Rabu, 01 Desember 2021

Arafa Nafsahu

[1/12 00:40] aji rasha: 

Arafa Nafsahu

Nafs-lah yang dahulu mempersaksikan diri 
kepada Allah, 
berbicara dengan-Nya 
dan menerima seluruh pengetahuan 
untuk menunjang tugas-tugas penciptaan yang harus 
kita laksanakan di dunia. 

Sedangkan diri kita 
yang jasad—
termasuk dengan segala dinamika fisik, psikis, dan psikologisnya—sesungguhnya 
hanya kendaraan bagi 
sang jiwa 
untuk melaksanakan perannya di alam fisik ini. 

Diri kita yang ini 
usianya terbatas. 
Kelak, ia akan hancur menjadi tanah.

Secerdas-cerdasnya dan seindah-indahnya jasad seseorang, 
pada hakikatnya 
itu hanya seperti 
kecerdasan dan keindahan seekor kuda 
jika dibanding 
kecerdasan dan keindahan jiwa, 

sang pengendaranya. Kecerdasan dan keindahan jiwa 
sesungguhnya jutaan 
kali lipat dibanding jasadnya—jika saja jiwa 
berhasil membebaskan diri dari perbudakan hawa nafsu dan syahwatnya, 
dan berhasil membuka kembali ilmu-ilmu ilahiah yang Allah tanamkan dalam dadanya.

Nafs inilah 
yang harus kita kenali dengan se-’arif-’arif-nya, karena di tataran nafs-lah Allah menanam bibit pengetahuan agung tentang siapa kita sebenarnya, 
untuk fungsi apa 
kita diciptakan-Nya, dan bagaimana memperoleh segala prasarana 
untuk menjalankan 
tugas penciptaan itu. 
Bukan di jasad, 
bukan di otak, tapi 
di tataran nafs.
[1/12 00:41] aji rasha: Secerdas-cerdasnya dan seindah-indahnya 
jasad seseorang, 
pada hakikatnya 
itu hanya seperti kecerdasan dan keindahan seekor kuda jika dibanding kecerdasan dan keindahan jiwa, 
sang pengendaranya.
[1/12 00:44] aji rasha: Tentu, langkah awal 
untuk mengenal jiwa adalah dengan membebaskannya dulu dari waham, 
dari timbunan dosa, 
dari kungkungan sifat-sifat jasadi maupun 
dominasi syahwat dan 
hawa nafsu atas jiwa kita. 

Dalam bahasa agama, langkah ini disebut sebagai memulai perjalanan taubat—

perjalanan kembali kepada Allah Ta’ala. 
Taubat berasal dari kata “taaba”, yang artinya 
kembali.

Sementara, 
alih-alih ‘arif akan 
jiwanya sendiri, 
sebagian besar manusia bukan saja belum mengenal jiwanya. 

Mereka bahkan belum bisa membedakan hawa nafsu dengan jiwanya sendiri, karena jiwanya sangat jauh terkubur dalam dosa dan sifat-sifat kejasadiahannya sendiri. 

Jiwanya sudah terlalu lemah karena tertimbun dosa-dosa membuatnya lumpuh, 
buta dan tuli, 
sehingga tak kuasa lagi untuk mengambil alih kendali atas kendaraannya sendiri—jasadnya. 

Pada umumnya, 
manusia sudah tidak lagi mampu membedakan 
mana suara hati nurani, 
mana kehendak hawa nafsu, mana keinginan syahwat, mana bisikan setan maupun mana kehendak jiwa. 

Semua terdengar sama saja di hatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar