[1/12 00:40] aji rasha:
Arafa Nafsahu
Nafs-lah yang dahulu mempersaksikan diri
kepada Allah,
berbicara dengan-Nya
dan menerima seluruh pengetahuan
untuk menunjang tugas-tugas penciptaan yang harus
kita laksanakan di dunia.
Sedangkan diri kita
yang jasad—
termasuk dengan segala dinamika fisik, psikis, dan psikologisnya—sesungguhnya
hanya kendaraan bagi
sang jiwa
untuk melaksanakan perannya di alam fisik ini.
Diri kita yang ini
usianya terbatas.
Kelak, ia akan hancur menjadi tanah.
Secerdas-cerdasnya dan seindah-indahnya jasad seseorang,
pada hakikatnya
itu hanya seperti
kecerdasan dan keindahan seekor kuda
jika dibanding
kecerdasan dan keindahan jiwa,
sang pengendaranya. Kecerdasan dan keindahan jiwa
sesungguhnya jutaan
kali lipat dibanding jasadnya—jika saja jiwa
berhasil membebaskan diri dari perbudakan hawa nafsu dan syahwatnya,
dan berhasil membuka kembali ilmu-ilmu ilahiah yang Allah tanamkan dalam dadanya.
Nafs inilah
yang harus kita kenali dengan se-’arif-’arif-nya, karena di tataran nafs-lah Allah menanam bibit pengetahuan agung tentang siapa kita sebenarnya,
untuk fungsi apa
kita diciptakan-Nya, dan bagaimana memperoleh segala prasarana
untuk menjalankan
tugas penciptaan itu.
Bukan di jasad,
bukan di otak, tapi
di tataran nafs.
[1/12 00:41] aji rasha: Secerdas-cerdasnya dan seindah-indahnya
jasad seseorang,
pada hakikatnya
itu hanya seperti kecerdasan dan keindahan seekor kuda jika dibanding kecerdasan dan keindahan jiwa,
sang pengendaranya.
[1/12 00:44] aji rasha: Tentu, langkah awal
untuk mengenal jiwa adalah dengan membebaskannya dulu dari waham,
dari timbunan dosa,
dari kungkungan sifat-sifat jasadi maupun
dominasi syahwat dan
hawa nafsu atas jiwa kita.
Dalam bahasa agama, langkah ini disebut sebagai memulai perjalanan taubat—
perjalanan kembali kepada Allah Ta’ala.
Taubat berasal dari kata “taaba”, yang artinya
kembali.
Sementara,
alih-alih ‘arif akan
jiwanya sendiri,
sebagian besar manusia bukan saja belum mengenal jiwanya.
Mereka bahkan belum bisa membedakan hawa nafsu dengan jiwanya sendiri, karena jiwanya sangat jauh terkubur dalam dosa dan sifat-sifat kejasadiahannya sendiri.
Jiwanya sudah terlalu lemah karena tertimbun dosa-dosa membuatnya lumpuh,
buta dan tuli,
sehingga tak kuasa lagi untuk mengambil alih kendali atas kendaraannya sendiri—jasadnya.
Pada umumnya,
manusia sudah tidak lagi mampu membedakan
mana suara hati nurani,
mana kehendak hawa nafsu, mana keinginan syahwat, mana bisikan setan maupun mana kehendak jiwa.
Semua terdengar sama saja di hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar