[1/12 00:32] aji rasha:
Diri kita yang sejati
sesungguhnya bukan diri kita yang bisa dibedah dengan pisau bedah atau dengan berbagai teori psikologi kepribadian oleh para psikolog.
Diri kita yang ini—
yang jasadnya kita gunakan dalam interaksi,
dalam bekerja,
dalam berhubungan sosial dengan orang lain—sesungguhnya merupakan bentukan dari
lingkungan,
orangtua,
pemikiran,
norma,
tren, atau
paradigma
yang ada di zaman kita masing-masing.
Dengan kata lain,
diri kita yang ini adalah
hasil bentukan,
dari dinamika lingkungan luar yang berinteraksi dengan aspek jasadi dan
aspek psikis kita.
Paduan komposisi dari semua itulah yang membentuk diri kita yang “jasadi”.
Diri kita yang ini,
meski unik, adalah
diri yang semu.
Ini bukan diri kita yang sesungguhnya,
sebenarnya.
Sementara,
yang dimaksud dan
dipanggil Allah sebagai “diri” pada manusia,
sejatinya adalah
yang Dia sebut sebagai “nafs” dalam Al-Qur’an.
Nafs, dalam bahasa kita, adalah “jiwa”.
Nafs-lah
(jamak: anfus, jiwa-jiwa)
yang dipanggil dan
disumpah Allah untuk mempersaksikan bahwa Allah adalah Rabb-nya.
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَـٰذَا غَافِلِينَ
Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa-jiwa mereka:
"Bukankah Aku ini Rabb-mu?" Mereka menjawab:
"Betul, sungguh kami bersaksi".
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang tidak ingat terhadap ini." –
Q.S. Al-A’raaf [7]: 172
Nafs kita sudah ada
bahkan sebelum
alam semesta ada.
Ia juga yang terus akan melanjutkan hidup
di alam barzakh dan alam-alam berikutnya setelah kelak jasad kita dengan pikiran,
hafalan dan
semua gagasan yang menyertainya—dan
semua dinamika psikis yang terkait dengannya—
akan mati, lenyap, hancur terurai menjadi tanah.
Itulah sebabnya,
akan sangat berbahaya
jika kita memahami agama hanya berupa hafalan dalil dan konsep di kepala,
namun tidak terpahami secara mengakar hingga ke jiwa.
Seiring dengan hancurnya otak kita, maka semua konsep di dalamnya pun akan lenyap,
sementara jiwa kita melanjutkan perjalanannya dengan tidak membawa apa-apa.
Nafs sendiri berbeda dengan hawwa nafs,
atau yang biasa kita sebut hawa nafsu.
Sebagaimana namanya, hawa nafsu adalah
“hawa dari nafs”:
hanya sekadar
“hawa keinginan” dari jiwa.
Hawa nafsu sesungguhnya adalah nafs yang palsu, karena keinginan-keinginannya sama-sama berasal
dari dalam diri kita,
sehingga kehendak
hawa nafsu tidak mudah dibedakan dari
kehendak jiwa.
[1/12 00:35] aji rasha: Jadi, diri kita yang sejati bukanlah jasad dengan segala dinamika psikis maupun psikologisnya.
Diri kita yang sejati adalah nafs (jiwa)
yang ada dalam diri kita masing-masing.
Jiwa,
namun bukan sembarang jiwa.
Jiwa yang dimaksud
sebagai diri manusia
yang sejati adalah
jiwa yang sudah terbebas dari dominasi
hawa nafsunya,
dari ikatan keduniawian, maupun
dari daya-daya syahwati jasadnya.
Nafs yang telah terbebas
dari perbudakan syahwat dan hawa nafsunya
inilah yang disebut “nafs yang tenang”.
Nafs yang tenang ini dalam Al-Qur’an disebut sebagai “Nafs Al-Muthma’innah”.
Sebagaimana permukaan air yang telah tenang,
pada kondisi nafs
yang telah tenang inilah
ia bisa melihat kembali pengetahuan tentang
siapa dirinya,
untuk apa dia diciptakan dan apa tugasnya—
semua pengetahuan
yang pernah Allah tanamkan kepadanya—
pun akan terbuka kembali dan tampak dengan jelas baginya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar