Rabu, 01 Desember 2021

Taubat, Fithrah Diri dan Misi Hidup

[30/11 20:04] aji rasha: Taubat, 
Fithrah Diri dan 
Misi Hidup


Fithrah (f – th – r), 
adalah istilah bahasa Arab yang bermakna 
“pembawaan dasar”, 
“natur primordial” atau “keadaan sebagaimana mulanya”. 

Dalam Al-Qur’an, 
kata “fithrah” terkait 
dengan makna “natur (insan) sesuai dengan kadar-kadar penciptaannya”.

Inilah fithrah: 
bahwa masing-masing kita diciptakan dengan memiliki kadar-kadar tertentu. 
Setiap kita diciptakan-Nya dengan dirancang 
untuk memiliki sekian kadar kombinasi keunggulan di sisi tertentu, dan 
lemah di sisi-sisi lainnya. 
Ini adalah demi kesesuaian untuk melaksanakan 
sebuah tugas, 
demi melaksanakan 
sebuah misi.

Dari Imran r.a., 
saya bertanya, 
"Ya Rasulullah, apa dasarnya amal orang yang beramal?" Rasulullah SAW menjawab, "Tiap-tiap diri 
dimudahkan mengerjakan sebagaimana dia telah diciptakan untuk itu." – 
H.R. Bukhari no. 2026

Misi hidup seorang manusia, secara spesifik, 
merupakan manifestasi dari fithrah dirinya. 
Fithrah diri ini telah tertanam di dalam jiwa (nafs) insan sejak awal penciptaannya. 

Dan sesungguhnya 
fithrah diri setiap insan inilah yang tidak akan pernah mengalami perubahan sedikit pun, 
sebagaimana tertulis dalam Q.S. Ar-Ruum [30]: 30, 
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada ad-diin, fitrah Allah, 
yang Allah telah menciptakan manusia berdasarkan fitrah itu. 
Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.”

Sementara manusia, 
karena kehendak 
hawa nafsunya, 
cenderung ingin menjadikan dirinya sekehendak hatinya. Manusia selalu melihat dirinya kurang dan 
ingin menjadi sosok 
yang lebih sempurna. 
Namun, kesempurnaan 
yang ia cari adalah kesempurnaan yang berdasarkan keinginan 
hawa nafsunya, 
bukan kesempurnaan berdasarkan petunjuk dan tuntunan Allah 
yang sesuai dengan 
fithrah dirinya—
yang sesungguhnya merupakan kesempurnaan yang telah Allah fithrah-kan untuknya.

Manusia selalu melihat kepada orang lain dan 
ingin menjadi seperti orang lain, 
bukan menjadi dirinya sendiri—atau setidaknya mempertanyakan: bagaimana seharusnya 
saya dari sudut pandang Allah Ta’ala. 

Ini karena insan 
gagal mengenali pengetahuan agung 
yang Allah letakkan 
dalam dada batinnya: 
siapa dirinya sebenarnya.

Insan, 
karena mengikuti 
hawa nafsunya, 
akan cenderung mengkhianati fithrah dirinya. Itulah sebabnya insan 
tidak akan pernah mencapai kebahagiaan hakiki 
jika ia terus mengkhianati fithrah dirinya.

Seekor burung diciptakan untuk terbang, 
maka ia tidak akan pernah berbahagia 
jika ia ingin menjadi ikan. Fithrah dirinya adalah terbang, 
bukan hidup di dalam air. Sebaliknya pada seekor ikan, fithrah dirinya adalah 
untuk hidup di air. Kebahagiaannya Allah letakkan di dalam air. 
Jika ia ingin hidup di darat, maka itu akan menjadi penderitaan baginya, 
karena ia melanggar fithrah-nya.

أَلَمْ تَرَ‌ أَنَّ اللَّـهَ يُسَبِّحُ لَهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْ‌ضِ وَالطَّيْرُ‌ صَافَّاتٍ ۖ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَهُ وَتَسْبِيحَهُ ۗ وَاللَّـهُ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ

Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah, kepada-Nya ber-tasbih apa-apa yang ada di seluruh petala langit dan bumi, 
dan burung dengan mengembangkan sayapnya. Sungguh, setiap sesuatu memahami cara shalat dan tasbih-nya. 
Dan Allah mengetahui tentang apa-apa yang mereka laksanakan. – 
Q.S. An-Nuur [24]: 41

Dikatakan bahwa 
burung ber-tasbih dan 
shalat 
dengan hidup 
sesuai fithrah-nya, 
yaitu dengan terbang mengembangkan sayapnya. Demikian pula segala sesuatu di seluruh penjuru langit dan bumi, 
ber-tasbih dan shalat 
dengan cara hidup masing-masing dan 
telah berfungsi sesuai fithrah masing-masing—
kecuali manusia dan jin, 
tentu saja, 
yang tidak dengan sendirinya hidup sesuai fithrah 
sejak awal, 
karena mereka dianugerahi akal dan kebebasan memilih.
[30/11 20:16] aji rasha: تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْ‌ضُ وَمَن فِيهِنَّ ۚ وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَـٰكِن لَّا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ ۗ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورً‌ا

Bertasbih kepada-Nya 
langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya. 
Dan tak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan keterpujian-Nya, 
tetapi kamu sekalian 
tidak mengerti tasbih mereka. 
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi 
Maha Pengampun. – 
Q.S. Al-Israa’ [17]: 44

Bagi manusia, 
ia baru ada dalam tingkat penghambaan yang tertinggi kepada Allah, 
ada di atas 
Shirath al-Mustaqim 
dengan tertuntun, 
dan ada dalam tingkat ke-taqwa-an tertingginya, hanya jika ia telah hidup dan berfungsi sepenuhnya 
sesuai dengan fithrah dirinya.

Berbeda dengan burung 
dan ikan, 

insan dalam melakukan shalat dan tasbih 
memiliki dua bentuk: melakukannya 
secara lahir dan 
secara batin. 

Ketika seorang insan 
telah sepenuhnya berfungsi sesuai fithrah dirinya 
sesuai untuk apa ia diciptakan, 
maka sejak itu—
secara batin—
setiap langkah dan napasnya telah menjadi 
sebentuk shalat dan 
bentuk tasbih-nya 
pada Allah 
secara terus-menerus, 
tanpa henti, 

sebagaimana burung tadi yang shalat dan ber-tasbih dengan mengembangkan sayapnya. 

Di sisi lain, 
secara lahiriah ia tetap wajib melaksanakan 
shalat dan tasbih 
di waktu-waktu tertentu sebagaimana 
tuntunan syariat, 
dengan tidak meninggalkan shalat hingga napasnya yang penghabisan.

Untuk apa 
hidupInsan, 
karena mengikuti 
hawa nafsunya, 
akan cenderung mengkhianati fithrah dirinya. 

Itulah sebabnya 
insan tidak akan pernah mencapai kebahagiaan hakiki jika ia terus mengkhianati fithrah dirinya.

Kepada manusia, 
Allah memberi akal dan kemampuan untuk memilih tindakan, 
sebagai instrumen untuk menjalankan fungsi ke-khalifah-an di bumi. Namun, justru 
dengan bekal inilah 
sebagian besar manusia selalu memilih untuk menjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan fithrah dirinya.

Selama manusia belum mengenal kembali 
fithrah dirinya dan 
hidup sesuai dengan fithrah itu, yaitu 
mengenali dirinya 
untuk apa ia diciptakan dan menjalankan amanah ilahiah pribadinya—
misi hidupnya—itu, 
maka ia tidak akan pernah meraih kebahagiaan hakiki. 

Contoh sangat sederhana, seorang yang tidak dimudahkan 
dalam melakukan hal-hal administratif, 
jika ia memilih bekerja 
di bidang administrasi karena hanya ingin meraih tawaran gaji besar, 
maka itu akan menjadi penderitaan baginya. 
Jenis pekerjaan itu 
tidak akan pernah sesuai dengan fithrah dirinya.

Kebahagiaan tertinggi insan Allah letakkan pada 
fithrah dirinya masing-masing, 
yaitu dengan berfungsi sesuai dengan untuk peran apa Allah menciptakannya. 

Sesungguhnya Allah 
telah meletakkan kebahagiaan tertinggi 
setiap manusia 
di dalam dirinya sendiri. 

Inilah yang dimaksud oleh para ahli hikmah 
yang kerap mengatakan bahwa 
“Allah meletakkan 
harta karun setiap manusia di dalam dirinya sendiri.”

Term “mengenal diri” sesungguhnya sama dengan mengenal fithrah diri, 
dan memahami kembali untuk apa ia diciptakan. 

Pengetahuan tentang 
fithrah diri ini 
tersimpan di dalam jiwa kita masing-masing. 

Inilah maksudnya 
bahwa manusia 
baru akan berbahagia 
hanya ketika ia 
telah mengenal diri sejatinya, atau mengenal jiwanya.

Fithrah diri insan ini 
bisa dikenali kembali—
yaitu, manusia 
bisa mengenal lagi 
siapa dirinya sesungguhnya—melalui sebuah per-taubat-an kepada Allah, 
dengan kembali kepada Allah 

(“taubat” berasal dari kata “taaba” yang artinya kembali), 

dengan ber-takwa 
kepada Allah, 
dengan menegakkan shalat, dan dengan tidak mempersekutukan Allah dengan apa pun. 
Ia hanya tunduk taat 
kepada Allah, 
tidak kepada apa pun selain Allah—
termasuk pada 
hawa nafsunya dan kehendaknya sendiri.
[30/11 20:23] aji rasha: Sayangnya, 
sangat sedikit insan 
yang memahami hubungan yang saling terkait 
antara kekuatan dan kelemahan diri, 
fithrah diri, 
Ad-Diin, 
shirath al-Mustaqim, 
taubat, 
misi hidup, 
shalat, 
tidak mempersekutukan Allah 
(tidak tunduk pada 
hawa nafsu dan syahwat), ketakwaan dan 
kebahagiaan hakiki. 

Semua keterkaitan hal ini tergambar dalam 
Q.S. Ar-Ruum [30]: 30–31 berikut ini.

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَ‌تَ اللَّـهِ الَّتِي فَطَرَ‌ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّـهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَـٰكِنَّ أَكْثَرَ‌ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

مُنِيبِينَ إِلَيْهِ وَاتَّقُوهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِ‌كِينَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); 
(Itu adalah) fitrah Allah 
yang Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. 
(Itulah) Agama yang kokoh, tetapi sebagian 
besar manusia tidak mengetahuinya. 
Dengan kembali 
bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya, serta dirikanlah shalat, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.” – Q.S. Ar-Ruum [30]: 30–31

Demikianlah, 
bahwa sesungguhnya berfungsi dan hidup sesuai dengan fithrah diri 
adalah menjalankan misi hidup masing-masing, sebagaimana sabda Rasulullah tadi: 
(menemukan dan) melaksanakan 
apa yang dimudahkan baginya, 
sesuai dengan untuk apa ia diciptakan.

Diungkapkan pada ayat tersebut, bahwa 
langkah awal untuk mengenali fithrah diri ini hanya bisa ditempuh dengan memasuki pintu gerbang pertaubatan, 
dengan kembali kepada Allah. 

Jika seorang insan Allah kembalikan pada 
fithrah dirinya 
melalui proses pertaubatan, maka ia akan 
mengenali qudrat diri (qudrah) yang pernah Allah kuasakan kepadanya. 
Ia pun akan mengenali tujuan spesifik dari 
penciptaan dirinya. 
Ia, setelah berhasil membuka kuasa Allah dalam dirinya, dikatakan sebagai 
orang yang telah 
mengenal dirinya—
ia mengenal siapa dirinya sesungguhnya.

Dikatakan dalam ayat 
Q.S. Ar-Ruum [30]: 30–31 tersebut, bahwa sekukuh-kukuhnya ad-Diin (diinul qayyim) dalam 
diri insan itu akan dapat terbangun ketika insan telah mengenali fithrah dirinya. 
Ia akan mulai beragama sesuai dengan jati dirinya, dan hidup dan menapak pada jalan lurusnya sendiri, 
shirat Al-Mustaqim-nya, sebuah jalan hidup spesifik yang telah Allah ciptakan untuk dirinya sebagai 
jalan pengabdiannya 
kepada Allah yang khusus untuk dirinya. 
Setiap insan 
sesungguhnya memiliki shirath al-Mustaqim-nya sendiri-sendiri, 
sebagaimana kerap dikatakan oleh 
para ahli hikmah, bahwa “jalan menuju Allah 
ada sebanyak jumlah nafs (jiwa) manusia.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar