[1/12 00:59] aji rasha:
Arif akan nafs,
‘Arif akan
Tujuan Penciptaan Diri
Masing-masing manusia mempunyai sebuah fungsi spesifik,
sebuah peran yang harus dilakukannya atas nama Allah,
yang menjadi alasan penciptaannya.
Dengan kata lain,
untuk tugas itulah
seorang manusia diciptakan. Dan,
jika ia berhasil
menemukan tugasnya itu—yang pengetahuan tentang ini ada dalam jiwanya—
maka ia akan menjadi
yang terbaik dalam bidang tugasnya tersebut.
Tugas tersebut, atau
amal tersebut, atau tepatnya—pelaksanaan pengabdian tersebut—
akan Allah
mudahkan baginya.
Dari Imran r.a.,
saya bertanya,
“Ya Rasulullah,
apa dasarnya amal orang yang beramal?”
Rasulullah SAW menjawab, “Tiap-tiap diri
dimudahkan mengerjakan sebagaimana dia telah diciptakan untuk (amal) itu.” – H.R. Bukhari no. 2026
“…(Ya Rasulullah)
apakah gunanya amal orang-orang yang beramal?” Beliau SAW menjawab, “Tiap-tiap diri bekerja
sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau
menurut apa yang dimudahkan kepadanya.” – H.R. Bukhari no. 1777
Dan tempuhlah
jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan bagimu. –
Q.S. An-Nahl [16]: 69
“Tiap-tiap diri”,
sabda Rasulullah SAW. Spesifik.
Setiap orang.
Dengan mengetahui
fungsi spesifik kita masing-masing,
maka kita mulai melaksanakan ibadah (pengabdian)
yang paling hakiki,
yang sesungguhnya,
yang sesuai dengan fungsi kita diciptakan.
Sebagai contoh,
shalatnya seekor burung
ada di dalam bentuk membuka sayapnya ketika ia terbang, dan
shalatnya seekor ikan ada
di dalam kondisi saat ia berenang di dalam air.
Masing-masing kita pun memiliki cara pengabdian yang spesifik,
jika kita berhasil menemukan fungsi untuk apa kita diciptakan-Nya.
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّـهَ يُسَبِّحُ لَهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالطَّيْرُ صَافَّاتٍ ۖ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَهُ وَتَسْبِيحَهُ ۗ وَاللَّـهُ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya ber-tasbih kepada Allah
siapa pun yang ada di petala langit dan bumi,
dan burung dengan mengembangkan sayapnya. Sungguh setiap sesuatu mengetahui cara shalatnya dan cara tasbih-nya masing-masing.
Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang mereka kerjakan. –
Q.S. An-Nuur [24]: 41
Inilah pengabdian hakiki seorang hamba
pada Rabb-nya: melaksanakan pengabdian dengan cara menjalankan fungsi spesifik diri kita, sesuai dengan untuk apa
kita diciptakan-Nya
sejak awal.
Fungsi diri yang spesifik inilah yang disebut dengan “misi hidup’ atau
“tugas kelahiran”.
Kebaktian tertinggi
seorang ‘abid adalah
dengan menggunakan kemampuan terbaik
yang dimilikinya—melaksanakan tujuan penciptaannya dengan
segala perangkat yang telah diletakkan Allah dalam jiwanya—
untuk menjalankan peran khususnya atas nama
Allah Ta’ala.
Ia menyampaikan khazanah Rabb-nya bagi
alam semestanya.
Inilah fungsi hakikinya sebagai manusia:
menjadi
“perpanjangan tangan Allah” untuk memakmurkan
alam semestanya sendiri. Inilah makna sesungguhnya dari kata “khalifah”: pemakmur, bukan semata-mata penguasa.
‘Arif akan nafs, sesungguhnya sama artinya dengan memahami alasan penciptaan kita dan
amal tertinggi kita:
untuk tugas dan peran apa kita diciptakan.
‘Arif terhadap nafs
sama dengan memahami sepenuhnya misi hidup kita dan melaksanakannya.
[1/12 01:03] aji rasha: Jadi, itulah makna
“Man ‘Arafa Nafsahu”:
siapa yang ‘arif akan nafs-nya,
pada dasarnya sama artinya dengan
“siapa yang memahami tujuan penciptaannya”.
Ksatria
Kebaktian tertinggi
seorang ‘abid adalah
dengan menggunakan kemampuan terbaik
yang dimilikinya, melaksanakan
tujuan penciptaannya dengan segala perangkat yang telah diletakkan Allah dalam jiwanya—
untuk menjalankan
peran khususnya atas nama Allah Ta’ala.
Ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh At-Thabrani tentang ke-’arif-an seorang mukmin:
Sahabat Anas bin Malik meriwayatkan, suatu ketika Rasulullah SAW
sedang berjalan-jalan.
Beliau bertemu dengan seorang sahabat Anshar bernama Haritsah al-Anshari r.a.
Rasulullah SAW bertanya: “Bagaimana keadaanmu
pagi ini, ya Haritsah?”
Haritsah menjawab,
“Pagi ini hamba telah menjadi mu’min yang haqq (mu’min haqqan)”.
Rasulullah SAW menjawab, “Pikirkanlah dulu apa-apa yang akan engkau katakan, sebab segala sesuatu
ada hakikatnya
(fa inna likulli syay’in haqiqatan).
Lalu apa hakikat
[yang Allah tampakkan sebagai bukti] dari keimananmu itu
(fa ma haqiqatu imanika)?”
Jawabnya,
“Jiwa hamba sudah lepas dari dunia.
Hamba berjaga di malam hari (untuk beribadah), dan hamba kehausan
di siang hari
(karena berpuasa).
Dan sekarang hamba melihat arsy Rabb hamba dengan nyata.
Dan sekarang hamba
melihat para ahli surga
saling mengunjungi, dan hamba melihat para ahli neraka menjerit-jerit di dalamnya.”
Dan berkata Rasulullah SAW “Engkau telah ‘arif (‘arafta), ya Haritsah.
Maka jagalah keadaanmu itu.”
– H. R. At-Thabrani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar