Al-Muflihun,
Khalifah Allah,
Shirath al-Mustaqim dan Taqwa
Siapakah orang-orang yang beruntung (Al-Muflihun) itu?
Dari sudut pandang Allah, orang-orang yang beruntung adalah mereka yang senantiasa dituntun dan ditunjuki oleh Allah
setiap saat.
Continuously.
Apakah ia memohon
atau tidak,
Allah akan tetap menuntun dan menunjukinya.
Allah menuntunnya
setiap saat.
أُولَـٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ ۖ وَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk
dari Tuhan mereka.
Dan merekalah Al-Muflihun (orang-orang yg beruntung).
Q.S. Al-Baqarah [2]: 5
Untuk apa
ditunjuki Allah setiap saat? Untuk menjalankan perannya, dengan melaksanakan sebuah pengabdian
pada Allah Ta’ala.
Itulah tujuan besar penciptaan insan:
untuk melaksanakan
suatu peran
sebagai pengabdian
kepada Allah.
Ia melakukannya dengan melaksanakan petunjuk-petunjuk
yang senantiasa dia terima melalui qalb masing-masing.
Untuk apa insan
harus menerima petunjuk Allah?
Agar ia bisa berperan
sebagai Khalifah Allah.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
para Malaikat: 'Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan
seorang khalifah
di muka bumi.' –
Q.S. Al-Baqarah [2]: 30
هُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ فِي الْأَرْضِ ۚ
Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah
di muka bumi. –
Q.S. Faathir [35]: 39
Asal kata “khalifah”
dalam bahasa Arab bermakna
“seseorang
yang menggantikan peran”, atau
“seseorang yg menjalankan kekuasaan atas nama penguasa lain”—
bukan semata-mata “penguasa”.
Insan yang telah mampu menerima petunjuk inilah yang harus berperan
sebagai khalifah Allah.
Ia bertindak sebagai seorang pelaksana mandat,
wakil Allah,
dalam memakmurkan
alam semesta masing-masing, dan melaksanakan tugas-tugasnya
berdasarkan tuntunan dan bimbingan Allah setiap saat.
Seorang khalifah Allah
bukan semata-mata
seorang insan yang mengambil peran tersebut sesuai keinginannya,
menurut pilihan orang lain atau menurut tingkat pendidikannya.
Sebagai wakil atau pemegang mandat
Allah Ta’ala,
tentu saja ia harus dalam kapasitas yang mampu mewakili Allah Ta’ala
di alam fisik ini.
Semakin ia mewakili Allah, maka semakin mirip sifat-sifatnya dengan
Allah Ta’ala,
dan semakin tinggi pula
ia dalam peran ke-khalifah-annya itu.
Ia “dicelupkan” ke dalam sifat-sifat Allah
sehingga sepenuhnya terwarnai dengan sifat-sifat-Nya.
Itulah keadaan seorang hamba Allah atau abdi Allah—Abdullah—
sebelum melaksanakan pengabdiannya yang hakiki kepada Allah.
Untuk pengabdian
dengan kondisi seperti inilah sesungguhnya kita diciptakan-Nya.
صِبْغَةَ اللَّـهِ ۖ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّـهِ صِبْغَةً ۖ وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ
Shibghah Allah
(celupan Allah)!
Dan siapakah yang lebih baik shibghah (celupan)-nya daripada Allah?
Dan hanya kepada-Nya-lah kami mengabdi. –
Q.S. Al-Baqarah [2]: 138
Tidak ada komentar:
Posting Komentar