[30/11 20:04] aji rasha: Taubat,
Fithrah Diri dan
Misi Hidup
Fithrah (f – th – r),
adalah istilah bahasa Arab yang bermakna
“pembawaan dasar”,
“natur primordial” atau “keadaan sebagaimana mulanya”.
Dalam Al-Qur’an,
kata “fithrah” terkait
dengan makna “natur (insan) sesuai dengan kadar-kadar penciptaannya”.
Inilah fithrah:
bahwa masing-masing kita diciptakan dengan memiliki kadar-kadar tertentu.
Setiap kita diciptakan-Nya dengan dirancang
untuk memiliki sekian kadar kombinasi keunggulan di sisi tertentu, dan
lemah di sisi-sisi lainnya.
Ini adalah demi kesesuaian untuk melaksanakan
sebuah tugas,
demi melaksanakan
sebuah misi.
Dari Imran r.a.,
saya bertanya,
"Ya Rasulullah, apa dasarnya amal orang yang beramal?" Rasulullah SAW menjawab, "Tiap-tiap diri
dimudahkan mengerjakan sebagaimana dia telah diciptakan untuk itu." –
H.R. Bukhari no. 2026
Misi hidup seorang manusia, secara spesifik,
merupakan manifestasi dari fithrah dirinya.
Fithrah diri ini telah tertanam di dalam jiwa (nafs) insan sejak awal penciptaannya.
Dan sesungguhnya
fithrah diri setiap insan inilah yang tidak akan pernah mengalami perubahan sedikit pun,
sebagaimana tertulis dalam Q.S. Ar-Ruum [30]: 30,
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada ad-diin, fitrah Allah,
yang Allah telah menciptakan manusia berdasarkan fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.”
Sementara manusia,
karena kehendak
hawa nafsunya,
cenderung ingin menjadikan dirinya sekehendak hatinya. Manusia selalu melihat dirinya kurang dan
ingin menjadi sosok
yang lebih sempurna.
Namun, kesempurnaan
yang ia cari adalah kesempurnaan yang berdasarkan keinginan
hawa nafsunya,
bukan kesempurnaan berdasarkan petunjuk dan tuntunan Allah
yang sesuai dengan
fithrah dirinya—
yang sesungguhnya merupakan kesempurnaan yang telah Allah fithrah-kan untuknya.
Manusia selalu melihat kepada orang lain dan
ingin menjadi seperti orang lain,
bukan menjadi dirinya sendiri—atau setidaknya mempertanyakan: bagaimana seharusnya
saya dari sudut pandang Allah Ta’ala.
Ini karena insan
gagal mengenali pengetahuan agung
yang Allah letakkan
dalam dada batinnya:
siapa dirinya sebenarnya.
Insan,
karena mengikuti
hawa nafsunya,
akan cenderung mengkhianati fithrah dirinya. Itulah sebabnya insan
tidak akan pernah mencapai kebahagiaan hakiki
jika ia terus mengkhianati fithrah dirinya.
Seekor burung diciptakan untuk terbang,
maka ia tidak akan pernah berbahagia
jika ia ingin menjadi ikan. Fithrah dirinya adalah terbang,
bukan hidup di dalam air. Sebaliknya pada seekor ikan, fithrah dirinya adalah
untuk hidup di air. Kebahagiaannya Allah letakkan di dalam air.
Jika ia ingin hidup di darat, maka itu akan menjadi penderitaan baginya,
karena ia melanggar fithrah-nya.
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّـهَ يُسَبِّحُ لَهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالطَّيْرُ صَافَّاتٍ ۖ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَهُ وَتَسْبِيحَهُ ۗ وَاللَّـهُ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah, kepada-Nya ber-tasbih apa-apa yang ada di seluruh petala langit dan bumi,
dan burung dengan mengembangkan sayapnya. Sungguh, setiap sesuatu memahami cara shalat dan tasbih-nya.
Dan Allah mengetahui tentang apa-apa yang mereka laksanakan. –
Q.S. An-Nuur [24]: 41
Dikatakan bahwa
burung ber-tasbih dan
shalat
dengan hidup
sesuai fithrah-nya,
yaitu dengan terbang mengembangkan sayapnya. Demikian pula segala sesuatu di seluruh penjuru langit dan bumi,
ber-tasbih dan shalat
dengan cara hidup masing-masing dan
telah berfungsi sesuai fithrah masing-masing—
kecuali manusia dan jin,
tentu saja,
yang tidak dengan sendirinya hidup sesuai fithrah
sejak awal,
karena mereka dianugerahi akal dan kebebasan memilih.
[30/11 20:16] aji rasha: تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ ۚ وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَـٰكِن لَّا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ ۗ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا
Bertasbih kepada-Nya
langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya.
Dan tak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan keterpujian-Nya,
tetapi kamu sekalian
tidak mengerti tasbih mereka.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi
Maha Pengampun. –
Q.S. Al-Israa’ [17]: 44
Bagi manusia,
ia baru ada dalam tingkat penghambaan yang tertinggi kepada Allah,
ada di atas
Shirath al-Mustaqim
dengan tertuntun,
dan ada dalam tingkat ke-taqwa-an tertingginya, hanya jika ia telah hidup dan berfungsi sepenuhnya
sesuai dengan fithrah dirinya.
Berbeda dengan burung
dan ikan,
insan dalam melakukan shalat dan tasbih
memiliki dua bentuk: melakukannya
secara lahir dan
secara batin.
Ketika seorang insan
telah sepenuhnya berfungsi sesuai fithrah dirinya
sesuai untuk apa ia diciptakan,
maka sejak itu—
secara batin—
setiap langkah dan napasnya telah menjadi
sebentuk shalat dan
bentuk tasbih-nya
pada Allah
secara terus-menerus,
tanpa henti,
sebagaimana burung tadi yang shalat dan ber-tasbih dengan mengembangkan sayapnya.
Di sisi lain,
secara lahiriah ia tetap wajib melaksanakan
shalat dan tasbih
di waktu-waktu tertentu sebagaimana
tuntunan syariat,
dengan tidak meninggalkan shalat hingga napasnya yang penghabisan.
Untuk apa
hidupInsan,
karena mengikuti
hawa nafsunya,
akan cenderung mengkhianati fithrah dirinya.
Itulah sebabnya
insan tidak akan pernah mencapai kebahagiaan hakiki jika ia terus mengkhianati fithrah dirinya.
Kepada manusia,
Allah memberi akal dan kemampuan untuk memilih tindakan,
sebagai instrumen untuk menjalankan fungsi ke-khalifah-an di bumi. Namun, justru
dengan bekal inilah
sebagian besar manusia selalu memilih untuk menjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan fithrah dirinya.
Selama manusia belum mengenal kembali
fithrah dirinya dan
hidup sesuai dengan fithrah itu, yaitu
mengenali dirinya
untuk apa ia diciptakan dan menjalankan amanah ilahiah pribadinya—
misi hidupnya—itu,
maka ia tidak akan pernah meraih kebahagiaan hakiki.
Contoh sangat sederhana, seorang yang tidak dimudahkan
dalam melakukan hal-hal administratif,
jika ia memilih bekerja
di bidang administrasi karena hanya ingin meraih tawaran gaji besar,
maka itu akan menjadi penderitaan baginya.
Jenis pekerjaan itu
tidak akan pernah sesuai dengan fithrah dirinya.
Kebahagiaan tertinggi insan Allah letakkan pada
fithrah dirinya masing-masing,
yaitu dengan berfungsi sesuai dengan untuk peran apa Allah menciptakannya.
Sesungguhnya Allah
telah meletakkan kebahagiaan tertinggi
setiap manusia
di dalam dirinya sendiri.
Inilah yang dimaksud oleh para ahli hikmah
yang kerap mengatakan bahwa
“Allah meletakkan
harta karun setiap manusia di dalam dirinya sendiri.”
Term “mengenal diri” sesungguhnya sama dengan mengenal fithrah diri,
dan memahami kembali untuk apa ia diciptakan.
Pengetahuan tentang
fithrah diri ini
tersimpan di dalam jiwa kita masing-masing.
Inilah maksudnya
bahwa manusia
baru akan berbahagia
hanya ketika ia
telah mengenal diri sejatinya, atau mengenal jiwanya.
Fithrah diri insan ini
bisa dikenali kembali—
yaitu, manusia
bisa mengenal lagi
siapa dirinya sesungguhnya—melalui sebuah per-taubat-an kepada Allah,
dengan kembali kepada Allah
(“taubat” berasal dari kata “taaba” yang artinya kembali),
dengan ber-takwa
kepada Allah,
dengan menegakkan shalat, dan dengan tidak mempersekutukan Allah dengan apa pun.
Ia hanya tunduk taat
kepada Allah,
tidak kepada apa pun selain Allah—
termasuk pada
hawa nafsunya dan kehendaknya sendiri.
[30/11 20:23] aji rasha: Sayangnya,
sangat sedikit insan
yang memahami hubungan yang saling terkait
antara kekuatan dan kelemahan diri,
fithrah diri,
Ad-Diin,
shirath al-Mustaqim,
taubat,
misi hidup,
shalat,
tidak mempersekutukan Allah
(tidak tunduk pada
hawa nafsu dan syahwat), ketakwaan dan
kebahagiaan hakiki.
Semua keterkaitan hal ini tergambar dalam
Q.S. Ar-Ruum [30]: 30–31 berikut ini.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّـهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّـهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَـٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
مُنِيبِينَ إِلَيْهِ وَاتَّقُوهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah);
(Itu adalah) fitrah Allah
yang Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.
(Itulah) Agama yang kokoh, tetapi sebagian
besar manusia tidak mengetahuinya.
Dengan kembali
bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya, serta dirikanlah shalat, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.” – Q.S. Ar-Ruum [30]: 30–31
Demikianlah,
bahwa sesungguhnya berfungsi dan hidup sesuai dengan fithrah diri
adalah menjalankan misi hidup masing-masing, sebagaimana sabda Rasulullah tadi:
(menemukan dan) melaksanakan
apa yang dimudahkan baginya,
sesuai dengan untuk apa ia diciptakan.
Diungkapkan pada ayat tersebut, bahwa
langkah awal untuk mengenali fithrah diri ini hanya bisa ditempuh dengan memasuki pintu gerbang pertaubatan,
dengan kembali kepada Allah.
Jika seorang insan Allah kembalikan pada
fithrah dirinya
melalui proses pertaubatan, maka ia akan
mengenali qudrat diri (qudrah) yang pernah Allah kuasakan kepadanya.
Ia pun akan mengenali tujuan spesifik dari
penciptaan dirinya.
Ia, setelah berhasil membuka kuasa Allah dalam dirinya, dikatakan sebagai
orang yang telah
mengenal dirinya—
ia mengenal siapa dirinya sesungguhnya.
Dikatakan dalam ayat
Q.S. Ar-Ruum [30]: 30–31 tersebut, bahwa sekukuh-kukuhnya ad-Diin (diinul qayyim) dalam
diri insan itu akan dapat terbangun ketika insan telah mengenali fithrah dirinya.
Ia akan mulai beragama sesuai dengan jati dirinya, dan hidup dan menapak pada jalan lurusnya sendiri,
shirat Al-Mustaqim-nya, sebuah jalan hidup spesifik yang telah Allah ciptakan untuk dirinya sebagai
jalan pengabdiannya
kepada Allah yang khusus untuk dirinya.
Setiap insan
sesungguhnya memiliki shirath al-Mustaqim-nya sendiri-sendiri,
sebagaimana kerap dikatakan oleh
para ahli hikmah, bahwa “jalan menuju Allah
ada sebanyak jumlah nafs (jiwa) manusia.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar