Rabu, 01 Desember 2021

Arif akan nafs, ‘Arif akan Tujuan Penciptaan Diri

[1/12 00:59] aji rasha: 

Arif akan nafs, 
‘Arif akan 
Tujuan Penciptaan Diri

Masing-masing manusia mempunyai sebuah fungsi spesifik, 
sebuah peran yang harus dilakukannya atas nama Allah, 
yang menjadi alasan penciptaannya. 
Dengan kata lain, 
untuk tugas itulah 
seorang manusia diciptakan. Dan, 
jika ia berhasil 
menemukan tugasnya itu—yang pengetahuan tentang ini ada dalam jiwanya—
maka ia akan menjadi 
yang terbaik dalam bidang tugasnya tersebut. 
Tugas tersebut, atau 
amal tersebut, atau tepatnya—pelaksanaan pengabdian tersebut—
akan Allah 
mudahkan baginya.

Dari Imran r.a., 
saya bertanya, 
“Ya Rasulullah, 
apa dasarnya amal orang yang beramal?” 
Rasulullah SAW menjawab, “Tiap-tiap diri 
dimudahkan mengerjakan sebagaimana dia telah diciptakan untuk (amal) itu.” – H.R. Bukhari no. 2026

“…(Ya Rasulullah) 
apakah gunanya amal orang-orang yang beramal?” Beliau SAW menjawab, “Tiap-tiap diri bekerja 
sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau 
menurut apa yang dimudahkan kepadanya.” – H.R. Bukhari no. 1777

Dan tempuhlah 
jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan bagimu. – 
Q.S. An-Nahl [16]: 69

“Tiap-tiap diri”, 
sabda Rasulullah SAW. Spesifik. 
Setiap orang. 
Dengan mengetahui 
fungsi spesifik kita masing-masing, 
maka kita mulai melaksanakan ibadah (pengabdian) 
yang paling hakiki, 
yang sesungguhnya, 
yang sesuai dengan fungsi kita diciptakan. 

Sebagai contoh, 
shalatnya seekor burung 
ada di dalam bentuk membuka sayapnya ketika ia terbang, dan 
shalatnya seekor ikan ada 
di dalam kondisi saat ia berenang di dalam air. 

Masing-masing kita pun memiliki cara pengabdian yang spesifik, 
jika kita berhasil menemukan fungsi untuk apa kita diciptakan-Nya.

أَلَمْ تَرَ‌ أَنَّ اللَّـهَ يُسَبِّحُ لَهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْ‌ضِ وَالطَّيْرُ‌ صَافَّاتٍ ۖ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَهُ وَتَسْبِيحَهُ ۗ وَاللَّـهُ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ

Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya ber-tasbih kepada Allah 
siapa pun yang ada di petala langit dan bumi, 
dan burung dengan mengembangkan sayapnya. Sungguh setiap sesuatu mengetahui cara shalatnya dan cara tasbih-nya masing-masing. 
Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang mereka kerjakan. – 
Q.S. An-Nuur [24]: 41

Inilah pengabdian hakiki seorang hamba 
pada Rabb-nya: melaksanakan pengabdian dengan cara menjalankan fungsi spesifik diri kita, sesuai dengan untuk apa 
kita diciptakan-Nya 
sejak awal. 

Fungsi diri yang spesifik inilah yang disebut dengan “misi hidup’ atau 
“tugas kelahiran”.

Kebaktian tertinggi 
seorang ‘abid adalah 
dengan menggunakan kemampuan terbaik 
yang dimilikinya—melaksanakan tujuan penciptaannya dengan 
segala perangkat yang telah diletakkan Allah dalam jiwanya—
untuk menjalankan peran khususnya atas nama 
Allah Ta’ala. 

Ia menyampaikan khazanah Rabb-nya bagi 
alam semestanya.

Inilah fungsi hakikinya sebagai manusia: 
menjadi 
“perpanjangan tangan Allah” untuk memakmurkan 
alam semestanya sendiri. Inilah makna sesungguhnya dari kata “khalifah”: pemakmur, bukan semata-mata penguasa.

‘Arif akan nafs, sesungguhnya sama artinya dengan memahami alasan penciptaan kita dan 
amal tertinggi kita: 
untuk tugas dan peran apa kita diciptakan. 
‘Arif terhadap nafs 
sama dengan memahami sepenuhnya misi hidup kita dan melaksanakannya.
[1/12 01:03] aji rasha: Jadi, itulah makna 
“Man ‘Arafa Nafsahu”: 
siapa yang ‘arif akan nafs-nya, 
pada dasarnya sama artinya dengan 
“siapa yang memahami tujuan penciptaannya”.

Ksatria
Kebaktian tertinggi 
seorang ‘abid adalah 
dengan menggunakan kemampuan terbaik 
yang dimilikinya, melaksanakan 
tujuan penciptaannya dengan segala perangkat yang telah diletakkan Allah dalam jiwanya—
untuk menjalankan 
peran khususnya atas nama Allah Ta’ala.

Ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh At-Thabrani tentang ke-’arif-an seorang mukmin:

Sahabat Anas bin Malik meriwayatkan, suatu ketika Rasulullah SAW 
sedang berjalan-jalan. 
Beliau bertemu dengan seorang sahabat Anshar bernama Haritsah al-Anshari r.a.

Rasulullah SAW bertanya: “Bagaimana keadaanmu 
pagi ini, ya Haritsah?”

Haritsah menjawab, 
“Pagi ini hamba telah menjadi mu’min yang haqq (mu’min haqqan)”.

Rasulullah SAW menjawab, “Pikirkanlah dulu apa-apa yang akan engkau katakan, sebab segala sesuatu 
ada hakikatnya 
(fa inna likulli syay’in haqiqatan). 
Lalu apa hakikat 
[yang Allah tampakkan sebagai bukti] dari keimananmu itu 
(fa ma haqiqatu imanika)?”

Jawabnya, 
“Jiwa hamba sudah lepas dari dunia. 
Hamba berjaga di malam hari (untuk beribadah), dan hamba kehausan 
di siang hari 
(karena berpuasa). 
Dan sekarang hamba melihat arsy Rabb hamba dengan nyata. 
Dan sekarang hamba 
melihat para ahli surga 
saling mengunjungi, dan hamba melihat para ahli neraka menjerit-jerit di dalamnya.”

Dan berkata Rasulullah SAW “Engkau telah ‘arif (‘arafta), ya Haritsah. 
Maka jagalah keadaanmu itu.”

– H. R. At-Thabrani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar