Ibadah vs Pengabdian
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. –
Q.S. Adz-Dzaariyaat [51]: 56
Kata “ya’bud” di ayat tersebut umum diterjemahkan dengan makna “ibadah”,
sehingga konotasi ayat tersebut mengisyaratkan seakan-akan manusia dan jin diciptakan adalah
untuk melaksanakan kewajiban ibadah ritual formal seperti shalat, puasa, dan semacamnya saja,
untuk selanjutnya menerima ganjaran pahala atau siksa.
Kita akan memahami
dengan lebih utuh
jika kita tidak mereduksi makna “ya’bud”
menjadi sekadar “ibadah”. Kata “ya’bud”
memiliki akar kata yang sama dengan kata “abid”, yang berarti budak, hamba, atau abdi.
Kata “ya’bud” sendiri
adalah kata kerja,
yang arti sesungguhnya adalah “menjadi seorang hamba”, “menghamba” atau “mengabdi”—
bukan sekadar “beribadah”.
Dengan demikian,
firman Allah tersebut mengatakan bahwa
baik jin maupun manusia sesungguhnya diciptakan untuk mengabdi kepada-Nya. Menjadi hamba Allah,
dan tidak mengikuti kehendak syahwat,
hawa nafsu, pikiran, perasaan dan apa pun selain Allah.
Hanya kehendak Allah sajalah yang boleh menjadi landasan seluruh tindakan lahir maupun batin insan.
Tidak ada yang boleh mendominasi perilaku
lahir dan batin insan
selain kehendak Allah.
Ia harus sepenuhnya selaras dengan kehendak Allah, setiap saat.
Maka, kita tidak bekerja mencari penghasilan hanya karena ingin memuaskan hawa nafsu:
ingin kaya, misalnya.
Namun kita bekerja
karena Allah memerintahkannya.
Dari luar seorang insan bekerja memeras keringat untuk mencari penghidupan, namun dengan pemahaman tersebut,
secara batin ia bekerja adalah sebagai pengabdian kepada Allah,
dengan memenuhi kehendak-Nya.
Nah. Implikasi lain
dari mengabdi hanya
kepada Allah dan
hanya memenuhi kehendak-Nya,
kita jadi membutuhkan petunjuk Allah
untuk memahami apa
yang Ia kehendaki dari kita. Setiap saat.
Dengan kata lain,
kita butuh untuk selalu tertunjuki dan tertuntun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar