Rabu, 01 Desember 2021

Diri Kita yang Sejati

[1/12 00:32] aji rasha: 
Diri kita yang sejati 

sesungguhnya bukan diri kita yang bisa dibedah dengan pisau bedah atau dengan berbagai teori psikologi kepribadian oleh para psikolog. 

Diri kita yang ini—
yang jasadnya kita gunakan dalam interaksi, 
dalam bekerja, 
dalam berhubungan sosial dengan orang lain—sesungguhnya merupakan bentukan dari 
lingkungan, 
orangtua, 
pemikiran, 
norma, 
tren, atau 
paradigma 
yang ada di zaman kita masing-masing. 
Dengan kata lain, 
diri kita yang ini adalah 
hasil bentukan, 
dari dinamika lingkungan luar yang berinteraksi dengan aspek jasadi dan 
aspek psikis kita. 
Paduan komposisi dari semua itulah yang membentuk diri kita yang “jasadi”. 

Diri kita yang ini, 
meski unik, adalah 
diri yang semu. 
Ini bukan diri kita yang sesungguhnya, 
sebenarnya.

Sementara, 
yang dimaksud dan 
dipanggil Allah sebagai “diri” pada manusia, 
sejatinya adalah 
yang Dia sebut sebagai “nafs” dalam Al-Qur’an. 
Nafs, dalam bahasa kita, adalah “jiwa”.

Nafs-lah 
(jamak: anfus, jiwa-jiwa) 
yang dipanggil dan 
disumpah Allah untuk mempersaksikan bahwa Allah adalah Rabb-nya.

وَإِذْ أَخَذَ رَ‌بُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِ‌هِمْ ذُرِّ‌يَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَ‌بِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَـٰذَا غَافِلِينَ

Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa-jiwa mereka: 
"Bukankah Aku ini Rabb-mu?" Mereka menjawab: 
"Betul, sungguh kami bersaksi". 
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang tidak ingat terhadap ini." – 
Q.S. Al-A’raaf [7]: 172

Nafs kita sudah ada 
bahkan sebelum 
alam semesta ada. 
Ia juga yang terus akan melanjutkan hidup 
di alam barzakh dan alam-alam berikutnya setelah kelak jasad kita dengan pikiran, 
hafalan dan 
semua gagasan yang menyertainya—dan 
semua dinamika psikis yang terkait dengannya—
akan mati, lenyap, hancur terurai menjadi tanah.

Itulah sebabnya, 
akan sangat berbahaya 
jika kita memahami agama hanya berupa hafalan dalil dan konsep di kepala, 
namun tidak terpahami secara mengakar hingga ke jiwa. 
Seiring dengan hancurnya otak kita, maka semua konsep di dalamnya pun akan lenyap, 
sementara jiwa kita melanjutkan perjalanannya dengan tidak membawa apa-apa.

Nafs sendiri berbeda dengan hawwa nafs, 
atau yang biasa kita sebut hawa nafsu. 
Sebagaimana namanya, hawa nafsu adalah 
“hawa dari nafs”: 
hanya sekadar 
“hawa keinginan” dari jiwa. 

Hawa nafsu sesungguhnya adalah nafs yang palsu, karena keinginan-keinginannya sama-sama berasal 
dari dalam diri kita, 
sehingga kehendak 
hawa nafsu tidak mudah dibedakan dari 
kehendak jiwa.
[1/12 00:35] aji rasha: Jadi, diri kita yang sejati bukanlah jasad dengan segala dinamika psikis maupun psikologisnya. 

Diri kita yang sejati adalah nafs (jiwa) 
yang ada dalam diri kita masing-masing. 

Jiwa, 
namun bukan sembarang jiwa. 

Jiwa yang dimaksud 
sebagai diri manusia 
yang sejati adalah 
jiwa yang sudah terbebas dari dominasi 
hawa nafsunya, 
dari ikatan keduniawian, maupun 
dari daya-daya syahwati jasadnya. 

Nafs yang telah terbebas 
dari perbudakan syahwat dan hawa nafsunya 
inilah yang disebut “nafs yang tenang”.

Nafs yang tenang ini dalam Al-Qur’an disebut sebagai “Nafs Al-Muthma’innah”. 

Sebagaimana permukaan air yang telah tenang, 
pada kondisi nafs 
yang telah tenang inilah 
ia bisa melihat kembali pengetahuan tentang 
siapa dirinya, 
untuk apa dia diciptakan dan apa tugasnya—
semua pengetahuan 
yang pernah Allah tanamkan kepadanya—
pun akan terbuka kembali dan tampak dengan jelas baginya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar