibingan ini
>> adalah pertarungan real "tanpa lawan", karena itu mereka melakukannya dengan
>> sungguh-sungguh sekali (dengan rasa) seakan-akan dalam pertarungan
>> sesungguhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar